Oleh Y. Wibowo
Direktur Utama CAKRA Institute
SI Mamad, seorang pegawai perpustakaan, karena terpepet keadaan tersebab istrinya akan melahirkan anaknya yang kelima, ia terpaksa mencuri. Curiannya itu beberapa rim kertas HVS dan kertas karbon. Pencurian yang tidak diketahui orang, termasuk bosnya itu semula tidak menimbulkan perasaan apa pun pada diri Mamad. Namun, rasa bersalah dan rasa berdosa akhirnya muncul juga di ujung penyesalannya. Ia pun mengakui tindakan mencurinya di depan si bos dan siap menanggung hukuman apa pun.
Yang aneh, si bos yang kaya raya itu tidak menganggap Mamad bersalah. Apalah artinya beberapa rim kertas itu baginya? Sebab itu, ia menolak permintaan maaf Mamad. Dari peristiwa itu justru Mamad yang terus dikejar rasa bersalah dan rasa berdosa. Mamad terus berjuang minta maaf kepada sang bos. Namun, berkali-kali bosnya menolak. Mamad sedih. Terpukul. Ia akhirnya jatuh sakit. Dan mati.
Bagi si Mamad, tindakan mencuri yang dilakukannya telah membuat ia tidak terhormat, baik dalam peran sosial maupun dalam eksistensinya sebagai manusia. Kisah di atas diilhami salah satu cerpen karya Anton Chekov yang kemudian digubah dalam sebuah film oleh salah satu sineas papan atas Indonesia, Sumandjaya (5 Agustus 1933--19 Juli 1985). Si Mamad (1973), yang diperankan Mang Udel. Andaikata Mamad mau bermental baja dan cuek atas korupsi yang dilakukan, bisa jadi ia tidak mengidap stres yang berakhir sakit dan kematian.
Akan tetapi, justru dengan kematian si Mamad, kisah tersebut dapat menggedor nurani bahwa kejujuran itu mahal harganya dan punya tempat di rongga hati nurani manusia. Sosok si Mamad jika mau diakui memang telah berhasil menghadirkan cermin jernih kejujuran. Kejujuran yang kian hari menjadi barang langka dalam kehidupan kita di era otonomi daerah yang kian gencar sedang berlangsung.
Memang, sejak konsep otonomi daerah (otda) yang diarsiteki Prof Dr. Ryaas Rasyid digulirkan, kemudian muncul semacam euforia pada orang daerah. Para pimpinan kabupaten dan kota ibaratnya seperti kuda lepas kandang. Mereka pun diibaratkan sebagai "raja-raja kecil" yang tak lagi tunduk pada gubernur atau bahkan pemerintah pusat seperti pada masa-masa sebelumnya. Sedangkan para anggota legislatif yang tidak lagi sekadar stempel legalitas pemilihan pimpinan daerah, taringnya menjadi begitu tajam mengontrol eksekutif sekaligus tajam juga menggerogoti anggarannya.
Maka korupsi mewabah dan akar dari persoalan korupsi adalah pemahaman (yang telah mendarah-daging) bahwa kekuasaan identik dengan diri sendiri, bukan sistem yang dibangun guna mendistribusikan peran atau sistem yang dirangsang menumbuhkan partisipasi yang mendorong pihak yang dipimpin memiliki eksistensi yang lebih tinggi (tercapainya kesejahteraan lahir-batin). Karena pemahaman yang sengaja dipahami keliru itu, pelaku kekuasaan cenderung membangun ukuran nilai atas kekuasaannya secara subjektif: Apa yang dianggapnya benar selalu dipaksakan untuk diakui kebenarannya oleh pihak yang dipimpin (pihak yang dikuasai). Pemimpin/pelaku kekuasaan menjadi otoritatif atas kebenaran kolektif. Akibatnya, kekuasaan pun berjalan dan menjadi manupulatif, tanpa koreksi, tanpa kontrol.
Untuk urusan kehormatan, di zaman yang profan, sumpek bin pengap atas nilai-nilai moral yang terkesan klise kini, harapannya itu hadir dengan sosok Mamad. Jika saja pelaku korupsi seperti si Mamad, barangkali penyakit sosial yang bernama kolusi, korupsi, dan nepotisme tidak meruyak menjelma wabah budaya di masayarakat kita.
Akan tetapi, renungan si Mamad kembali mencuat dibenak saya ketika dalam prakteknya, di paro terakhir bulan ini, rumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menentukan arah dan anggaran tahun 2008 dirumuskan. Banyak kalangan yang bersikap pasif dan acuh tak acuh. Berbagai elemen masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, ormas & orsos lain yang pada awal-awal reformasi begitu gempita mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, kini diam.
Dan, pemimpin/pelaku kekuasaan yang merasa paling benar itu kemudian menggunakan semua otoritasnya untuk memonopoli setiap peluang/akses, baik secara eksistensial maupun material yang sesungguhnya menjadi hak publik. Dengan topeng otoritasnya itu, dalam pembahasan APBD kini pun tak lepas dari wacana bahwa eksekutif maupun legislatif menjelma pencuri, maling, yang secara sistemik menjalankan pencurian atas hak-hak publik, dan (tetap) merasa terhormat.
Menengarai "drama" pembahasan kebijakan umum anggaran (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) Provinsi Lampung TA 2008, harian ini menurunkan berita dengan judul: "Anggaran Naik Rp10 M". Sebuah kabar yang terkadang terkesan sensasional. Tidak tanggung-tanggung, dalam memorandum of understanding (MoU) antara DPRD dan Pemprov Lampung memberikan tambahan delapan item, sehingga total keseluruhan dari jumlah belanja Rp1.720 miliar menjadi Rp1.730 miliar. Dan yang paling fenomenal, pembahasan itu berlangsung hanya dalam hitungan hari.
"Drama" MoU antara DPRD dan Pemprov Lampung, mungkin yang terbaik untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dalam pembangunan, akan tetapi peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran dan membuka peluang KKN menjadi mungkin. Pernyataan tentang peluang korupsi seakan kita diamkan, dan imbauan pemberantasan KKN pun kian hambar dan getir karena seperti selama ini, bisa jadi tidak akan menimbulkan efek mendalam bagi kebayakan koruptor.
Karena potret daerah ini telah kehilangan ukuran moral dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Siapa pun penguasa itu, cenderung menganggap korupsi sebagai keniscayaan untuk mencapai kejayaan. Dan dengan kejayaan tersebut, orang menjadi "merasa terhormat". Dalam situasi itu orang merasa tidak bersalah (apalagi merasa berdosa) ketika mewujudkan cita-citanya untuk korupsi.
Akan tetapi, masih ada peluang mengantisipasi peluang KKN dan untuk berbenah, jika saja para pemimpin kita baik di eksekutif dan legislatif mau merenungkan sejenak bahwa apa yang telah dirumuskannya akan mencipta rangkaian daftar dosa, dan akan menjerumuskan arah pembangunan.
Lemahnya sistem kontrol atas kekuasaan dan makin menguatnya kultur korupsi telah mengembangbiakkan koruptor atau menumbuhsuburkan cita-cita untuk menjadi koruptor. Dalam konteks jabatan/peran sosisal misalnya, seorang lurah, camat, bupati, walikota hingga gubernur harus membeli jabatan itu dengan harga tinggi, ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Otomatis saat berkuasa, horizon harapan yang bertama kali muncul adalah upaya mereka untuk "balik modal", sehingga tak terhindarkan bagi mereka untuk melakukan berbagai penyimpangan dalam menjalankan kekuasaannya. Setelah itu, horizon harapan kedua yang muncul adalah bagaimana membuat hidup mereka di atas sejahtera. Celakanya, ukuran hidup sejahtera itu amat relatif/subjektif dan tidak pernah jelas. Sebab itu, para pelaku kekuasaan cenderung merasa hidupnya "selalu tidak sejahtera", meski ratusan juta bahkan miliaran rupiah ngendon dalam depositonya. Akhirnya, diam-diam, anggapan "hidup tidak pernah merasa cukup" menjadi semacam "ideologi" para pelaku kekuasaan yang menyimpang.
Setidaknya, "ideologi hidup tak pernah merasa cukup" itu banyak dipeluk pelaku kekuasaan. "ideologi: Hidup tak pernah merasa cukup itu" laku luar biasa dan banyak umatnya. Para pelaku kekuasaan, baik individual maupun kolektif, merasa berdosa kalau tidak nyolong.
Colong-mencolong telah menjadi tradisi "luhur", hingga secara otomatis "dilestarikan" para pelaku kekuasaan secara bergantian. Para pelaku kekuasaan yang kamarin mengutuk praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme penguasa sebelumnya, tanpa malu melakukan hal yang sama. Perebutan kekuasaan akhirnya hanya bermakna, bagaimana mendapatkan peluang untuk nyolong duit rakyat.
Hal ini bukan tidak mungkin terus berlangsung pada setiap terjadi perubahan penguasa (bukan perubahan system kekuasaan) dan pembahasan anggaran pembangunan rakyat. Penguasa terus berubah, para aktor kekuasaan terus berganti, tetapi kehadiran mereka cenderung hanya untuk melestarikan tradisi korupsi.
Sebuah tradisi budaya korupsi yang diam-diam telah menjadi "ajaran moral luhur", bukan tidak mungkin akan mengubah cara berpikir dan orientasi hidup generasi mendatang. Jika mereka ditanya soal cita-cita, jawabannya bukan lagi klise seperti menjadi dokter, insinyur, atau menjadi pilot, melainkan menjadi anggota DPR atau menjadi kepala dinas sebuah instansi untuk kemudian korupsi dan bisa kaya mendadak.
Marilah kita teriak antikorupsi, sambil diam-diam nyolongi duit rakyat. Bukankah, kita sudah amat terlatih menjadi hipokrit? Sementara di lain sisi, kita juga merindukan kejujuran (hati nurani) sosok macam si Mamad. Orang yang rela dan ikhlas mengaku dirinya pencuri, dan siap menerima segala risiko moral maupun yuridis.
Bagaimanapun, hari ini dengan telah dirumuskannya anggaran untuk rakyat oleh wakil-wakilnya, para pemimpin telah merasa meraih "kehormatan", sebuah nilai hidup paradoksal dalam meniti kenyataan hidupnya. Hal ini akan terbukti jika koruptor tidak mendapat ganjaran yuridis yang semestinya.
Dimuat di Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007
Monday, December 1, 2008
Wajah Kota dan Politik Identitas
Oleh Y. Wibowo
Arsitek, menetap di Lampung
KOTA merupakan arena pergaulan antarberbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Misalnya, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan harapan dan kepentingan warganya.
Daftarnya bisa panjang. Sementara itu, tanpa menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan identitas diri perlahan menguap lenyap tanpa disadari.
Akan halnya wajah kota dan anggapan bahwa desainlah yang dipertaruhkan habis-habisan, sekarang ini baru mempersoalkan satu atau dua aspek saja dari struktur atau bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya. Misalnya, sebagaimana umumnya aktivitas masyarakat urban, wajah kota modern memang harus manusiawi, selain juga harus menjunjung tinggi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan (tentu saja) berwawasan lingkungan.
Pada prinsipnya, rencana pengembangan kota selalu bertujuan melindungi dan melayani masyarakat luas.
Sebab itu, seluruh kota modern di dunia selalu mengusung spirit manusiawi dan berwawasan lingkungan dalam setiap rencana pengembangan kotanya. Meskipun kepadatan di kota dengan mitosnya tentang kesempatan dan keragaman, kumpulan energi dan massa rakyatnya meningkatkan kekotaannya, paling tidak dalam persepsi rakyatnya, sekaligus menghancurkannya sebagai lingkungan hidup.
Transformasi budaya pada sebagian besar kota-kota di Indonesia terlihat bahwa wajah kota hanya alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan, belum sebagai pembentuk pikiran, sebagai pandangan dunia.
Jika kita pergi sejenak ke kota-kota di belahan lain dunia, dalam sepuluh tahun terakhir ini banyak dibicarakan ihwal kota-kota metropolis, megalopolis (di negara maju) yang segalanya serbateknologi tinggi. Di sini mereka mempersoalkan desain dengan menghasut bentuk-bentuk berskala besar. Cara-cara seperti ini, sejauh ini, tidak ditemukan dalam kota-kota di Indonesia.
Mengapa kita belum sampai tahap itu?
Tampaknya memang ada yang problematik dalam cara kita memandang kota. Di pihak lain, ada semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta di jagat perencana dan perangcang kota kita dari masa ke masa.
Pernyataan ini rupanya bisa dibantah karya-karya yang cukup besar di masa silam yang bisa dianggap sebagai adikarya, seperti terungkap dalam kajiannya J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah lain di nusantara yang ternyata tidak cuma menunjukkan dominannya pemikiran indrawi.
Ada struktur yang cukup canggih dan rumit di Kasultanan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada kesederhanaan yang agung di perkampungan tradisional Nias, pun tak ayal bersahajanya tatanan Kampung Tua.
Yang sekarang menjadi persoalan adalah kenapa tradisi pemikiran yang telah menghasilakn struktur yang canggih dan rumit ini terpotong di zaman kita sekarang? Barangkali penyebabnya ada di politik kota yang sangat ambigu: Antara keinginan "setengah hati" menonjolkan spirit nasoinalisme dan ketakberdayaan atas gempuran urban desain dengan cirinya yang efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung kapitalisme global.
Akibat buruk yang tak pernah kita sadari ialah bahwa kita kemudian terpotong dari masa silam kita sendiri karena desain-desain dengan spirit lokal tidak lagi dipromosikan untuk dipakai dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah: Desain yang kita impor dari bangsa antah berantah.
Keterputusan tradisi juga telah mengakibatkan khazanah lokal yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi dasar penciptaan karya-karya sekarang. Karena kita tidak punya dasar tradisi untuk penciptaan wajah kota kini, di sisi lain kita tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada di luar sana.
Mutu karya wajah kota kita memang sangat merosot, bukan hanya dibandingkan dengan karya di luar sana, melainkan juga dengan tradisi yang terjadi di masa silam. Upaya mengarahkan sumber daya dan tenaga ke arah pencarian "identitas diri" sejak awal mestinya disadari bersama, seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang seharusnya menganggap hal demikian adalah tugas mulainya.
Kemudian, dalam upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi dapat dimulai dengan menyosialisasikan gagasannya dengan melibatkan para klien penting generasi saat ini, seperti kantor pemerintah daerah (kantor gubernur atau kantor bupati), universitas negeri setempat, dan juga hotel-hotel yang programnya lebih menekankan pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi turisme.
Dengan menempa sebentuk regionalisme tradisi harus atau tidaknya bersandar kepada argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah semangat zaman (zeitgeist) dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan betah kita.
Sebab, "suara yang lain" memang telah dianggap menyatakan semangat zaman yang begitu menekankan keragaman subjektivitas yang kreatif. Akan tetapi, saat sekarang juga kita perlu bertanya apakah genius loci dalam berbagai bentuk mutakhir tidak malah menjemukan karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan kemiskinan dalam menanggapi tantangan zaman.
Kebanyakan karya arsitektur menjadi prestasi sejarah karena menjawab persoalan waktunya sebagai tantangan bentuk, sedangkan persoalan tempat hanya merupakan tantangan programatik. Arsitektur yang demikian menciptakan, bukan mengikuti tempat.
Dengan kata lain, arsitektur yang terbukti oleh sejarah baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang kontemporer ketika diciptakan. Beberapa karya arsitektur bahkan ada yang terasa lebih kontemporer justru setelah lebih dari setengah abad berdiri, sedangkan pada saat diciptakan ia mengesankan futuristik.
Kekinian memang mempunyai kekuatan mengakomodasi masa depan yang lebih panjang. Sedangkan subjek, dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan.
Polemik demikian terasa kian kita butuhkan sebagai resep dari para pengembang "buta" yang menyokong penguasa hanya untuk menangguk keuntungan sendiri dan golongannya.
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 19 Desember 2006
Arsitek, menetap di Lampung
KOTA merupakan arena pergaulan antarberbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Misalnya, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan harapan dan kepentingan warganya.
Daftarnya bisa panjang. Sementara itu, tanpa menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan identitas diri perlahan menguap lenyap tanpa disadari.
Akan halnya wajah kota dan anggapan bahwa desainlah yang dipertaruhkan habis-habisan, sekarang ini baru mempersoalkan satu atau dua aspek saja dari struktur atau bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya. Misalnya, sebagaimana umumnya aktivitas masyarakat urban, wajah kota modern memang harus manusiawi, selain juga harus menjunjung tinggi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan (tentu saja) berwawasan lingkungan.
Pada prinsipnya, rencana pengembangan kota selalu bertujuan melindungi dan melayani masyarakat luas.
Sebab itu, seluruh kota modern di dunia selalu mengusung spirit manusiawi dan berwawasan lingkungan dalam setiap rencana pengembangan kotanya. Meskipun kepadatan di kota dengan mitosnya tentang kesempatan dan keragaman, kumpulan energi dan massa rakyatnya meningkatkan kekotaannya, paling tidak dalam persepsi rakyatnya, sekaligus menghancurkannya sebagai lingkungan hidup.
Transformasi budaya pada sebagian besar kota-kota di Indonesia terlihat bahwa wajah kota hanya alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan, belum sebagai pembentuk pikiran, sebagai pandangan dunia.
Jika kita pergi sejenak ke kota-kota di belahan lain dunia, dalam sepuluh tahun terakhir ini banyak dibicarakan ihwal kota-kota metropolis, megalopolis (di negara maju) yang segalanya serbateknologi tinggi. Di sini mereka mempersoalkan desain dengan menghasut bentuk-bentuk berskala besar. Cara-cara seperti ini, sejauh ini, tidak ditemukan dalam kota-kota di Indonesia.
Mengapa kita belum sampai tahap itu?
Tampaknya memang ada yang problematik dalam cara kita memandang kota. Di pihak lain, ada semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta di jagat perencana dan perangcang kota kita dari masa ke masa.
Pernyataan ini rupanya bisa dibantah karya-karya yang cukup besar di masa silam yang bisa dianggap sebagai adikarya, seperti terungkap dalam kajiannya J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah lain di nusantara yang ternyata tidak cuma menunjukkan dominannya pemikiran indrawi.
Ada struktur yang cukup canggih dan rumit di Kasultanan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada kesederhanaan yang agung di perkampungan tradisional Nias, pun tak ayal bersahajanya tatanan Kampung Tua.
Yang sekarang menjadi persoalan adalah kenapa tradisi pemikiran yang telah menghasilakn struktur yang canggih dan rumit ini terpotong di zaman kita sekarang? Barangkali penyebabnya ada di politik kota yang sangat ambigu: Antara keinginan "setengah hati" menonjolkan spirit nasoinalisme dan ketakberdayaan atas gempuran urban desain dengan cirinya yang efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung kapitalisme global.
Akibat buruk yang tak pernah kita sadari ialah bahwa kita kemudian terpotong dari masa silam kita sendiri karena desain-desain dengan spirit lokal tidak lagi dipromosikan untuk dipakai dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah: Desain yang kita impor dari bangsa antah berantah.
Keterputusan tradisi juga telah mengakibatkan khazanah lokal yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi dasar penciptaan karya-karya sekarang. Karena kita tidak punya dasar tradisi untuk penciptaan wajah kota kini, di sisi lain kita tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada di luar sana.
Mutu karya wajah kota kita memang sangat merosot, bukan hanya dibandingkan dengan karya di luar sana, melainkan juga dengan tradisi yang terjadi di masa silam. Upaya mengarahkan sumber daya dan tenaga ke arah pencarian "identitas diri" sejak awal mestinya disadari bersama, seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang seharusnya menganggap hal demikian adalah tugas mulainya.
Kemudian, dalam upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi dapat dimulai dengan menyosialisasikan gagasannya dengan melibatkan para klien penting generasi saat ini, seperti kantor pemerintah daerah (kantor gubernur atau kantor bupati), universitas negeri setempat, dan juga hotel-hotel yang programnya lebih menekankan pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi turisme.
Dengan menempa sebentuk regionalisme tradisi harus atau tidaknya bersandar kepada argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah semangat zaman (zeitgeist) dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan betah kita.
Sebab, "suara yang lain" memang telah dianggap menyatakan semangat zaman yang begitu menekankan keragaman subjektivitas yang kreatif. Akan tetapi, saat sekarang juga kita perlu bertanya apakah genius loci dalam berbagai bentuk mutakhir tidak malah menjemukan karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan kemiskinan dalam menanggapi tantangan zaman.
Kebanyakan karya arsitektur menjadi prestasi sejarah karena menjawab persoalan waktunya sebagai tantangan bentuk, sedangkan persoalan tempat hanya merupakan tantangan programatik. Arsitektur yang demikian menciptakan, bukan mengikuti tempat.
Dengan kata lain, arsitektur yang terbukti oleh sejarah baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang kontemporer ketika diciptakan. Beberapa karya arsitektur bahkan ada yang terasa lebih kontemporer justru setelah lebih dari setengah abad berdiri, sedangkan pada saat diciptakan ia mengesankan futuristik.
Kekinian memang mempunyai kekuatan mengakomodasi masa depan yang lebih panjang. Sedangkan subjek, dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan.
Polemik demikian terasa kian kita butuhkan sebagai resep dari para pengembang "buta" yang menyokong penguasa hanya untuk menangguk keuntungan sendiri dan golongannya.
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 19 Desember 2006
Urbanisasi Perkembangan Kota
Oleh Yatno Wibowo
Arsitek
BENARKAH pertumbuhan rumah toko (ruko) yang menjamur di kawasan Kota Bandar Lampung sebagai pertanda bahwa perdagangan dan jasa telah menjadi identitas? Pengembangan sentra ekonomi tak terlepas konteksnya khusus kepada layanan urban.
Dari masalah tersebut, kita menangkap maksud yang cukup strategis, terutama dalam pengembangan Bandar Lampung, yaitu pentingnya pengembangan sentra-sentra layanan urban justru merebak di jalur-jalur protokol kota kemudian mendorong pengembangan perekonomian masyarakat.
Jika dilihat dari sudut perkembangan perkotaan (baca: Bandar Lampung) mengalami suatu kemajuan yang cukup signifikan, terutama dengan munculnya sentra-sentra layanan urban tersebut. Terlepas dari proses adaptasinya, perkembangan perkotaan merupakan realitas yang amat strategis dalam kerangka perkembangan perkotaan--yang diharapkan memunculkan sentra-sentra layanan urban dengan tetap mengedepankan potensi lokal--terutama dalam kerangka merangsang tumbuhnya sentra-sentra industri baru dari berbagai potensi lokal yang dimiliki; bukan sebaliknya mengabaikan potensi lokal sehingga akan melahirkan problematika pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.
Berdasarkan asumsi tersebut, melalui tulisan ini akan diketengahkan telaah berkaitan masalah bagaimana pembangunan perkotaan yang bertitik tolak dari pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan suatu strategi perencanaan yang berbasis lokal kultur melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal?
Selanjutnya, perlu diuraikan pokok masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan, guna menjadi referensi dalam upaya mengembangkan konsep perencanaan strategis yang berbasis lokal kultur, melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal.
Urbanisasi
Kota Bandar Lampung merupakan satu-satunya wilayah di Lampung yang seluruhnya merupakan daerah perkotaan. Gambaran umum tentang kota suatu realitas di mana sebagian besar penghuninya mempunyai tingkat penghidupan di bawah standar. Hal ini bila mengacu pada survei PBB terhadap 53 kota besar di dunia yang menunjukkan lebih dari separo penduduk (54%) tinggal di rumah-rumah kumuh.
Tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 34,30% berdasarkan Susenas 1990. Lembaga Demografi UI Jakarta (1994) memproyeksikan tingkat urbanisasi tersebut akan mengalami kenaikan hingga mencapai 41,80% pada tahun 2000 dan 46% (102,5 juta jiwa) pada 2005.
Angka-angka tersebut menjadi landasan mengasumsikan bahwa tingkat kehidupan di bawah standar maupun tingkat urbanisasi yang relatif tinggi setiap tahunnya terjadi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Kota Bandar Lampung. Di mana fenomena tersebut dapat dipastikan akan berimplikasi timbulnya berbagai masalah di perkotaan.
Saat ini kota-kota di negara berkembang (termasuk Indonesia) tengah bergulat mengatasi kemiskinan di antara berbagai praktek penumpukan kekayaan di kota. Kota-kota juga berjuang mereformasi permukiman kumuh, persis di mana segala macam bentuk kemewahan ditawarkan: Kesehatan, pendidikan, transportasi, dan komunikasi. Tapi di kota pula, berbagai penyakit sosial justru menggambarkan beragam masalah: kepadatan penduduk, alienasi (keterasingan), kriminalitas, keresahan sosial, pencemaran, dan lain sebagainya.
Urbanisasi terjadi bukan karena meningkatnya permintaan tenaga kerja sektor industri di perkotaan terhadap tenaga kerja pertanian di perdesaan. Namun, karena tekanan hidup yang di desa memaksa penduduk bermigrasi ke kota.
Dengan kata lain, proses urbanisasi tidak melewati fase industri, tapi langsung menuju sektor informal. Urbanisasi jenis ini menimbulkan berbagai masalah kota yang sangat rumit. Misal, bagaimana menghentikan laju urbanisasi, dan dengan cara bagaimana mesti dilakukan?
Ironisnya, semakin banyak digulirkan berbagai kebijakan, justru sebanyak itu pula urbanisasi, pengangguran, dan krisis perkotaan melaju. Sering kali kebijakan yang diambil justeru merugikan.
Kaum urban pinggiran adalah komunitas yang aspirasi politik dan hak hidupnya terdesak oleh rangkaian represi modal dan pilihan kebijakan yang tidak memihak kepadanya. Dengan demikian, masalah urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan, terlampau naif jika hanya diselesaikan dengan pendekatan ekonomi belaka.
Basis Lokal Kultur
Seiring dengan era transisi demokrasi yang tengah bergulir di dalam kehidupan sosial politik, gejala kebangkitan local culture dengan titik tolak pengembangan partisipasi masyarakat lokal tumbuh sebagai respons positif atas perubahan sosial yang sedang terjadi.
Realitas ini sekaligus menjadi alat koreksi atas strategi pembangunan yang selama ini dirasa tidak memberikan ruang terhadap tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal tersebut.
Dalam konteks perkembangan kota, perlu dilakukan perencanaan ulang terhadap kebijakan perkotaan dengan melibatkan berbagai potensi masyarakat lokal secara partisipatif. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa masalah yang paling rumit di perkotaan adalah tingginya laju urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan dengan berbagai bentuk masalah lainnya yang tak kunjung teratasi.
Di mana problematika itu justru tumbuh akibat dari kebijakan pembangunan yang lebih bersifat elitis, melalui represi modal maupun kebijakan yang tidak memihak sektor masyarakat lokal.
Pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan menitikberatkan pada strategi pembangunan perkotaan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal, diharapkan mampu mengatasi sekaligus mengantisipasi laju urbanisasi yang tidak terkendali, juga mengatasi ledakan pengangguran maupun krisis perkotaan yang memunculkan kantong-kantong kemiskinan baru.
Strategi ini mengisyaratkan berbagai potensi lokal yang dimiliki masyarakat mesti diposisikan sebagai basis pengembangan perkotaan. Ruang-ruang bagi tumbuhnya sentra industri masyarakat lokal (home industry dan industri kecil menengah) harus dibuka melalui regulasi perkotaan yang secara strategis berpihak pada sektor-sektor lokal.
Strategi ini sekaligus akan menyambung mata rantai urbanisasi yang terputus selama ini, sehingga proses urbanisasi tumbuh melalui perkembangan sektor industri, bukan langsung ke sektor informal.
Selain itu, regulasi pengembangan perkotaan harus pula memperhatikan aspek-aspek ekologis dan berbagai potensi lokal perdesaan. Tidak semua area strategis bagi pengembangan sektor agrarian diambil alih untuk dan atas nama pengembangan wilayah perkotaan. Pada aspek lain penting pula dipikirkan identitas yang khas sebagai brand image suatu wilayah perkotaan, hal ini sangat terkait dengan upaya pengembangan kota wisata di masa mendatang.
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 12 Desember 2006
Arsitek
BENARKAH pertumbuhan rumah toko (ruko) yang menjamur di kawasan Kota Bandar Lampung sebagai pertanda bahwa perdagangan dan jasa telah menjadi identitas? Pengembangan sentra ekonomi tak terlepas konteksnya khusus kepada layanan urban.
Dari masalah tersebut, kita menangkap maksud yang cukup strategis, terutama dalam pengembangan Bandar Lampung, yaitu pentingnya pengembangan sentra-sentra layanan urban justru merebak di jalur-jalur protokol kota kemudian mendorong pengembangan perekonomian masyarakat.
Jika dilihat dari sudut perkembangan perkotaan (baca: Bandar Lampung) mengalami suatu kemajuan yang cukup signifikan, terutama dengan munculnya sentra-sentra layanan urban tersebut. Terlepas dari proses adaptasinya, perkembangan perkotaan merupakan realitas yang amat strategis dalam kerangka perkembangan perkotaan--yang diharapkan memunculkan sentra-sentra layanan urban dengan tetap mengedepankan potensi lokal--terutama dalam kerangka merangsang tumbuhnya sentra-sentra industri baru dari berbagai potensi lokal yang dimiliki; bukan sebaliknya mengabaikan potensi lokal sehingga akan melahirkan problematika pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.
Berdasarkan asumsi tersebut, melalui tulisan ini akan diketengahkan telaah berkaitan masalah bagaimana pembangunan perkotaan yang bertitik tolak dari pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan suatu strategi perencanaan yang berbasis lokal kultur melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal?
Selanjutnya, perlu diuraikan pokok masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan, guna menjadi referensi dalam upaya mengembangkan konsep perencanaan strategis yang berbasis lokal kultur, melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal.
Urbanisasi
Kota Bandar Lampung merupakan satu-satunya wilayah di Lampung yang seluruhnya merupakan daerah perkotaan. Gambaran umum tentang kota suatu realitas di mana sebagian besar penghuninya mempunyai tingkat penghidupan di bawah standar. Hal ini bila mengacu pada survei PBB terhadap 53 kota besar di dunia yang menunjukkan lebih dari separo penduduk (54%) tinggal di rumah-rumah kumuh.
Tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 34,30% berdasarkan Susenas 1990. Lembaga Demografi UI Jakarta (1994) memproyeksikan tingkat urbanisasi tersebut akan mengalami kenaikan hingga mencapai 41,80% pada tahun 2000 dan 46% (102,5 juta jiwa) pada 2005.
Angka-angka tersebut menjadi landasan mengasumsikan bahwa tingkat kehidupan di bawah standar maupun tingkat urbanisasi yang relatif tinggi setiap tahunnya terjadi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Kota Bandar Lampung. Di mana fenomena tersebut dapat dipastikan akan berimplikasi timbulnya berbagai masalah di perkotaan.
Saat ini kota-kota di negara berkembang (termasuk Indonesia) tengah bergulat mengatasi kemiskinan di antara berbagai praktek penumpukan kekayaan di kota. Kota-kota juga berjuang mereformasi permukiman kumuh, persis di mana segala macam bentuk kemewahan ditawarkan: Kesehatan, pendidikan, transportasi, dan komunikasi. Tapi di kota pula, berbagai penyakit sosial justru menggambarkan beragam masalah: kepadatan penduduk, alienasi (keterasingan), kriminalitas, keresahan sosial, pencemaran, dan lain sebagainya.
Urbanisasi terjadi bukan karena meningkatnya permintaan tenaga kerja sektor industri di perkotaan terhadap tenaga kerja pertanian di perdesaan. Namun, karena tekanan hidup yang di desa memaksa penduduk bermigrasi ke kota.
Dengan kata lain, proses urbanisasi tidak melewati fase industri, tapi langsung menuju sektor informal. Urbanisasi jenis ini menimbulkan berbagai masalah kota yang sangat rumit. Misal, bagaimana menghentikan laju urbanisasi, dan dengan cara bagaimana mesti dilakukan?
Ironisnya, semakin banyak digulirkan berbagai kebijakan, justru sebanyak itu pula urbanisasi, pengangguran, dan krisis perkotaan melaju. Sering kali kebijakan yang diambil justeru merugikan.
Kaum urban pinggiran adalah komunitas yang aspirasi politik dan hak hidupnya terdesak oleh rangkaian represi modal dan pilihan kebijakan yang tidak memihak kepadanya. Dengan demikian, masalah urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan, terlampau naif jika hanya diselesaikan dengan pendekatan ekonomi belaka.
Basis Lokal Kultur
Seiring dengan era transisi demokrasi yang tengah bergulir di dalam kehidupan sosial politik, gejala kebangkitan local culture dengan titik tolak pengembangan partisipasi masyarakat lokal tumbuh sebagai respons positif atas perubahan sosial yang sedang terjadi.
Realitas ini sekaligus menjadi alat koreksi atas strategi pembangunan yang selama ini dirasa tidak memberikan ruang terhadap tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal tersebut.
Dalam konteks perkembangan kota, perlu dilakukan perencanaan ulang terhadap kebijakan perkotaan dengan melibatkan berbagai potensi masyarakat lokal secara partisipatif. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa masalah yang paling rumit di perkotaan adalah tingginya laju urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan dengan berbagai bentuk masalah lainnya yang tak kunjung teratasi.
Di mana problematika itu justru tumbuh akibat dari kebijakan pembangunan yang lebih bersifat elitis, melalui represi modal maupun kebijakan yang tidak memihak sektor masyarakat lokal.
Pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan menitikberatkan pada strategi pembangunan perkotaan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal, diharapkan mampu mengatasi sekaligus mengantisipasi laju urbanisasi yang tidak terkendali, juga mengatasi ledakan pengangguran maupun krisis perkotaan yang memunculkan kantong-kantong kemiskinan baru.
Strategi ini mengisyaratkan berbagai potensi lokal yang dimiliki masyarakat mesti diposisikan sebagai basis pengembangan perkotaan. Ruang-ruang bagi tumbuhnya sentra industri masyarakat lokal (home industry dan industri kecil menengah) harus dibuka melalui regulasi perkotaan yang secara strategis berpihak pada sektor-sektor lokal.
Strategi ini sekaligus akan menyambung mata rantai urbanisasi yang terputus selama ini, sehingga proses urbanisasi tumbuh melalui perkembangan sektor industri, bukan langsung ke sektor informal.
Selain itu, regulasi pengembangan perkotaan harus pula memperhatikan aspek-aspek ekologis dan berbagai potensi lokal perdesaan. Tidak semua area strategis bagi pengembangan sektor agrarian diambil alih untuk dan atas nama pengembangan wilayah perkotaan. Pada aspek lain penting pula dipikirkan identitas yang khas sebagai brand image suatu wilayah perkotaan, hal ini sangat terkait dengan upaya pengembangan kota wisata di masa mendatang.
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 12 Desember 2006
Skizofrenia Sebuah Kota: Setahun Eddy Sutrisno-Kherlani
Oleh Y. Wibowo
Arsitek, Editor Penerbit Matakata Lampung.
PENCANANGAN penghargaan Kota Adipura oleh pemerintah pusat kepada setiap kabupaten/kota telah berlalu. Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini Kota Kalianda dan Kota Metro patut berbangga. Tetapi, kenapa Kota Bandar Lampung yang lebih siap dengan kebijakan Ayo Bersih-bersih (ABB) justru gagal?
Tidak mudah mengelola kota sekompleks Bandar Lampung. Selain karena banyak urusan yang melibatkan putaran uang ratusan miliar, juga aneka kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Apalagi gaung otonomi daerah, jika terpleset kepala daerah dapat menjadi raja kecil dikitari pemburu rente, proyek, dan keuntungan politik lain.
ABB adalah "ideologi" untuk memperindah, mempercantik, dan meningkatkan kesehatan warga kota. Ini dapat dilihat sebagai kasus untuk menganalisis permasalahan kota dengan harapan keterlibatan masyarakat lebih luas dan lebih bersahaja. Tujuannya sederhana, agar pengelola kota mampu mengelola aneka kepentingan dan konflik yang tidak sehat di wilayahnya.
Para pakar masalah perkotaan seperti Sarageldin (1995) berujar salah satu agenda pokok pembangunan perkotaan adalah bagaimana kinerja pemerintah kota dalam menyelesaikan permasalahan warganya seperti melindungi warga dari kerusakan lingkungan, menghapus kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas kota untuk mengatasi dua hal tersebut.
Akumulasi kapital adalah benih bagi pengembangan kota, sehingga kota sering menjadi pusat dari inovasi teknologi, spiritual, dan perubahan institusi. Namun, seperti yang terjadi umumnya, akumulasi kapital di kota sering membuat kota over-urbanized. Pemadatan kota terjadi sangat cepat akibat investasi domestik dan internasional yang terkonsentrasi di kota, sebuah fenomena yang dikenal sebagai urban bias.
Urbanisme ini berlangsung sangat cepat karena jasa para pendiri kota; terutama pengembang yang berkoalisi dengan perusahaan raksasa, elite pemerintahan lokal dan bankir yang melakukan investasi secara gencar. Pendiri kota adalah wiraswastawan atau pejabat/wali kota/gubernur/bankir yang aktif dalam bisnis memanipulasi tempat/ruang yang terus-menerus mengemas kota menjadi komoditas baru yang paling bergaya untuk sebuah kehidupan moderen, prestisius, dan seksi.
Seperti dalam sejarah politik, sejarah pembangunan kota juga sangat dipengaruhi para elite, yang dalam pembangunan kota berkemampuan mengarahkan pemanfaatan ruang/tanah, mempengaruhi konsumsi ruang dan gaya hidup masyarakat, dan bahkan anggaran pemerintah.
Agenda pembangunan perkotaan adalah interaksi antara sistem sosial, politik, ekonomi, dan ekologi. Semua itu berjalan beriringan menuju keberlanjutan pembangunan kota. Kegagalan kota besar melaksanakan pembangunan berkelanjutan, menurut Sarageldin, di antaranya disebabkan keberadaan kota di negara dunia ketiga seperti Indonesia, menjadi ajang bermain kekuatan bisnis politik besar, yang berskala global ataupun lokal. Sebab itu, menarik melihat kasus "ideologi" ABB yang dibumikan pada warga Kota Bandar Lampung dari sisi ini.
Hanya, sebagai sebuah kebijakan, ABB dalam pelaksanaannya tidak seratus persen tercapai. Fokus dalam penanganan sampah kota yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah sampah di tiap-tiap lingkungan mensyaratkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat.
Pada tahap awal program ABB, uji materi di beberapa kelurahan terlihat sukses dan akan berkelanjutan secara mulus. Kemudian dalam perjalanannya, ada saja aparat terkait di kelurahan yang mangkir atau warga masyarakat yang kurang responsif. Di sisi lain dengan tak didukung sebuah kepaduan tim, hasil akhirnya pengurangan sampah menjadi tidak signifikan.
Keterlibatan dan kontrol sosial bersama terhadap program kemudian terasa cair. Makin terasa jika program itu hanya milik golongan tertentu. Padahal program ini konsep penyelesaian masalah sampah kota jangka panjang yang terencana dan terintegrasi. Secara teknis, program ini dapat diimplementasikan.
Namun, karena program ini tak sepenuhnya membumi, pelaksanaan program kurang menyentuh rasa tanggung jawab masyarakat. Untuk itu, sebuah program dapat dilanjutkan dengan harus betul-betul bisa diawasi dan dimonitor ketat seperti halnya program ABB dapat terintegrasi dengan program penghijauan. Sebab, tumpang tindih berbagai kepentingan kekuatan pemodal telah memorak-porandakan lingkungan fisik maupun sosial di kota-kota besar termasuk Kota Bandar Lampung.
Bandar Lampung dibuat pusing masalah seperti permukiman liar, pedagang kaki lima (PKL), kesemrawutan jalur pejalan kaki, pelestarian bangunan kuno, got pampat, dan banjir jika musim hujan. Hutan kota rusak dan bukit-bukit gundul. Semua permasalahan dan dampak yang mengiringi pembangunan dapat dieliminasi jika perasaan memiliki menjadi kesadaran kolektif.
Fakta-fakta tersebut mempertegas tudingan Castells (1977) yang menyebutkan lemahnya kontrol sosial menjadikan kota-kota besar ajang kenduri para pemilik modal dan birokrat. Ketiadaan kepastian hukum, keteladanan, dan kealpaan melibatkan warga masyarakat, membawa ke arah sejenis penyakit skizofrenia.
Sebagai catatan akhir, tidak ada ruginya pemerintah Kota Bandar Lampung mendengarkan kritikan dari para pengamat bahwa kegagalan ABB perlu digunakan sebagai sarana introspeksi diri. Sudahkan pengelola kota yang diamati rakyat ini memperhatikan bentangan masalah yang disampaikan sejak awal tulisan ini. Jika jawabannya sudah, kemungkinan besar memang seluruh warga Kota Bandar Lampung mengidap skizofrenia. Benar-benar gila!
Dimuat di Lampung Post, Senin, 11 September 2006
Arsitek, Editor Penerbit Matakata Lampung.
PENCANANGAN penghargaan Kota Adipura oleh pemerintah pusat kepada setiap kabupaten/kota telah berlalu. Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini Kota Kalianda dan Kota Metro patut berbangga. Tetapi, kenapa Kota Bandar Lampung yang lebih siap dengan kebijakan Ayo Bersih-bersih (ABB) justru gagal?
Tidak mudah mengelola kota sekompleks Bandar Lampung. Selain karena banyak urusan yang melibatkan putaran uang ratusan miliar, juga aneka kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Apalagi gaung otonomi daerah, jika terpleset kepala daerah dapat menjadi raja kecil dikitari pemburu rente, proyek, dan keuntungan politik lain.
ABB adalah "ideologi" untuk memperindah, mempercantik, dan meningkatkan kesehatan warga kota. Ini dapat dilihat sebagai kasus untuk menganalisis permasalahan kota dengan harapan keterlibatan masyarakat lebih luas dan lebih bersahaja. Tujuannya sederhana, agar pengelola kota mampu mengelola aneka kepentingan dan konflik yang tidak sehat di wilayahnya.
Para pakar masalah perkotaan seperti Sarageldin (1995) berujar salah satu agenda pokok pembangunan perkotaan adalah bagaimana kinerja pemerintah kota dalam menyelesaikan permasalahan warganya seperti melindungi warga dari kerusakan lingkungan, menghapus kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas kota untuk mengatasi dua hal tersebut.
Akumulasi kapital adalah benih bagi pengembangan kota, sehingga kota sering menjadi pusat dari inovasi teknologi, spiritual, dan perubahan institusi. Namun, seperti yang terjadi umumnya, akumulasi kapital di kota sering membuat kota over-urbanized. Pemadatan kota terjadi sangat cepat akibat investasi domestik dan internasional yang terkonsentrasi di kota, sebuah fenomena yang dikenal sebagai urban bias.
Urbanisme ini berlangsung sangat cepat karena jasa para pendiri kota; terutama pengembang yang berkoalisi dengan perusahaan raksasa, elite pemerintahan lokal dan bankir yang melakukan investasi secara gencar. Pendiri kota adalah wiraswastawan atau pejabat/wali kota/gubernur/bankir yang aktif dalam bisnis memanipulasi tempat/ruang yang terus-menerus mengemas kota menjadi komoditas baru yang paling bergaya untuk sebuah kehidupan moderen, prestisius, dan seksi.
Seperti dalam sejarah politik, sejarah pembangunan kota juga sangat dipengaruhi para elite, yang dalam pembangunan kota berkemampuan mengarahkan pemanfaatan ruang/tanah, mempengaruhi konsumsi ruang dan gaya hidup masyarakat, dan bahkan anggaran pemerintah.
Agenda pembangunan perkotaan adalah interaksi antara sistem sosial, politik, ekonomi, dan ekologi. Semua itu berjalan beriringan menuju keberlanjutan pembangunan kota. Kegagalan kota besar melaksanakan pembangunan berkelanjutan, menurut Sarageldin, di antaranya disebabkan keberadaan kota di negara dunia ketiga seperti Indonesia, menjadi ajang bermain kekuatan bisnis politik besar, yang berskala global ataupun lokal. Sebab itu, menarik melihat kasus "ideologi" ABB yang dibumikan pada warga Kota Bandar Lampung dari sisi ini.
Hanya, sebagai sebuah kebijakan, ABB dalam pelaksanaannya tidak seratus persen tercapai. Fokus dalam penanganan sampah kota yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah sampah di tiap-tiap lingkungan mensyaratkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat.
Pada tahap awal program ABB, uji materi di beberapa kelurahan terlihat sukses dan akan berkelanjutan secara mulus. Kemudian dalam perjalanannya, ada saja aparat terkait di kelurahan yang mangkir atau warga masyarakat yang kurang responsif. Di sisi lain dengan tak didukung sebuah kepaduan tim, hasil akhirnya pengurangan sampah menjadi tidak signifikan.
Keterlibatan dan kontrol sosial bersama terhadap program kemudian terasa cair. Makin terasa jika program itu hanya milik golongan tertentu. Padahal program ini konsep penyelesaian masalah sampah kota jangka panjang yang terencana dan terintegrasi. Secara teknis, program ini dapat diimplementasikan.
Namun, karena program ini tak sepenuhnya membumi, pelaksanaan program kurang menyentuh rasa tanggung jawab masyarakat. Untuk itu, sebuah program dapat dilanjutkan dengan harus betul-betul bisa diawasi dan dimonitor ketat seperti halnya program ABB dapat terintegrasi dengan program penghijauan. Sebab, tumpang tindih berbagai kepentingan kekuatan pemodal telah memorak-porandakan lingkungan fisik maupun sosial di kota-kota besar termasuk Kota Bandar Lampung.
Bandar Lampung dibuat pusing masalah seperti permukiman liar, pedagang kaki lima (PKL), kesemrawutan jalur pejalan kaki, pelestarian bangunan kuno, got pampat, dan banjir jika musim hujan. Hutan kota rusak dan bukit-bukit gundul. Semua permasalahan dan dampak yang mengiringi pembangunan dapat dieliminasi jika perasaan memiliki menjadi kesadaran kolektif.
Fakta-fakta tersebut mempertegas tudingan Castells (1977) yang menyebutkan lemahnya kontrol sosial menjadikan kota-kota besar ajang kenduri para pemilik modal dan birokrat. Ketiadaan kepastian hukum, keteladanan, dan kealpaan melibatkan warga masyarakat, membawa ke arah sejenis penyakit skizofrenia.
Sebagai catatan akhir, tidak ada ruginya pemerintah Kota Bandar Lampung mendengarkan kritikan dari para pengamat bahwa kegagalan ABB perlu digunakan sebagai sarana introspeksi diri. Sudahkan pengelola kota yang diamati rakyat ini memperhatikan bentangan masalah yang disampaikan sejak awal tulisan ini. Jika jawabannya sudah, kemungkinan besar memang seluruh warga Kota Bandar Lampung mengidap skizofrenia. Benar-benar gila!
Dimuat di Lampung Post, Senin, 11 September 2006
Lampung Milik Semua Kultur
Oleh Ichlas Syukurie dan Y. Wibowo
Pendiri Pusat Kajian Agama, Sosial, dan Budaya (Pusaka) Lampung
BELAKANGAN muncul di sekitar kita sekelompok masyarakat yang menyebut diri Formala (Forum Masyarakat Lampung). Kelompok ini menjadi potret heterogenitas kultural masyarakat yang hidup di provinsi ini karena ditata dari penganut kultur-kultur yang beragam. Ada Jawa, Sunda, Bali, Semendo, Batak, Bugis, Banten, dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi inheren dengan pembentukan sejarah antropologi masyarakat di Provinsi Lampung.
Terhadap kehadiran kelompok ini, yang secara politis berusaha menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari realitas dinamika kehidupan di provinsi ini, ada banyak hal positif sekaligus negatif yang dapat mengemuka. Salah satu hal positif itu, kehadiran Formala terasa ingin menegaskan eksistensi ragam kultur penatanya sebagai bagian realitas kehidupan di provinsi ini. Penegasan itu terlihat dari usaha terlibat dinamika konflik elite dengan menyeru pentingnya rekonsiliasi sebagai konsensus.
Namun, justru karena hal positif inilah akhirnya terungkap hal negatif bahwa upaya penegasan eksistensi ini menjadi sangat kuat dipengaruhi politik, sehingga memberi kesan hendak mendukung salah satu kubu dalam dua mainstream elite yang konflik. Tetapi, terhadap hal negatif itu kita abaikan dalam tulisan ini sambil berupaya meminimalisasi dampaknya terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat Lampung. Sebaliknya, kita pantas mendukung mengingat Formala menjadi sebuah ikon untuk melebur segala perbedaan kultur yang ada dalam semangat kebersamaan dalam konsep masyarakat Lampung.
Satu soal pokok yang hendak ditegaskan adalah kenyataan provinsi ini menjadi milik semua penganut kultur yang ada. Dengan cara masing-masing, kultur-kultur itu memberi warna yang cemerlang terhadap dinamika sosial masyarakat. Warna yang pantas dicatat sebagai potret dari sebuah kerja sosial yang serius untuk menjaga dan melestarikan integritas tanpa menimbulkan resistensi terhadap setiap kultur penatanya.
Dengan begitu, hal ini sekaligus menegaskan sebagai terbukanya sebuah fase dalam sejarah antropologi di Lampung bahwa sudah bukan zamannya lagi membesar-besarkan klaim tentang Lampung hanya memilik kultur utama (first of culture) atau mainstream kultur, yakni kultur Lampung, sedangkan kultur-kultur lain merupakan kultur kedua (second of culture). Pada era Orde Baru, selama hampir 30 tahun klaim serupa itu menjadi sebuah bentuk perlawanan daerah atas hegemonisasi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Jakarta.
Kita menyadari betul hegemonisasi pemerintah pusat ditancapkan dalam tubuh birokrasi negara lewat penempatan tokoh-tokoh tertentu sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah, sehingga untuk waktu sangat lama posisi-posisi sentral seperti kepala daerah tidak akan pernah bisa dinikmati tokoh-tokoh di daerah.
Posisi-posisi itu didesain pemerintah pusat menjadi posisi yang mesti dipegang kaki tangan pemerintah, yang bisa diatur, diberi komando, dan dibubarkan sekehendak pemegang kekuasaan negara. Pemerintah pusat sangat kuat sebagai sebuah rezim yang mengooptasi segala dinamika masyarakat, sehingga mampu melamahkan tokoh-tokoh di daerah. Terhadap negara yang sentralistik seperti itu, daya kritis masyarakat di daerah menjadi tidak berarti, lalu mengkristal menjadi gerutuan-gerutuan personal yang tak bisa diungkapkan kepada publik.
Ketika reformasi bergulir, gerutuan personal itu menemukan signifikansinya dalam sebuah gerakan sosio-kultural untuk mempertegas eksistensi masyarakat daerah dengan mengedepankan konsep putra daerah. Namun, dalam perkembangannya hingga hari ini, konsep putra daerah dimaknai secara tidak produktif, yakni sebagai perlawanan atas hegemonisasi pemerintah pusat di daerah.
Sementara itu, konsep pusat untuk masyarakat Lampung bukan dalam pemahaman tentang birokrasi pemerintah semata, tetapi juga segala sesuatu yang pernah dilakukan dan diberikan pemerintah pusat, termasuk program-program nasional berupa transmigrasi.
Disebut tidak produktif karena perlawanan tidak semestinya ditujukan kepada pemerintah pusat, tetapi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di daerah seperti kemiskinan, lemahnya akses terhadap barang-barang produksi, rendahnya tingkat pendidikan, berbagai jenis penyakit, dan lain sebagai.
Namun, karena semua mengarahkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, kesan yang ditangkap akhirnya adalah sikap chauvanistik kultur. Konsep first of culture makin kuat memengaruhi pilihan sikap sosial dan kultural, dan sadar atau tidak hal ini seperti sebuah upaya menjaga kemurnian kultur, sesuatu hal yang sukar dilakukan pada zaman yang serbaterbuka kini.
Kita tahu, struktur antropologi masyarakat Lampung pascatransmigrasi tidak cuma ditata dari unsur-unsur kultur Lampung, tetapi ada unsur kultur lain yang tak bisa diabaikan peranannya. Mereka ikut andil menghidupkan struktur sosial yang ada, memunculkan komunitas-komunitas sosial, dan memainkan peran aktif dalam bidang-bidang produksi seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Sayang, dalam proses sangat panjang selama ini, peran unsur-unsur dari kultur lain itu selalu diposisikan sebagai "pendatang", terutama sangat dirasakan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan kebudayaan yang dilakukan pemerintah daerah. Kita tidak pernah melihat ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan kultur-kultur di luar kultur Lampung, seperti kebijakan yang dirumuskan untuk berusaha menjaga kultur Lampung.
Cara pandang seperti ini tidak seharusnya dimiliki lagi masyarakat Lampung. Jika dilihat dari komposisi demografi, jumlah penduduk yang menganut kultur Lampung lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menganut kultur-kultur lain. Berdasarkan data Bappeda Lampung, penganut kultur Lampung cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk Lampung. Sisanya, 67% total penduduk menganut kultur Jawa, Sunda, Banten, Bali, Sumatera Selatan, Bugis, Flores, Batak, Irian, Ambon, dan lain sebagainya.
Sebab itu, jika perhatian pemerintah terhadap penganut kultur-kultur lain yang ternyata dominan dianut penduduk Lampung tetap saja dengan cara berpikir second culture, dampaknya akan sangat serius terutama bagi masa depan pembangunan daerah. Lampung hanya akan menjadi laboratorium persoalan bagi kultur-kultur lain, sehingga provinsi ini tidak pernah bisa memikirkan secara serius bagaimana melaksanakan pembangunan daerah.
Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 5 Agustus 2006
Pendiri Pusat Kajian Agama, Sosial, dan Budaya (Pusaka) Lampung
BELAKANGAN muncul di sekitar kita sekelompok masyarakat yang menyebut diri Formala (Forum Masyarakat Lampung). Kelompok ini menjadi potret heterogenitas kultural masyarakat yang hidup di provinsi ini karena ditata dari penganut kultur-kultur yang beragam. Ada Jawa, Sunda, Bali, Semendo, Batak, Bugis, Banten, dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi inheren dengan pembentukan sejarah antropologi masyarakat di Provinsi Lampung.
Terhadap kehadiran kelompok ini, yang secara politis berusaha menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari realitas dinamika kehidupan di provinsi ini, ada banyak hal positif sekaligus negatif yang dapat mengemuka. Salah satu hal positif itu, kehadiran Formala terasa ingin menegaskan eksistensi ragam kultur penatanya sebagai bagian realitas kehidupan di provinsi ini. Penegasan itu terlihat dari usaha terlibat dinamika konflik elite dengan menyeru pentingnya rekonsiliasi sebagai konsensus.
Namun, justru karena hal positif inilah akhirnya terungkap hal negatif bahwa upaya penegasan eksistensi ini menjadi sangat kuat dipengaruhi politik, sehingga memberi kesan hendak mendukung salah satu kubu dalam dua mainstream elite yang konflik. Tetapi, terhadap hal negatif itu kita abaikan dalam tulisan ini sambil berupaya meminimalisasi dampaknya terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat Lampung. Sebaliknya, kita pantas mendukung mengingat Formala menjadi sebuah ikon untuk melebur segala perbedaan kultur yang ada dalam semangat kebersamaan dalam konsep masyarakat Lampung.
Satu soal pokok yang hendak ditegaskan adalah kenyataan provinsi ini menjadi milik semua penganut kultur yang ada. Dengan cara masing-masing, kultur-kultur itu memberi warna yang cemerlang terhadap dinamika sosial masyarakat. Warna yang pantas dicatat sebagai potret dari sebuah kerja sosial yang serius untuk menjaga dan melestarikan integritas tanpa menimbulkan resistensi terhadap setiap kultur penatanya.
Dengan begitu, hal ini sekaligus menegaskan sebagai terbukanya sebuah fase dalam sejarah antropologi di Lampung bahwa sudah bukan zamannya lagi membesar-besarkan klaim tentang Lampung hanya memilik kultur utama (first of culture) atau mainstream kultur, yakni kultur Lampung, sedangkan kultur-kultur lain merupakan kultur kedua (second of culture). Pada era Orde Baru, selama hampir 30 tahun klaim serupa itu menjadi sebuah bentuk perlawanan daerah atas hegemonisasi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Jakarta.
Kita menyadari betul hegemonisasi pemerintah pusat ditancapkan dalam tubuh birokrasi negara lewat penempatan tokoh-tokoh tertentu sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah, sehingga untuk waktu sangat lama posisi-posisi sentral seperti kepala daerah tidak akan pernah bisa dinikmati tokoh-tokoh di daerah.
Posisi-posisi itu didesain pemerintah pusat menjadi posisi yang mesti dipegang kaki tangan pemerintah, yang bisa diatur, diberi komando, dan dibubarkan sekehendak pemegang kekuasaan negara. Pemerintah pusat sangat kuat sebagai sebuah rezim yang mengooptasi segala dinamika masyarakat, sehingga mampu melamahkan tokoh-tokoh di daerah. Terhadap negara yang sentralistik seperti itu, daya kritis masyarakat di daerah menjadi tidak berarti, lalu mengkristal menjadi gerutuan-gerutuan personal yang tak bisa diungkapkan kepada publik.
Ketika reformasi bergulir, gerutuan personal itu menemukan signifikansinya dalam sebuah gerakan sosio-kultural untuk mempertegas eksistensi masyarakat daerah dengan mengedepankan konsep putra daerah. Namun, dalam perkembangannya hingga hari ini, konsep putra daerah dimaknai secara tidak produktif, yakni sebagai perlawanan atas hegemonisasi pemerintah pusat di daerah.
Sementara itu, konsep pusat untuk masyarakat Lampung bukan dalam pemahaman tentang birokrasi pemerintah semata, tetapi juga segala sesuatu yang pernah dilakukan dan diberikan pemerintah pusat, termasuk program-program nasional berupa transmigrasi.
Disebut tidak produktif karena perlawanan tidak semestinya ditujukan kepada pemerintah pusat, tetapi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di daerah seperti kemiskinan, lemahnya akses terhadap barang-barang produksi, rendahnya tingkat pendidikan, berbagai jenis penyakit, dan lain sebagai.
Namun, karena semua mengarahkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, kesan yang ditangkap akhirnya adalah sikap chauvanistik kultur. Konsep first of culture makin kuat memengaruhi pilihan sikap sosial dan kultural, dan sadar atau tidak hal ini seperti sebuah upaya menjaga kemurnian kultur, sesuatu hal yang sukar dilakukan pada zaman yang serbaterbuka kini.
Kita tahu, struktur antropologi masyarakat Lampung pascatransmigrasi tidak cuma ditata dari unsur-unsur kultur Lampung, tetapi ada unsur kultur lain yang tak bisa diabaikan peranannya. Mereka ikut andil menghidupkan struktur sosial yang ada, memunculkan komunitas-komunitas sosial, dan memainkan peran aktif dalam bidang-bidang produksi seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Sayang, dalam proses sangat panjang selama ini, peran unsur-unsur dari kultur lain itu selalu diposisikan sebagai "pendatang", terutama sangat dirasakan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan kebudayaan yang dilakukan pemerintah daerah. Kita tidak pernah melihat ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan kultur-kultur di luar kultur Lampung, seperti kebijakan yang dirumuskan untuk berusaha menjaga kultur Lampung.
Cara pandang seperti ini tidak seharusnya dimiliki lagi masyarakat Lampung. Jika dilihat dari komposisi demografi, jumlah penduduk yang menganut kultur Lampung lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menganut kultur-kultur lain. Berdasarkan data Bappeda Lampung, penganut kultur Lampung cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk Lampung. Sisanya, 67% total penduduk menganut kultur Jawa, Sunda, Banten, Bali, Sumatera Selatan, Bugis, Flores, Batak, Irian, Ambon, dan lain sebagainya.
Sebab itu, jika perhatian pemerintah terhadap penganut kultur-kultur lain yang ternyata dominan dianut penduduk Lampung tetap saja dengan cara berpikir second culture, dampaknya akan sangat serius terutama bagi masa depan pembangunan daerah. Lampung hanya akan menjadi laboratorium persoalan bagi kultur-kultur lain, sehingga provinsi ini tidak pernah bisa memikirkan secara serius bagaimana melaksanakan pembangunan daerah.
Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 5 Agustus 2006
Media dalam Cermin Dinamika Global
Oleh Y. Wibowo
Editor pada Penerbit Matakata, Lampung.
MEDIA, baik cetak maupun elektronik, sebagai sesuatu yang embedded dalam arus globalisasi membawa implikasi besar bagi perubahan perilaku dan gaya hidup (life style) individu, kelompok dan atau masyarakat dunia. Mengaitkan media dengan budaya tidak bisa terlepas dari persoalan globalisasi dan integrasi pasar dunia karena perwajahan media akan sangat ditentukan pergeseran isu-isu globalisasi dan kepentingan kapital.
Dalam kontek Indonesia, perubahan perwajahan media dengan mudah kita ditelusuri. Pada era Orde Baru secara jelas kita melihat perwajahan dunia (khususnya) media massa sangat didominasi kekuatan negara. Pada era reformasi, ada angin segar bagi kebebasan media massa dalam menyampaikan berita dan informasi bagi publik.
Tetapi, perubahan yang terjadi dalam perwajahan dunia media massa dengan kebebasannya dalam analisis, dilihat sebagai bagian yang tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme global, yang bersumber pada kaidah-kaidah neoliberalisme, dengan memiliki muatan kepentingan pasar global (libralisasi ekonomi global) di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Di balik kebebasan dunia media massa dan banyaknya institusi media bermunculan, tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses-proses demokratisasi di Indonesia. Satu sisi, institusi media massa sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal terbebas dari kekangan rezim penguasa.
Sisi lain, tampak pada perkembangannya pers makin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses alami akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditas informasi.
Dalam masyarakat kapitalisme global atau disebut juga masyarakat konsumer, terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produsen serta kekuasaan media massa. Bagaimana mereka memanfaatkan dan menggunakan televisi sebagai media menyampaikan pesan-pesan atau propagandanya kekonsumen mereka di seluruh dunia demi kepentingan sendiri tanpa memedulikan apa dan bagaimana nanti dampaknya.
Menghadapai dominasi dan infiltrasi kekuatan pasar dalam kehidupan pers adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi kesadaran kritis; keberlangsungan institusi media sangat ditentukan pelaku ekonomi melalui iklan atau promosi lainnya. Persoalannya adalah bagaimana kepentingan pelaku pasar dalam industri media massa itu dibarengi dengan apa yang dikonseptualisasikan Habermas; ketersediaan public sphere sebagai ideal type (kawasan publik atau ruang publik) dalam kebijakan pengelolaan industri media massa. Dalam implementasi ke dalam tindakan adalah bagaimana tindakan rasional dengan maksud instrumental yang dibimbing technical rules dengan tujuan maximizing expected utilities dan tindakan rasional.
***
Seiring terbitnya Majalah Playboy, perdebatan berkaitan apakah benar media massa mampu memengaruhi perilaku dan seberapa besar pengaruhnya masih menjadi diskursus. Pada sisi prespektif yang mengatakan media massa memiliki pengaruh besar bagi terjadinya perubahan perilaku individu adalah landasan argumentasi yang melihat media massa sebagai kekuatan perubahan seperti dikemukakan Dennis McQuil dengan menunjukkan model reaksi individu terhadap efek media, dengan mengacu penjelasannya pada model stimulus-respons (S-R).
Tetapi, pendapat ini banyak dibantah karena meragukan respons terhadap stimulus individu akaibat pesan yang dikirim media atau sebab lain. Hal ini berdasarkan kenyataan individu bukanlah kotak kosong yang hanya memiliki satu pesan dari media.
Individu hidup dalam struktur penuh berbagai informasi. Bantahan terhadap argumentasi model S-R itu datang dari James Curren yang menempatkan komunikan pada posisi otonom dengan menekankan media massa bukan determinan dalam konstruksi makna.
Masyarakat memiliki kebebasan memilih dan menentukan sehingga pemirsa dapat mereduksi dominasi kekuasaan media massa. Namun, masyarakat tetap percaya bahwa respon individu tersebut dipengaruhi pesan media sebagai bagian instrumen konstruksi sosial masyarakat.
Dalam hal media massa sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution), dan sebagai lembaga kemasyarakatan media massa merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan demikian, media massa tidak hidup secara mandiri, tetapi memengaruhi dan dipengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Apabila kita memahami media massa sebagai bagian subsistem yang ada di masyarakat, proses interaksi dan saling memengaruhi antarsubsistem yang ada (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) akan terjadi karena keberadaan dan posisi media massa bukan semata pada relung kosong atau hampa.
Sebab itu, dalam menjalankan fungsinya media massa harus memberikan keseimbangan pada tataran informasi, pendidikan, menghibur, dan memengaruhi. Korelasi idealisme media massa itu akan berkait dengan bagaimana keempat fungsi dijalankan.
Karena dalam implementasi kerjanya, media massa memiliki minimal tiga tanggung jawab mendasar, yakni 1). Tanggung jawab sosial (social responsibility), 2). Tanggung jawab nasional (national responsibility) dan, 3). Tanggung jawab individual (individual responsibility).
Berangkat dari media massa dengan kemunculannya sebagai sebuah keniscayaan sejarah, yang menjadi titik krusial adalah bagaimana perkembangan teknologi informasi dan institusi media sebagai bagian yang terlahir dalam rasionalitas instrumental hendaknya dapat beriringan dengan kemunculan ruang partisipasi, sehingga publik memiliki ruang publik sebagai upaya ikut mewarnai dinamika kehidupan media massa.
Dimuat di Lampung Post, Kamis, 4 Mei 2006
Editor pada Penerbit Matakata, Lampung.
MEDIA, baik cetak maupun elektronik, sebagai sesuatu yang embedded dalam arus globalisasi membawa implikasi besar bagi perubahan perilaku dan gaya hidup (life style) individu, kelompok dan atau masyarakat dunia. Mengaitkan media dengan budaya tidak bisa terlepas dari persoalan globalisasi dan integrasi pasar dunia karena perwajahan media akan sangat ditentukan pergeseran isu-isu globalisasi dan kepentingan kapital.
Dalam kontek Indonesia, perubahan perwajahan media dengan mudah kita ditelusuri. Pada era Orde Baru secara jelas kita melihat perwajahan dunia (khususnya) media massa sangat didominasi kekuatan negara. Pada era reformasi, ada angin segar bagi kebebasan media massa dalam menyampaikan berita dan informasi bagi publik.
Tetapi, perubahan yang terjadi dalam perwajahan dunia media massa dengan kebebasannya dalam analisis, dilihat sebagai bagian yang tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme global, yang bersumber pada kaidah-kaidah neoliberalisme, dengan memiliki muatan kepentingan pasar global (libralisasi ekonomi global) di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Di balik kebebasan dunia media massa dan banyaknya institusi media bermunculan, tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses-proses demokratisasi di Indonesia. Satu sisi, institusi media massa sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal terbebas dari kekangan rezim penguasa.
Sisi lain, tampak pada perkembangannya pers makin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses alami akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditas informasi.
Dalam masyarakat kapitalisme global atau disebut juga masyarakat konsumer, terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produsen serta kekuasaan media massa. Bagaimana mereka memanfaatkan dan menggunakan televisi sebagai media menyampaikan pesan-pesan atau propagandanya kekonsumen mereka di seluruh dunia demi kepentingan sendiri tanpa memedulikan apa dan bagaimana nanti dampaknya.
Menghadapai dominasi dan infiltrasi kekuatan pasar dalam kehidupan pers adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi kesadaran kritis; keberlangsungan institusi media sangat ditentukan pelaku ekonomi melalui iklan atau promosi lainnya. Persoalannya adalah bagaimana kepentingan pelaku pasar dalam industri media massa itu dibarengi dengan apa yang dikonseptualisasikan Habermas; ketersediaan public sphere sebagai ideal type (kawasan publik atau ruang publik) dalam kebijakan pengelolaan industri media massa. Dalam implementasi ke dalam tindakan adalah bagaimana tindakan rasional dengan maksud instrumental yang dibimbing technical rules dengan tujuan maximizing expected utilities dan tindakan rasional.
***
Seiring terbitnya Majalah Playboy, perdebatan berkaitan apakah benar media massa mampu memengaruhi perilaku dan seberapa besar pengaruhnya masih menjadi diskursus. Pada sisi prespektif yang mengatakan media massa memiliki pengaruh besar bagi terjadinya perubahan perilaku individu adalah landasan argumentasi yang melihat media massa sebagai kekuatan perubahan seperti dikemukakan Dennis McQuil dengan menunjukkan model reaksi individu terhadap efek media, dengan mengacu penjelasannya pada model stimulus-respons (S-R).
Tetapi, pendapat ini banyak dibantah karena meragukan respons terhadap stimulus individu akaibat pesan yang dikirim media atau sebab lain. Hal ini berdasarkan kenyataan individu bukanlah kotak kosong yang hanya memiliki satu pesan dari media.
Individu hidup dalam struktur penuh berbagai informasi. Bantahan terhadap argumentasi model S-R itu datang dari James Curren yang menempatkan komunikan pada posisi otonom dengan menekankan media massa bukan determinan dalam konstruksi makna.
Masyarakat memiliki kebebasan memilih dan menentukan sehingga pemirsa dapat mereduksi dominasi kekuasaan media massa. Namun, masyarakat tetap percaya bahwa respon individu tersebut dipengaruhi pesan media sebagai bagian instrumen konstruksi sosial masyarakat.
Dalam hal media massa sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution), dan sebagai lembaga kemasyarakatan media massa merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan demikian, media massa tidak hidup secara mandiri, tetapi memengaruhi dan dipengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Apabila kita memahami media massa sebagai bagian subsistem yang ada di masyarakat, proses interaksi dan saling memengaruhi antarsubsistem yang ada (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) akan terjadi karena keberadaan dan posisi media massa bukan semata pada relung kosong atau hampa.
Sebab itu, dalam menjalankan fungsinya media massa harus memberikan keseimbangan pada tataran informasi, pendidikan, menghibur, dan memengaruhi. Korelasi idealisme media massa itu akan berkait dengan bagaimana keempat fungsi dijalankan.
Karena dalam implementasi kerjanya, media massa memiliki minimal tiga tanggung jawab mendasar, yakni 1). Tanggung jawab sosial (social responsibility), 2). Tanggung jawab nasional (national responsibility) dan, 3). Tanggung jawab individual (individual responsibility).
Berangkat dari media massa dengan kemunculannya sebagai sebuah keniscayaan sejarah, yang menjadi titik krusial adalah bagaimana perkembangan teknologi informasi dan institusi media sebagai bagian yang terlahir dalam rasionalitas instrumental hendaknya dapat beriringan dengan kemunculan ruang partisipasi, sehingga publik memiliki ruang publik sebagai upaya ikut mewarnai dinamika kehidupan media massa.
Dimuat di Lampung Post, Kamis, 4 Mei 2006
'Landmark', antara Persepsi dan Identitas
Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
Pencitraan sebagai kota asri dengan Program Ayo Bersih-bersih (ABB) yang dicanangkan Wali Kota Bandar Lampung, Eddy Soetrisno, tampaknya tidak hanya sekadar menyingkirkan "sampah" kota. Pembangunan patung muli-meghanai di (orang menyebutnya) "Perempatan Lungsir" yang mendapat sokongan swasta pun kiranya patut mendapat catatan menarik. Sebab, umumnya keberadaan patung sebagai salah satu elemen (landmark) pembentuk ruang yang dapat juga bisa menjadi simbol tempat akan lebih membuat tampilan wajah kota kian menarik, selain membuat penghuni kota merasa memiliki arti dari sebuah bentuk bangunan.
Kebanyakan ilmuwan berpendapat dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari diri sendiri, tetapi kehidupan di dalamnya.
Ihwal pembangunan patung muli-meghanai sebagai salah satu landmark untuk Kota Bandar Lampung akan menjadi signifikan bagi pemerintah dalam upaya mencitrakan diri. Sebab itu, landmark dimestikan berdiri dengan monumentalitasnya yang khas dengan fungsinya yang jelas. Sementara itu, apa arti landmark agaknya masih perlu dilakukan upaya sosialisasi lebih intensif dan meluas di masyarakat.
***
Landmark adalah sebuah sebutan yang sesungguhnya tidak terlampau populer dalam dunia seni. Sebab, landmark yang artinya "tanda-tanda tempat" atau sebuah "sosok" yang secara sengaja atau tidak sengaja dijadikan titik tengara, tengaran (Jawa: tengeran) satu lingkungan, bisa mengacu bentuk apa saja. Yang seni atau sama sekali yang bukan seni.
Di desa saya, Karang Anyar, 10 kilometer selatan Kota Bandar Lampung, orang menengarai jalan menuju ke desa ditandai seonggok tugu tua yang berdiri tegak di tengah perempatan "jalan aspal" dan "jalan tanah" pasar desa. Sementara itu, batas antara Desa Karang Anyar dan Desa Jati Mulyo yang berbatasan dengan batas pinggiran Bandar Lampung, yaitu Way Kandis, ditengarai sebuah pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal yang rusak dan berlubang kira-kira sepanjang 500 meter.
Hal ini entah mengapa terjadi, setelah batas akhir dari Bandar Lampung dengan batas pintu gerbang kecil dan jalan aspal rusak dan berlubang itu kemudian menandai perjalanan sudah masuk Kabupaten Lampung Selatan, wilayah tempat saya tinggal. Maka, ketika pemuda dan pemudi Desa Karang Anyar ingin berkencan sambil mendendangkan lagu "Senja di Batas Kota", yang terpikir di kepala mereka adalah harus melintasi pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal rusak dan berlubang itu, untuk sesaat kemudian baru memasuki Desa Jati Mulyo dan sampai Desa Karang Anyar dengan seonggok tugu tua berdiri di perempatan jalan.
Mengacu pengertiannya secara arsitektural, landmark atau tengeran merupakan titik referensi seperti elemen node (simpul), tetapi orang tidak masuk karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi. Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai luar kota. Beberapa landmark juga hanya mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting bentuk kota karena membantu orang mengorientasikan diri dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sequence beberapa landmark, serta ada perbedaan skala masing-masing.
Dari aneka studi kasus, sebuah landmark memang bisa terjadi hanya karena sebuah kesepakatan laten dari publik. Sebuah landmark akan diakui sebagai "tanda tempat" apabila masyarakat memang mau beramai-ramai mengambil "manfaat lingkungan" dari yang ia persepsikan. Di Bukittinggi ada Jam Gadang. Saat itu, ketika Belanda membuat jam tersebut, tidak sedikit pun terbersit konsep bahwa Jam Gadang akan jadi tengeran. Namun, perkembangan masyarakat pelan-pelan mengambil Jam Gadang sebagai tanda-tanda lingkungan.
Begitu pula dengan Big Ben di London. Jam raksasa nan artistik ini semula lebih difungsikan untuk tanda waktu bagi penduduk Kota London yang diharapkan akan terus religius sebagai penganut Presbiterian, Metodis, Katolik Roma, atau Anglikan, agama resmi negara itu.
Karena jam akan berdentang keras dengan gema ke sisi-sisi kota pada setiap jamnya, saat itu masyarakat mengingat hidup lewat doa. Namun, Big Ben kini terposisi sebagai tengeran tempat. Seperti halnya kemegahan dan keantikan Katedral Durham yang sekarang terpatok sebagai landmark sebuah daerah di Inggris Utara.
Contoh lain yang aktual dan jelas adalah gedung WTC (World Trade Center) New York, yang beberapa tahun lalu lebur menjadi abu akibat kebiadaban teroris. Tidak seperti gedung Empire State Building yang disiapkan menjadi monumen bangunan dan landmark pusat Kota New York, WTC didirikan sekedar simbol kedigdayaan ekonomi Amerika.
Namun pada perkembangan mutakhir, karena kejangkungan dan kesibukan orang di gedung itu, WTC terangkat jadi sebuah tengeran lingkungan. Sebuah landmark ternyata dapat muncul dengan sendirinya sekaligus dapat lenyap dengan sendirinya meskipun semula disiapkan sebagai landmark.
Di Jalan Jenderal Sudirman ada yang disebut Landmark Building. Nama bangunan megah ini menyimpan maksud agar posisi dia jadi tengeran tempat. Namun, orang yang lewat di sana justru lebih banyak menyebut "sedang berada di kawasan BCA Sudirman".
Berbagai kasus itu lalu menyulut lahirnya fenomena yang mengisyaratkan fungsinya landmark yang disentuh tangan-tangan seniman. Dan sang seniman, si penangkap yang paling tanggap adalah pematung, arsitek, pembuat art work.
Merekalah yang bergerak mewujudkan konsep seni lingkungan sejak 1960-an. Hingga dapat mewujudkan landmark tidak hanya harus muncul dengan sendirinya. Namun, juga dibuat dengan konsep yang sengaja, jelas, dan pasti. Di sini, pembangunan konsep "tengeran tempat" dan seni dipertemukan, dan lantaran pengertian "tengeran tempat" berkaitan langsung dengan masyarakat atau komunitas yang berada di sebuah tempat, patung atau art work yang dibangun juga mesti sesuai dengan lingkungannya.
Atas hal ini, Gregorius Sidharta dapat dinilai berhasil ketika menciptakan Monumen Tonggak Samudra di kawasan Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta. Karya Sidharta menghenyakkan dan segera melahirkan persepsi khusus di kawasan tersebut.
Seperti halnya patung Alexander Calder yang merah membahana dengan tinggi 43 kaki di pelataran Grand Rapids, Amerika Serikat. Lagi-lagi, sebuah karya artistik yang jadi penanda atau bahkan tempat rendezvous.
Repons yang sama tampak atas patung koboi dari fiber penuh warna karya Louis Jiminez. Kini, setiap orang yang janji bertemu di depan National Museum of American Art, Washington, selalu memilih patung koboi Jimenes sebagai titik jumpa.
***
Karya-karya artistik dalam skala kota memang banyak yang terfungsikan sebagai tengeran tempat walau persepsi masyarakat terhadap wujud karya itu dapat saja meleset. Orang Jakarta menengarai persimpangan Jalan Senopati, Jakarta Selatan, dengan patung Pizza Man (pelayan restoran piza yang kepanasan).
Padahal patung lelaki membawa api karya Moenir Pamoentjak itu berjudul patung Pemuda. Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, ditengarai patung Balapan Karung. Padahal patung itu aslinya berjudul Gerak Pembangunan.
Atau yang cukup unik seperti di Bandar Lampung, misalnya, tugu Adipura, yang kemudian lebih saya kenal karena kawan-kawan akrab menyebutnya sebagai "Bundaran Gajah" atau "patung Gajah". Atas fenomena yang berlangsung dan terus berulang tersebut, pembangunan sebuah landmark mestinya berkait dengan berbagai aspek.
Aspek pertama adalah yang menyangkut konsep dulce et utile yang artinya "menyenangkan dan berguna". Kedua menyangkut ihwal peletakan sosok art work landmark dalam lingkungan. Hingga art work itu diterima sebagai bagian dari kesenangan hidup dalam lingkungan, diterima sebagai penegas karakter sebuah lingkungan, dan sebagai titik orientasi satu lingkungan.
Akhirnya, bagaimana landmark dapat memersepsikan diri dan sebuah kota menjadi elok, tentu kehadiran landmark mesti benar-benar diterima sebagai tengeran. Adakah ini bisa mengalahkan eksistensi seonggok tugu tua di desa saya? Dalam rentang perjalanan waktu ke depan, mari kita tunggu bersama-sama.
Dimuat di Lampung Post, Rabu, 12 April 2006
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
Pencitraan sebagai kota asri dengan Program Ayo Bersih-bersih (ABB) yang dicanangkan Wali Kota Bandar Lampung, Eddy Soetrisno, tampaknya tidak hanya sekadar menyingkirkan "sampah" kota. Pembangunan patung muli-meghanai di (orang menyebutnya) "Perempatan Lungsir" yang mendapat sokongan swasta pun kiranya patut mendapat catatan menarik. Sebab, umumnya keberadaan patung sebagai salah satu elemen (landmark) pembentuk ruang yang dapat juga bisa menjadi simbol tempat akan lebih membuat tampilan wajah kota kian menarik, selain membuat penghuni kota merasa memiliki arti dari sebuah bentuk bangunan.
Kebanyakan ilmuwan berpendapat dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari diri sendiri, tetapi kehidupan di dalamnya.
Ihwal pembangunan patung muli-meghanai sebagai salah satu landmark untuk Kota Bandar Lampung akan menjadi signifikan bagi pemerintah dalam upaya mencitrakan diri. Sebab itu, landmark dimestikan berdiri dengan monumentalitasnya yang khas dengan fungsinya yang jelas. Sementara itu, apa arti landmark agaknya masih perlu dilakukan upaya sosialisasi lebih intensif dan meluas di masyarakat.
***
Landmark adalah sebuah sebutan yang sesungguhnya tidak terlampau populer dalam dunia seni. Sebab, landmark yang artinya "tanda-tanda tempat" atau sebuah "sosok" yang secara sengaja atau tidak sengaja dijadikan titik tengara, tengaran (Jawa: tengeran) satu lingkungan, bisa mengacu bentuk apa saja. Yang seni atau sama sekali yang bukan seni.
Di desa saya, Karang Anyar, 10 kilometer selatan Kota Bandar Lampung, orang menengarai jalan menuju ke desa ditandai seonggok tugu tua yang berdiri tegak di tengah perempatan "jalan aspal" dan "jalan tanah" pasar desa. Sementara itu, batas antara Desa Karang Anyar dan Desa Jati Mulyo yang berbatasan dengan batas pinggiran Bandar Lampung, yaitu Way Kandis, ditengarai sebuah pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal yang rusak dan berlubang kira-kira sepanjang 500 meter.
Hal ini entah mengapa terjadi, setelah batas akhir dari Bandar Lampung dengan batas pintu gerbang kecil dan jalan aspal rusak dan berlubang itu kemudian menandai perjalanan sudah masuk Kabupaten Lampung Selatan, wilayah tempat saya tinggal. Maka, ketika pemuda dan pemudi Desa Karang Anyar ingin berkencan sambil mendendangkan lagu "Senja di Batas Kota", yang terpikir di kepala mereka adalah harus melintasi pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal rusak dan berlubang itu, untuk sesaat kemudian baru memasuki Desa Jati Mulyo dan sampai Desa Karang Anyar dengan seonggok tugu tua berdiri di perempatan jalan.
Mengacu pengertiannya secara arsitektural, landmark atau tengeran merupakan titik referensi seperti elemen node (simpul), tetapi orang tidak masuk karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi. Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai luar kota. Beberapa landmark juga hanya mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting bentuk kota karena membantu orang mengorientasikan diri dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sequence beberapa landmark, serta ada perbedaan skala masing-masing.
Dari aneka studi kasus, sebuah landmark memang bisa terjadi hanya karena sebuah kesepakatan laten dari publik. Sebuah landmark akan diakui sebagai "tanda tempat" apabila masyarakat memang mau beramai-ramai mengambil "manfaat lingkungan" dari yang ia persepsikan. Di Bukittinggi ada Jam Gadang. Saat itu, ketika Belanda membuat jam tersebut, tidak sedikit pun terbersit konsep bahwa Jam Gadang akan jadi tengeran. Namun, perkembangan masyarakat pelan-pelan mengambil Jam Gadang sebagai tanda-tanda lingkungan.
Begitu pula dengan Big Ben di London. Jam raksasa nan artistik ini semula lebih difungsikan untuk tanda waktu bagi penduduk Kota London yang diharapkan akan terus religius sebagai penganut Presbiterian, Metodis, Katolik Roma, atau Anglikan, agama resmi negara itu.
Karena jam akan berdentang keras dengan gema ke sisi-sisi kota pada setiap jamnya, saat itu masyarakat mengingat hidup lewat doa. Namun, Big Ben kini terposisi sebagai tengeran tempat. Seperti halnya kemegahan dan keantikan Katedral Durham yang sekarang terpatok sebagai landmark sebuah daerah di Inggris Utara.
Contoh lain yang aktual dan jelas adalah gedung WTC (World Trade Center) New York, yang beberapa tahun lalu lebur menjadi abu akibat kebiadaban teroris. Tidak seperti gedung Empire State Building yang disiapkan menjadi monumen bangunan dan landmark pusat Kota New York, WTC didirikan sekedar simbol kedigdayaan ekonomi Amerika.
Namun pada perkembangan mutakhir, karena kejangkungan dan kesibukan orang di gedung itu, WTC terangkat jadi sebuah tengeran lingkungan. Sebuah landmark ternyata dapat muncul dengan sendirinya sekaligus dapat lenyap dengan sendirinya meskipun semula disiapkan sebagai landmark.
Di Jalan Jenderal Sudirman ada yang disebut Landmark Building. Nama bangunan megah ini menyimpan maksud agar posisi dia jadi tengeran tempat. Namun, orang yang lewat di sana justru lebih banyak menyebut "sedang berada di kawasan BCA Sudirman".
Berbagai kasus itu lalu menyulut lahirnya fenomena yang mengisyaratkan fungsinya landmark yang disentuh tangan-tangan seniman. Dan sang seniman, si penangkap yang paling tanggap adalah pematung, arsitek, pembuat art work.
Merekalah yang bergerak mewujudkan konsep seni lingkungan sejak 1960-an. Hingga dapat mewujudkan landmark tidak hanya harus muncul dengan sendirinya. Namun, juga dibuat dengan konsep yang sengaja, jelas, dan pasti. Di sini, pembangunan konsep "tengeran tempat" dan seni dipertemukan, dan lantaran pengertian "tengeran tempat" berkaitan langsung dengan masyarakat atau komunitas yang berada di sebuah tempat, patung atau art work yang dibangun juga mesti sesuai dengan lingkungannya.
Atas hal ini, Gregorius Sidharta dapat dinilai berhasil ketika menciptakan Monumen Tonggak Samudra di kawasan Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta. Karya Sidharta menghenyakkan dan segera melahirkan persepsi khusus di kawasan tersebut.
Seperti halnya patung Alexander Calder yang merah membahana dengan tinggi 43 kaki di pelataran Grand Rapids, Amerika Serikat. Lagi-lagi, sebuah karya artistik yang jadi penanda atau bahkan tempat rendezvous.
Repons yang sama tampak atas patung koboi dari fiber penuh warna karya Louis Jiminez. Kini, setiap orang yang janji bertemu di depan National Museum of American Art, Washington, selalu memilih patung koboi Jimenes sebagai titik jumpa.
***
Karya-karya artistik dalam skala kota memang banyak yang terfungsikan sebagai tengeran tempat walau persepsi masyarakat terhadap wujud karya itu dapat saja meleset. Orang Jakarta menengarai persimpangan Jalan Senopati, Jakarta Selatan, dengan patung Pizza Man (pelayan restoran piza yang kepanasan).
Padahal patung lelaki membawa api karya Moenir Pamoentjak itu berjudul patung Pemuda. Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, ditengarai patung Balapan Karung. Padahal patung itu aslinya berjudul Gerak Pembangunan.
Atau yang cukup unik seperti di Bandar Lampung, misalnya, tugu Adipura, yang kemudian lebih saya kenal karena kawan-kawan akrab menyebutnya sebagai "Bundaran Gajah" atau "patung Gajah". Atas fenomena yang berlangsung dan terus berulang tersebut, pembangunan sebuah landmark mestinya berkait dengan berbagai aspek.
Aspek pertama adalah yang menyangkut konsep dulce et utile yang artinya "menyenangkan dan berguna". Kedua menyangkut ihwal peletakan sosok art work landmark dalam lingkungan. Hingga art work itu diterima sebagai bagian dari kesenangan hidup dalam lingkungan, diterima sebagai penegas karakter sebuah lingkungan, dan sebagai titik orientasi satu lingkungan.
Akhirnya, bagaimana landmark dapat memersepsikan diri dan sebuah kota menjadi elok, tentu kehadiran landmark mesti benar-benar diterima sebagai tengeran. Adakah ini bisa mengalahkan eksistensi seonggok tugu tua di desa saya? Dalam rentang perjalanan waktu ke depan, mari kita tunggu bersama-sama.
Dimuat di Lampung Post, Rabu, 12 April 2006
Wajah Kota dan Menipisnya Kontak Budaya
Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
KOTA adalah sesuatu yang lebih dari sekadar yang dapat kita pandang melalui lanskapnya, kerumunan gedung-gedung pencakar langit, pantulan silau kaca-kaca plaza, dan kerlap-kerlip ribuan lampu kendaraan yang mengalir di bawahnya. Semua itu dapat mengecoh.
Ibarat bedak dan lipstik yang menyelubungi seraut wajah, kota juga adalah sebuah ambiguitas kehidupan atau labirin yang penuh sekat, buntu, tapi di lain saat tidak berujung.
Tetapi, mengapa manusia pada umumnya lebih senang tinggal di kota daripada di desa? Mengapa desa berkembang menjadi kota, dan tidak sebaliknya kota menjadi desa?
Sebab, kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup yang lebih berbudaya dan menyenangkan, dengan konsumsi energi dan sumber daya yang lebih rendah. Kota juga representasi kehidupan ketika kerja lebih terorganisasi dan terjadwal, kerja dan pengembangan diri lebih terbuka dan bervariasi. Kota memang menyodorkan banyak masalah, tetapi juga menawarkan lebih banyak ide dan solusi. Ia adalah tempat menyemai pengetahuan, mengeksploitasi penemuan ketika inovator dapat belajar langsung dari pesaingnya.
Sejarah kota, muasalnya dimulai dengan pasar, alun-alun, balai kota. Tempat persinggungan berbagai kegiatan kemasyarakatan yang terpusat, beriringan dan terintegrasi.
Dalam konteks ekonomi, Olson ("Urban Metabolism and Morphogenesis", Urban Geography, 1982) menulis, "Bahkan sebelum era keemasan kapitalisme, hampir semua kota di dunia tumbuh karena akumulasi kapital. Kota berfungsi bagaikan sel, pelabuhan, distrik perbankan, pabrik, dan kawasan pinggiran adalah organ atau tenunan khusus; dan kapital--entah dalam bentuk uang atau aset terbangun--adalah energi yang mengalir melalui sistem kota".
Ada sisi lain yang cukup akut dari perkotaan. Ia juga merangsang pertumbuhan permukiman kumuh dan permukiman liar yang dibangun kaum migran miskin yang bekerja sebagai buruh-buruh perusahaan pabrik, dan seiring dengannya tumbuh pula berbagai jasa sektor informal yang ditandai munculnya warung, kereta dorong, dan tenda-tenda reyot yang berceceran di pinggir jalan dan ruang publik. Ruang publik lantas menjadi medan pertempuran ruang ekonomi (the battle of economic space) yang terkadang berlangsung sampai berdarah-darah.
Dengan demikian, proses akumulasi kapital sebenarnya menciptakan dunia yang dualistik! Bagaikan cerita A Tale of Two Cities-nya Charles Dickens, implikasi akumulasi kapital macam ini dengan segera menciptakan lanskap kota yang sangat mencolok menyajikan kontradiksi antara ekonomi formal dan ekonomi informal; kawasan kaya dan kawasan miskin; mal modern dan pasar tradisional kumuh; bahkan dapat pula kita jumpai segregasi etik yang mengekspresikan urban apartheid.
Kota yang segregated, dualistik, dan kontradiktif pada dasarnya selalu menyimpan keresahan, ketegangan, ketidakpercayaan, dan ketidakamanan. Dan kecenderungan yang berkali-kali terjadi, masyarakat kecil biasanya harus menerima dengan tak berdaya dalam medan pertarungan kapital.
Oleh sebab itulah, di negara maju kemudian muncul pelbagai peraturan perkotaan yang tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi melainkan juga mewadahi aspirasi masyarakat, melalui sistem advocacy dan pelibatan/partisipasi penduduk. Sementara itu, pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acap dilihat sebagai konsumen yang pasif. Memang masyarakat diberi tempat untuk aktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja, dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang ikut proses penentuan kebijakan dan perencanaannya.
Padahal, sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat dan lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan.
Dari hasil-hasil kajian perkotaan, diperoleh temuan bahwa kelapukan dan kehancuran kota tidak disebabkan semata ulah masyarakat kotanya, melainkan lebih karena sistem ekonomi kapitalistik yang ganas. Selain itu terdapat indikasi lapisan masyarakat marginal yang berada di luar pagar atau ruang pengambil keputusan, cenderung menjadi beringas dan gampang tersulut emosinya.
"Participation provides a way of being creative for urban people whose work may be totally uncreative," kata Wilmott. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota di Indonesia masih sering diabaikan, padahal penting sekali artinya menumbuhkan harga diri, percaya diri, dan jati diri.
Apalagi bagi kaum papa yang termasuk kategori the silent majority, keterlibatan mereka boleh dikata tidak ada. Antara lain karena anggapan tingkat pendidikannya yang rendah sehingga tidak dapat diajak berdwicakap.
Lagi pula waktunya banyak dihabiskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Padahal sebetulnya masyarakat (itu) memiliki kearifan tersendiri yang sering di luar dugaan kalangan yang berpendidikan.
Dari pengamatan selama ini, dapat ditemu-kenali beberapa kelemahan dalam proses perencanaan, implementasi, dan pengelolaan pembangunan kota, antara lain pertama, perencanaan yang terlalu berorientasi pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidak-pastian (uncertainties).
Di sisi lain terdapat jenis-jenis perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang berwawasan luas. Seyogianya pendekatan yang diambil mencakup keduanya, ibarat melihat keseluruhan hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya atau sebaliknya melihat keunikan setiap jenis pohon akan tetapi ditilik dalam konteks hutannya.
Kedua, terlihat kecenderungan kuat bahwa perencanaan tata ruang terlalu berat ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual (biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan).
Ketiga, hal yang cukup merisaukan adalah adanya kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota.
Agar perencanaan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat sebagai management of changes atau management of conflicts, Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.
Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model participatory planning dan over-the board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuen.
Sekadar contoh, kebanyakan perencana kota mengganggap jalan sekadar sebagai prasarana lalu lalang dan ruang transisi (transitional space) saja. Jika direncanakan dengan sebatas anggapan tersebut, tertutup peluang memanfaatkan jalan sebagai ruang aktivitas (activity space).
Padahal, di kota-kota sedang seperti kita di Lampung, jalan bukanlah semata-mata menampung arus lalu lintas melainkan juga merupakan ruang terbuka untuk kontak sosial, wadah kegiatan, rekreasi dan bahkan untuk aktivitas perdagangan di udara terbuka.
Kehadiran pedagang kaki lima (pedagang kelana) yang mobil, memberikan citra tersendiri pada wajah kota. Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusiawi--hal yang cenderung hilang atau menipis dalam masyarakat kota.
Karena munculnya pada saat-saat tertentu (biasanya malam hari), lantas diberi predikat instant city. Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan para profesional khususnya di bidang lingkungan binaan seyogianya lebih ditingkatkan melalui forum-forum pertemuan, diskusi, ceramah, publikasi, baik secara formal maupun informal.
Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 18 Februari 2006
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
KOTA adalah sesuatu yang lebih dari sekadar yang dapat kita pandang melalui lanskapnya, kerumunan gedung-gedung pencakar langit, pantulan silau kaca-kaca plaza, dan kerlap-kerlip ribuan lampu kendaraan yang mengalir di bawahnya. Semua itu dapat mengecoh.
Ibarat bedak dan lipstik yang menyelubungi seraut wajah, kota juga adalah sebuah ambiguitas kehidupan atau labirin yang penuh sekat, buntu, tapi di lain saat tidak berujung.
Tetapi, mengapa manusia pada umumnya lebih senang tinggal di kota daripada di desa? Mengapa desa berkembang menjadi kota, dan tidak sebaliknya kota menjadi desa?
Sebab, kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup yang lebih berbudaya dan menyenangkan, dengan konsumsi energi dan sumber daya yang lebih rendah. Kota juga representasi kehidupan ketika kerja lebih terorganisasi dan terjadwal, kerja dan pengembangan diri lebih terbuka dan bervariasi. Kota memang menyodorkan banyak masalah, tetapi juga menawarkan lebih banyak ide dan solusi. Ia adalah tempat menyemai pengetahuan, mengeksploitasi penemuan ketika inovator dapat belajar langsung dari pesaingnya.
Sejarah kota, muasalnya dimulai dengan pasar, alun-alun, balai kota. Tempat persinggungan berbagai kegiatan kemasyarakatan yang terpusat, beriringan dan terintegrasi.
Dalam konteks ekonomi, Olson ("Urban Metabolism and Morphogenesis", Urban Geography, 1982) menulis, "Bahkan sebelum era keemasan kapitalisme, hampir semua kota di dunia tumbuh karena akumulasi kapital. Kota berfungsi bagaikan sel, pelabuhan, distrik perbankan, pabrik, dan kawasan pinggiran adalah organ atau tenunan khusus; dan kapital--entah dalam bentuk uang atau aset terbangun--adalah energi yang mengalir melalui sistem kota".
Ada sisi lain yang cukup akut dari perkotaan. Ia juga merangsang pertumbuhan permukiman kumuh dan permukiman liar yang dibangun kaum migran miskin yang bekerja sebagai buruh-buruh perusahaan pabrik, dan seiring dengannya tumbuh pula berbagai jasa sektor informal yang ditandai munculnya warung, kereta dorong, dan tenda-tenda reyot yang berceceran di pinggir jalan dan ruang publik. Ruang publik lantas menjadi medan pertempuran ruang ekonomi (the battle of economic space) yang terkadang berlangsung sampai berdarah-darah.
Dengan demikian, proses akumulasi kapital sebenarnya menciptakan dunia yang dualistik! Bagaikan cerita A Tale of Two Cities-nya Charles Dickens, implikasi akumulasi kapital macam ini dengan segera menciptakan lanskap kota yang sangat mencolok menyajikan kontradiksi antara ekonomi formal dan ekonomi informal; kawasan kaya dan kawasan miskin; mal modern dan pasar tradisional kumuh; bahkan dapat pula kita jumpai segregasi etik yang mengekspresikan urban apartheid.
Kota yang segregated, dualistik, dan kontradiktif pada dasarnya selalu menyimpan keresahan, ketegangan, ketidakpercayaan, dan ketidakamanan. Dan kecenderungan yang berkali-kali terjadi, masyarakat kecil biasanya harus menerima dengan tak berdaya dalam medan pertarungan kapital.
Oleh sebab itulah, di negara maju kemudian muncul pelbagai peraturan perkotaan yang tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi melainkan juga mewadahi aspirasi masyarakat, melalui sistem advocacy dan pelibatan/partisipasi penduduk. Sementara itu, pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acap dilihat sebagai konsumen yang pasif. Memang masyarakat diberi tempat untuk aktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja, dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang ikut proses penentuan kebijakan dan perencanaannya.
Padahal, sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat dan lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan.
Dari hasil-hasil kajian perkotaan, diperoleh temuan bahwa kelapukan dan kehancuran kota tidak disebabkan semata ulah masyarakat kotanya, melainkan lebih karena sistem ekonomi kapitalistik yang ganas. Selain itu terdapat indikasi lapisan masyarakat marginal yang berada di luar pagar atau ruang pengambil keputusan, cenderung menjadi beringas dan gampang tersulut emosinya.
"Participation provides a way of being creative for urban people whose work may be totally uncreative," kata Wilmott. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota di Indonesia masih sering diabaikan, padahal penting sekali artinya menumbuhkan harga diri, percaya diri, dan jati diri.
Apalagi bagi kaum papa yang termasuk kategori the silent majority, keterlibatan mereka boleh dikata tidak ada. Antara lain karena anggapan tingkat pendidikannya yang rendah sehingga tidak dapat diajak berdwicakap.
Lagi pula waktunya banyak dihabiskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Padahal sebetulnya masyarakat (itu) memiliki kearifan tersendiri yang sering di luar dugaan kalangan yang berpendidikan.
Dari pengamatan selama ini, dapat ditemu-kenali beberapa kelemahan dalam proses perencanaan, implementasi, dan pengelolaan pembangunan kota, antara lain pertama, perencanaan yang terlalu berorientasi pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidak-pastian (uncertainties).
Di sisi lain terdapat jenis-jenis perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang berwawasan luas. Seyogianya pendekatan yang diambil mencakup keduanya, ibarat melihat keseluruhan hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya atau sebaliknya melihat keunikan setiap jenis pohon akan tetapi ditilik dalam konteks hutannya.
Kedua, terlihat kecenderungan kuat bahwa perencanaan tata ruang terlalu berat ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual (biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan).
Ketiga, hal yang cukup merisaukan adalah adanya kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota.
Agar perencanaan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat sebagai management of changes atau management of conflicts, Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.
Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model participatory planning dan over-the board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuen.
Sekadar contoh, kebanyakan perencana kota mengganggap jalan sekadar sebagai prasarana lalu lalang dan ruang transisi (transitional space) saja. Jika direncanakan dengan sebatas anggapan tersebut, tertutup peluang memanfaatkan jalan sebagai ruang aktivitas (activity space).
Padahal, di kota-kota sedang seperti kita di Lampung, jalan bukanlah semata-mata menampung arus lalu lintas melainkan juga merupakan ruang terbuka untuk kontak sosial, wadah kegiatan, rekreasi dan bahkan untuk aktivitas perdagangan di udara terbuka.
Kehadiran pedagang kaki lima (pedagang kelana) yang mobil, memberikan citra tersendiri pada wajah kota. Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusiawi--hal yang cenderung hilang atau menipis dalam masyarakat kota.
Karena munculnya pada saat-saat tertentu (biasanya malam hari), lantas diberi predikat instant city. Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan para profesional khususnya di bidang lingkungan binaan seyogianya lebih ditingkatkan melalui forum-forum pertemuan, diskusi, ceramah, publikasi, baik secara formal maupun informal.
Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 18 Februari 2006
Reproduksi Kekuasaan dan Masyarakat yang Acuh tak Acuh
Oleh Y. Wibowo
Penyair, berdialektik pada Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
ADA kebingungan dan kegelisahan yang nyaris berujung pada frustrasi akan rasa kepercayaan masyarakat dalam menyikapi krisis kepemimpinan di Lampung. "Kekacauan" proses yang berlarut-larut itu menghadapkan kita pada kenyataan yang sumir, dimulai dengan pemilihan gubernur yang kontroversial hingga puncaknya, perseteruan Gubernur dan DPRD Lampung yang tidak mengakui Sjachroedin Z.P. sebagai gubernur (SK No. 15/2005 tentang Pernyataan Pendapat DPRD Lampung terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 437/TUN/2004).
Atas fenomena semacam "gajah bertarung, gading retak dan berserak di mana-mana", saya merasa berada dalam situasi yang kemudian bisa terjerembap pada anasir hukum tentang benar-salah atau merujuk pada segregasi etik bersikap moralisnya para begawan sosial-politik. Untuk itu saya lebih memilih berada pada posisi terlelap dalam buaian postulat Joan Baudrillard, "Kekuasaan dengan sendirinya mereproduksi diri melalui berbagai hubungan."
***
Para elite politik kita di Negarabatin tampak masih kukuh pada keyakinan masing-masing dan terlihat ogah-ogahan dalam berinisiatif mengakhiri konflik kepemimpinan yang berlangsung. Konflik kepemimpinan itu pada hematnya bermuara pada legitimasi kepemimpinan yang demokratis. Sementara pemerintahan di Jakarta dengan wataknya yang ambigu terlihat mengambangkan keputusan secara diplomatis.
Tentu, mereka semua masih saja bertikai dan tidak bertemu melakukan kesepakatan-kesepakatan yang jelas bagaimana membangun jalan demokrasi. Hal ini terjadi karena memang elite politik kita berangkat dari kekuatan kelompok tertentu atau dari partai politik yang berbeda-beda. Ini sebenarnya ideal demokrasi dalam sebuah kepemimpinan multipartai.
Demokrasi memang dipenuhi jalan terjal yang berliku, bukan saja ketidaksediaan para elite mewujudkan demokrasi, tapi dalam situasi demokrasi guna mewujudkan kepemimpinan yang demokratis, pro-kontra bisa menciptakan sistem yang kontraproduktif. Hal ini diilustrasikan cukup apik Jack Snyder, penulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, 2000, yang menyangsikan jika proses demokrasi dapat membawa arah perubahan masyarakat damai dan sejahtera.
Prinsipnya, sejarah menunjukkan demokratisasi, tepatnya masa transisi ke arah demokrasi, sering menimbulkan perang, SARA, bahkan disintegrasi negara-bangsa, lalu demokrasi dan perdamaian dapat terpelihara jika antar-kepemimpinan yang memiliki watak demokrasinya sudah matang.
Hal ini ditilik secara populer nasionalisme mencakup banyak gejala, seperti kerusuhan etnis, patriotisme, perjuangan damai kelompok budaya guna mencapai hak-hak khusus. Dalam perubahan pengertian demokrasi juga mesti jelas, antara "demokrasi yang matang" (mature democracies) dan "yang sedang demokratisasi" (democratizing states). Dalam kepemimpinan dan pemerintahan yang matang, termasuk kebijakan politik diputuskan pejabat yang diangkat berdasarkan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Dan kesemuanya harus didahului dengan kebebasan, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul. Prinsip dasar ini harus dihargai bersama antarberbagai kelompok kepentingan.
Terlebih jika kita merujuk pada pemahaman dan makna demokrasi yang cenderung kita angggap klasik dan klise tentang makna dasar demokrasi, yaitu "demos" = rakyat, "kratos/kratein" = berkuasa. Artinya "rakyat berkuasa" atau government of rule by the people, and for the people. Itulah inti demokrasi yang dalam prakteknya ada sejak zaman Yunani kuno, yakni ketika Kleistenes mereformasi sistem pemerintahan tahun 508 SM.
Jika dilihat dari sejarahnya, sejak dulu aktualisasi demokrasi itu murni berupa metode (cara), alat, dan proses (bukan tujuan) menciptakan perdamaian. Sebagai cara, alat, atau proses dalam aktualisasinya demokrasi menjadi kasatmata, bisa diukur, dan menyangkut kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana dengan demokrasi kita di Lampung? Bung Hatta, Sang Proklamator kita pernah menyebut krisis demokrasi atau demokrasi dalam keadaan krisis sebagai "Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarkhi, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besar dari sejarah dunia! Demokrasi dapat berjalan baik, apabila rasa tanggung jawab dan toleransi ada pada pemimpin-pemimpin politik."
Ketidaksediaan para elite politik kita untuk berkompromi politik, jelas menandakan frustrasi elite setelah berkali-kali mereka bertatap muka, tetapi hasilnya tidak ada. Alih-alih pertikaian di antara mereka terus saja berlangsung, dan kondisinya sudah sedemikian rupa parahnya.
Melihat perseteruan elite politik itu, ada dua sisi yang bisa ditengarai sebagai "jalan buntu". Pertama, ketika pemerintahan berlangsung, demokrasi memerlukan kesepakatan para elite untuk memilih dan menentukan arah demokrasi yang akan dibangun. Hal ini selain sebagai pertanggungjawaban jabatan politis, juga bentuk amanah konstituen/masyarakat yang memercayakan kepemimpinannya. Dalam konteks ini, menilik dari kronologis pemilihan ulang gubernur (M. Alzier Dianis Thabranie) terpilih, kemudian ada desakan menyelenggarakan pemilihan gubernur ulang, jelas terjadi pengingkaran kesepakatan politik yang kemudian menjadi benang kusut babak pertama dalam kepemimpinan (elite politik) yang demokratis.
Kedua, adanya egoisme politik yang tengah berkecamuk di dada para elite kini. Hal ini bersumber pada agenda kepentingan masing-masing kekuatan politik, dampak proses benturan berbagai kepentingan ini bisa berakibat fatal untuk saling tuding dan menyalahkan; siapa yang harus bertanggung jawab atas dosa-dosa politik kini. Kesemua itu wujud dari tidak sadarnya mereka terhadap realitas politik di bawah, yang sebenarnya disulut pertikaian mereka sendiri. Maka jangan lagi disalahkan jika egoisme politik terus merambat pada rasa kepercayaan masyarakat yang tidak lagi memercayai para elitenya. Dengan kata lain, benang kusut babak kedua, masyarakat kehilangan pemimpin yang patut diteladani untuk kemudian masyarakat bersikap apatis.
Situasi macam ini jelas memengaruhi besar masyarakat. Siapakah pemimpin yang dapat dipercaya? Padahal, masyarakat paternalistik yang masih kuat melekat pada bangsa kita senantiasa memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal. Legitimasi kepemimpinan yang demokratis turun akibat ketidakmampuan mereka menyatukan agenda yang visioner. Pada gilirannya, kebebasan politik yang dimliki masyarakat akan menimbulkan kritik terbuka terhadap pemimpin, sehingga membangun opini jelek kepada mereka sebagai pemimpin yang gagal.
Di sinilah pentingnya mencari pemimpinan yang mendapat legitimasi demokratis. Dengan kondisi masyarakat yang apatis, kesepakatan-kesepakatan elite politik sebagai bentuk konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) mestinya dilaksanakan taktis. Dus, upaya "penyegaran kepemimpinan" sebagai solusi atas ambruknya legitimasi pemimpin yang demokratis terlihat sebagai kebutuhan mendasar.
Dan, jika kepemimpinan adalah sosok karteker yang ditunjuk Mendagri atas nama Presiden, yang harus diingat adalah legitimasi masyarakat Lampung atas pemimpinnya. Meskipun pemerintahan memang harus diamankan dari pengaruh-pengaruh dinamika politik dalam sistem demokrasi (Syarief Makhya, Lampung Post, 16 Januari 2006).
Bisa jadi (dalam konteks ini) demokrasi akan banyak dikritik. Sayang, jika kritik yang umumnya terlontar bukannya menjadikan demokrasi makin baik, malah menjadi absurd. Sebab, demokrasi dan kepemimpinan adalah persoalan publik yang mesti transparan dan bukan persoalan privat yang penuh teka-teki. Dan pertanggungjawaban kepemimpinan yang demokratis ada pada kehidupan bersama: Dari, oleh, dan untuk Rakyat!
Secara realistis, kepemimpinan yang demokratis bukan berdasar "garis tangan" atau "wahyu keprabon", tetapi dipilih dan ditentukan rakyat. Sebab itu, para elite politik harus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan politik tentang bagaimana mewujudkan pemimpin yang mendapat legitimasi demokrasi. Kesepakatan-kesepakatan itu bisa berasal konsolidasi demokrasi atas pengalaman sejarah, komposisi sosial-etnik, struktur ekonomi, dan konteks nasional. Semuanya ini untuk memberikan dan menentukan sendiri warna dan corak yang khas bagi demokrasi rakyat Lampung.
Dimuat di Lampung Post, Rabu, 25 Januari 2006
Penyair, berdialektik pada Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
ADA kebingungan dan kegelisahan yang nyaris berujung pada frustrasi akan rasa kepercayaan masyarakat dalam menyikapi krisis kepemimpinan di Lampung. "Kekacauan" proses yang berlarut-larut itu menghadapkan kita pada kenyataan yang sumir, dimulai dengan pemilihan gubernur yang kontroversial hingga puncaknya, perseteruan Gubernur dan DPRD Lampung yang tidak mengakui Sjachroedin Z.P. sebagai gubernur (SK No. 15/2005 tentang Pernyataan Pendapat DPRD Lampung terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 437/TUN/2004).
Atas fenomena semacam "gajah bertarung, gading retak dan berserak di mana-mana", saya merasa berada dalam situasi yang kemudian bisa terjerembap pada anasir hukum tentang benar-salah atau merujuk pada segregasi etik bersikap moralisnya para begawan sosial-politik. Untuk itu saya lebih memilih berada pada posisi terlelap dalam buaian postulat Joan Baudrillard, "Kekuasaan dengan sendirinya mereproduksi diri melalui berbagai hubungan."
***
Para elite politik kita di Negarabatin tampak masih kukuh pada keyakinan masing-masing dan terlihat ogah-ogahan dalam berinisiatif mengakhiri konflik kepemimpinan yang berlangsung. Konflik kepemimpinan itu pada hematnya bermuara pada legitimasi kepemimpinan yang demokratis. Sementara pemerintahan di Jakarta dengan wataknya yang ambigu terlihat mengambangkan keputusan secara diplomatis.
Tentu, mereka semua masih saja bertikai dan tidak bertemu melakukan kesepakatan-kesepakatan yang jelas bagaimana membangun jalan demokrasi. Hal ini terjadi karena memang elite politik kita berangkat dari kekuatan kelompok tertentu atau dari partai politik yang berbeda-beda. Ini sebenarnya ideal demokrasi dalam sebuah kepemimpinan multipartai.
Demokrasi memang dipenuhi jalan terjal yang berliku, bukan saja ketidaksediaan para elite mewujudkan demokrasi, tapi dalam situasi demokrasi guna mewujudkan kepemimpinan yang demokratis, pro-kontra bisa menciptakan sistem yang kontraproduktif. Hal ini diilustrasikan cukup apik Jack Snyder, penulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, 2000, yang menyangsikan jika proses demokrasi dapat membawa arah perubahan masyarakat damai dan sejahtera.
Prinsipnya, sejarah menunjukkan demokratisasi, tepatnya masa transisi ke arah demokrasi, sering menimbulkan perang, SARA, bahkan disintegrasi negara-bangsa, lalu demokrasi dan perdamaian dapat terpelihara jika antar-kepemimpinan yang memiliki watak demokrasinya sudah matang.
Hal ini ditilik secara populer nasionalisme mencakup banyak gejala, seperti kerusuhan etnis, patriotisme, perjuangan damai kelompok budaya guna mencapai hak-hak khusus. Dalam perubahan pengertian demokrasi juga mesti jelas, antara "demokrasi yang matang" (mature democracies) dan "yang sedang demokratisasi" (democratizing states). Dalam kepemimpinan dan pemerintahan yang matang, termasuk kebijakan politik diputuskan pejabat yang diangkat berdasarkan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Dan kesemuanya harus didahului dengan kebebasan, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul. Prinsip dasar ini harus dihargai bersama antarberbagai kelompok kepentingan.
Terlebih jika kita merujuk pada pemahaman dan makna demokrasi yang cenderung kita angggap klasik dan klise tentang makna dasar demokrasi, yaitu "demos" = rakyat, "kratos/kratein" = berkuasa. Artinya "rakyat berkuasa" atau government of rule by the people, and for the people. Itulah inti demokrasi yang dalam prakteknya ada sejak zaman Yunani kuno, yakni ketika Kleistenes mereformasi sistem pemerintahan tahun 508 SM.
Jika dilihat dari sejarahnya, sejak dulu aktualisasi demokrasi itu murni berupa metode (cara), alat, dan proses (bukan tujuan) menciptakan perdamaian. Sebagai cara, alat, atau proses dalam aktualisasinya demokrasi menjadi kasatmata, bisa diukur, dan menyangkut kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana dengan demokrasi kita di Lampung? Bung Hatta, Sang Proklamator kita pernah menyebut krisis demokrasi atau demokrasi dalam keadaan krisis sebagai "Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarkhi, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besar dari sejarah dunia! Demokrasi dapat berjalan baik, apabila rasa tanggung jawab dan toleransi ada pada pemimpin-pemimpin politik."
Ketidaksediaan para elite politik kita untuk berkompromi politik, jelas menandakan frustrasi elite setelah berkali-kali mereka bertatap muka, tetapi hasilnya tidak ada. Alih-alih pertikaian di antara mereka terus saja berlangsung, dan kondisinya sudah sedemikian rupa parahnya.
Melihat perseteruan elite politik itu, ada dua sisi yang bisa ditengarai sebagai "jalan buntu". Pertama, ketika pemerintahan berlangsung, demokrasi memerlukan kesepakatan para elite untuk memilih dan menentukan arah demokrasi yang akan dibangun. Hal ini selain sebagai pertanggungjawaban jabatan politis, juga bentuk amanah konstituen/masyarakat yang memercayakan kepemimpinannya. Dalam konteks ini, menilik dari kronologis pemilihan ulang gubernur (M. Alzier Dianis Thabranie) terpilih, kemudian ada desakan menyelenggarakan pemilihan gubernur ulang, jelas terjadi pengingkaran kesepakatan politik yang kemudian menjadi benang kusut babak pertama dalam kepemimpinan (elite politik) yang demokratis.
Kedua, adanya egoisme politik yang tengah berkecamuk di dada para elite kini. Hal ini bersumber pada agenda kepentingan masing-masing kekuatan politik, dampak proses benturan berbagai kepentingan ini bisa berakibat fatal untuk saling tuding dan menyalahkan; siapa yang harus bertanggung jawab atas dosa-dosa politik kini. Kesemua itu wujud dari tidak sadarnya mereka terhadap realitas politik di bawah, yang sebenarnya disulut pertikaian mereka sendiri. Maka jangan lagi disalahkan jika egoisme politik terus merambat pada rasa kepercayaan masyarakat yang tidak lagi memercayai para elitenya. Dengan kata lain, benang kusut babak kedua, masyarakat kehilangan pemimpin yang patut diteladani untuk kemudian masyarakat bersikap apatis.
Situasi macam ini jelas memengaruhi besar masyarakat. Siapakah pemimpin yang dapat dipercaya? Padahal, masyarakat paternalistik yang masih kuat melekat pada bangsa kita senantiasa memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal. Legitimasi kepemimpinan yang demokratis turun akibat ketidakmampuan mereka menyatukan agenda yang visioner. Pada gilirannya, kebebasan politik yang dimliki masyarakat akan menimbulkan kritik terbuka terhadap pemimpin, sehingga membangun opini jelek kepada mereka sebagai pemimpin yang gagal.
Di sinilah pentingnya mencari pemimpinan yang mendapat legitimasi demokratis. Dengan kondisi masyarakat yang apatis, kesepakatan-kesepakatan elite politik sebagai bentuk konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) mestinya dilaksanakan taktis. Dus, upaya "penyegaran kepemimpinan" sebagai solusi atas ambruknya legitimasi pemimpin yang demokratis terlihat sebagai kebutuhan mendasar.
Dan, jika kepemimpinan adalah sosok karteker yang ditunjuk Mendagri atas nama Presiden, yang harus diingat adalah legitimasi masyarakat Lampung atas pemimpinnya. Meskipun pemerintahan memang harus diamankan dari pengaruh-pengaruh dinamika politik dalam sistem demokrasi (Syarief Makhya, Lampung Post, 16 Januari 2006).
Bisa jadi (dalam konteks ini) demokrasi akan banyak dikritik. Sayang, jika kritik yang umumnya terlontar bukannya menjadikan demokrasi makin baik, malah menjadi absurd. Sebab, demokrasi dan kepemimpinan adalah persoalan publik yang mesti transparan dan bukan persoalan privat yang penuh teka-teki. Dan pertanggungjawaban kepemimpinan yang demokratis ada pada kehidupan bersama: Dari, oleh, dan untuk Rakyat!
Secara realistis, kepemimpinan yang demokratis bukan berdasar "garis tangan" atau "wahyu keprabon", tetapi dipilih dan ditentukan rakyat. Sebab itu, para elite politik harus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan politik tentang bagaimana mewujudkan pemimpin yang mendapat legitimasi demokrasi. Kesepakatan-kesepakatan itu bisa berasal konsolidasi demokrasi atas pengalaman sejarah, komposisi sosial-etnik, struktur ekonomi, dan konteks nasional. Semuanya ini untuk memberikan dan menentukan sendiri warna dan corak yang khas bagi demokrasi rakyat Lampung.
Dimuat di Lampung Post, Rabu, 25 Januari 2006
Wednesday, November 12, 2008
Ramadan dan Momentum Keberpihakan
Oleh Y. Wibowo
Bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
"Jikalau Anda ingin dekat dengan Tuhan,
maka dekatilah rakyat!" (Khalil Gibran).
Ahli hikmah termasyhur, Khalil Gibran, yang memuisikannya menjadi puitis dalam ungkapannya sebagai pembuka tulisan ini memandang pengabdian kita kepada Tuhan juga adalah pengabdian kepada sesama umat manusia. Puasa di bulan Ramadan kali ini hadir saat kondisi sosial politik yang belum kondusif dalam tatanan berdemokrasi hingga melontarkan nasib kehidupan manusia ke dalam jurang kehancuran. Penderitaan di mana-mana, situasi ekonomi yang tiba-tiba kembali ambruk, nilai tukar rupiah terpuruk, ancaman penyakit flu burung, kenaikan BBM yang juga dapat diikuti dengan kenaikan harga-harga bahan pokok lainnya, laiknya sebuah rentetan situasi yang samar diterjemahkan.
Guliran roda sistem yang tak dinamis telah menggoyahkan loyalitas manusia pada kaidah moralitas dan agama. Bahkan yang sudah buta pada jalan kebenaran tidak sanggup mencari solusi sehat atas persoalan yang menumpuk; bom sebagai pernyataan membabi buta, meledak lagi di Bali. Dan 60 persen lebih penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Di antaranya ada pada kemiskinan absolut, yang tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Ungkapan puitis Gibran menjadi relevan dalam makna yang tersirat dalam anjuran agar kita bersedekah, banyak-banyak beramal untuk kebaikan sesama manusia.
Sungguh suatu momentum istimewa sekiranya kita mampu menghadirkan makna baru puasa di tengah jumlah rakyat miskin yang kabarnya terus meningkat drastis dari tahun ke tahun? Bagaimana puasa kita dapat menumbuhkan semangat dan solidaritas kemanusiaan untuk memihak dan membela rakyat miskin, yang lemah dan tertindas akibat sistem kekuasaan yang tidak memihak rakyat, apalagi untuk berposisi bersama-sama rakyat miskin.
Tapi, mengapa musti rakyat?
Karena dalam masyarakat (apalagi yang tirani), kemiskinan lebih banyak disebabkan karena faktor sistem (negara) yang kurang adil, dan itu umumnya diderita oleh mereka yang kurang memiliki "daya tawar" (bargaining) pada saat berhadapan dengan penguasa.
Dan sesuai dengan makna generiknya, puasa berarti menahan diri dari nafsu makan, minum, dan nafsu seks. Berpuasa dari makan dan minum sebulan suntuk, misalnya, betapa menyadarkan kita akan rasa lapar dan dahaga, yang justru dari hari ke hari dialami rakyat miskin.
Di antara kita yang kaya dan biasa makan serbaenak, serbaberkecukupan segala fasilitas material-teknisnya, dilatih sebulan penuh untuk menjalani hidup rakyat miskin yang serbatak enak, tak nyaman, serbakekurangan dan serbakelaparan. Dengan berpuasa, harapannya kita makin peka terhadap derita rakyat miskin; yang kemudian melahirkan sikap empatik dan simpatik pada penderitaannya.
Berpuasa, dengan diperumpamakan sebagai The Have; sementara rakyat miskin ibarat The Needy, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis antara si kaya pada kaum papa tak berpunya. Lalu, puasa dengan demikian akan mendekatkan titik sentuh dan menyadarkan sekaligus menumbuhkan semangat akan kewajiban moral-etik-kemanusiaan kita pada rakyat miskin.
Dalam rangkaian ibadah puasa di bulan Ramadan, salat--lebih-lebih salat tarawih, menjadi ritual keagamaan yang amat menonjol. Sebenarnya yang tampak ekspresif dari ibadah puasa justru salat tarawihnya. Dan kita tahu, salat menjadi medium spiritual muslim untuk lebih mendekatkan diri ke hadirat Allah. Namun, mendekatkan diri ke hadirat-Nya, kata Rasulullah, memiliki sejumlah prasyarat, satu di antaranya adalah bersikap dermawan.
Make sense, bersikap dermawan berarti proaktif mendarmabaktikan harta dan kekayaan untuk rakyat miskin yang lemah (duafa), dan diperlemah kondisinya (mustadafin). Penggunaan Alquran dengan terma "diperlemah kondisinya", sebenarnya merujuk kepada kelompok rakyat miskin yang lemah, marginal, dan tertindas. Term ini menjadi begitu penting karena kelemahan yang melekat pada rakyat miskin ini menurut perspektif Alquran disebabkan terutama bukan oleh faktor alamiah yang melekat pada diri mereka (by nature, by accident), tetapi oleh faktor-faktor lain yang justru ada di luarnya (by design), yang dalam term sosiologis disebut sebagai faktor "struktural". Dan dalam term politik lebih diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter-birokratik-rente, represif, tiran, dan yang tak pernah memihak, apalagi menguntungkan rakyat miskin.
Dalam konsteks inilah, puasa dan salat yang benar adalah yang mampu menumbuhkan semangat dan solidaritas kemanusiaan secara universal, seperti menyantuni fakir miskin, duafa, yang lemah, yang serbakelaparan dan hidupnya compang-camping dengan setumpuk beban penderitaan yang selama ini membelit mereka.
Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah puasa sungguh mengandung spirit solidaritas, mulai dari salat, tarawih, infak, zakat, sampai sedekah, sebenarnya hendak melatih diri kita untuk to be sensitive to the reality. Yakni, menjadi lebih peka dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan yang selama ini diderita rakyat lemah, dengan demikian memperoleh rujukan dan legitimasi dari ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Ibadah puasa, menjadi momentum istimewa untuk melakukan keberpihakan lebih kepada rakyat miskin dan lemah.
Lantas, jika belakangan ini kita masih menyaksikan kemiskinan dan penderitaan di mana-mana, ada baiknya kita introspeksi diri, mawas diri, sekaligus berbenah diri, meskipun mungkin telah terlalu lama kita abai, sehingga terkesan menjadi klise ungkapan puisi di atas. Sudahkah kita selama ini berpuasa dan melaksanakan salat secara baik dan benar? Sudahkan kita mampu mengejawantahkan makna dan fungsi substantif puasa di tengah derita rakyat miskin? Kita bersama jua yang menjawabnya.
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 1 November 2005
Bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
"Jikalau Anda ingin dekat dengan Tuhan,
maka dekatilah rakyat!" (Khalil Gibran).
Ahli hikmah termasyhur, Khalil Gibran, yang memuisikannya menjadi puitis dalam ungkapannya sebagai pembuka tulisan ini memandang pengabdian kita kepada Tuhan juga adalah pengabdian kepada sesama umat manusia. Puasa di bulan Ramadan kali ini hadir saat kondisi sosial politik yang belum kondusif dalam tatanan berdemokrasi hingga melontarkan nasib kehidupan manusia ke dalam jurang kehancuran. Penderitaan di mana-mana, situasi ekonomi yang tiba-tiba kembali ambruk, nilai tukar rupiah terpuruk, ancaman penyakit flu burung, kenaikan BBM yang juga dapat diikuti dengan kenaikan harga-harga bahan pokok lainnya, laiknya sebuah rentetan situasi yang samar diterjemahkan.
Guliran roda sistem yang tak dinamis telah menggoyahkan loyalitas manusia pada kaidah moralitas dan agama. Bahkan yang sudah buta pada jalan kebenaran tidak sanggup mencari solusi sehat atas persoalan yang menumpuk; bom sebagai pernyataan membabi buta, meledak lagi di Bali. Dan 60 persen lebih penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Di antaranya ada pada kemiskinan absolut, yang tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Ungkapan puitis Gibran menjadi relevan dalam makna yang tersirat dalam anjuran agar kita bersedekah, banyak-banyak beramal untuk kebaikan sesama manusia.
Sungguh suatu momentum istimewa sekiranya kita mampu menghadirkan makna baru puasa di tengah jumlah rakyat miskin yang kabarnya terus meningkat drastis dari tahun ke tahun? Bagaimana puasa kita dapat menumbuhkan semangat dan solidaritas kemanusiaan untuk memihak dan membela rakyat miskin, yang lemah dan tertindas akibat sistem kekuasaan yang tidak memihak rakyat, apalagi untuk berposisi bersama-sama rakyat miskin.
Tapi, mengapa musti rakyat?
Karena dalam masyarakat (apalagi yang tirani), kemiskinan lebih banyak disebabkan karena faktor sistem (negara) yang kurang adil, dan itu umumnya diderita oleh mereka yang kurang memiliki "daya tawar" (bargaining) pada saat berhadapan dengan penguasa.
Dan sesuai dengan makna generiknya, puasa berarti menahan diri dari nafsu makan, minum, dan nafsu seks. Berpuasa dari makan dan minum sebulan suntuk, misalnya, betapa menyadarkan kita akan rasa lapar dan dahaga, yang justru dari hari ke hari dialami rakyat miskin.
Di antara kita yang kaya dan biasa makan serbaenak, serbaberkecukupan segala fasilitas material-teknisnya, dilatih sebulan penuh untuk menjalani hidup rakyat miskin yang serbatak enak, tak nyaman, serbakekurangan dan serbakelaparan. Dengan berpuasa, harapannya kita makin peka terhadap derita rakyat miskin; yang kemudian melahirkan sikap empatik dan simpatik pada penderitaannya.
Berpuasa, dengan diperumpamakan sebagai The Have; sementara rakyat miskin ibarat The Needy, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis antara si kaya pada kaum papa tak berpunya. Lalu, puasa dengan demikian akan mendekatkan titik sentuh dan menyadarkan sekaligus menumbuhkan semangat akan kewajiban moral-etik-kemanusiaan kita pada rakyat miskin.
Dalam rangkaian ibadah puasa di bulan Ramadan, salat--lebih-lebih salat tarawih, menjadi ritual keagamaan yang amat menonjol. Sebenarnya yang tampak ekspresif dari ibadah puasa justru salat tarawihnya. Dan kita tahu, salat menjadi medium spiritual muslim untuk lebih mendekatkan diri ke hadirat Allah. Namun, mendekatkan diri ke hadirat-Nya, kata Rasulullah, memiliki sejumlah prasyarat, satu di antaranya adalah bersikap dermawan.
Make sense, bersikap dermawan berarti proaktif mendarmabaktikan harta dan kekayaan untuk rakyat miskin yang lemah (duafa), dan diperlemah kondisinya (mustadafin). Penggunaan Alquran dengan terma "diperlemah kondisinya", sebenarnya merujuk kepada kelompok rakyat miskin yang lemah, marginal, dan tertindas. Term ini menjadi begitu penting karena kelemahan yang melekat pada rakyat miskin ini menurut perspektif Alquran disebabkan terutama bukan oleh faktor alamiah yang melekat pada diri mereka (by nature, by accident), tetapi oleh faktor-faktor lain yang justru ada di luarnya (by design), yang dalam term sosiologis disebut sebagai faktor "struktural". Dan dalam term politik lebih diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter-birokratik-rente, represif, tiran, dan yang tak pernah memihak, apalagi menguntungkan rakyat miskin.
Dalam konsteks inilah, puasa dan salat yang benar adalah yang mampu menumbuhkan semangat dan solidaritas kemanusiaan secara universal, seperti menyantuni fakir miskin, duafa, yang lemah, yang serbakelaparan dan hidupnya compang-camping dengan setumpuk beban penderitaan yang selama ini membelit mereka.
Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah puasa sungguh mengandung spirit solidaritas, mulai dari salat, tarawih, infak, zakat, sampai sedekah, sebenarnya hendak melatih diri kita untuk to be sensitive to the reality. Yakni, menjadi lebih peka dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan yang selama ini diderita rakyat lemah, dengan demikian memperoleh rujukan dan legitimasi dari ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Ibadah puasa, menjadi momentum istimewa untuk melakukan keberpihakan lebih kepada rakyat miskin dan lemah.
Lantas, jika belakangan ini kita masih menyaksikan kemiskinan dan penderitaan di mana-mana, ada baiknya kita introspeksi diri, mawas diri, sekaligus berbenah diri, meskipun mungkin telah terlalu lama kita abai, sehingga terkesan menjadi klise ungkapan puisi di atas. Sudahkah kita selama ini berpuasa dan melaksanakan salat secara baik dan benar? Sudahkan kita mampu mengejawantahkan makna dan fungsi substantif puasa di tengah derita rakyat miskin? Kita bersama jua yang menjawabnya.
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 1 November 2005
Sketsa Kebudayaan dalam Otonomi Daerah
Oleh Y. Wibowo
Penyair, bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
KEBUDAYAAN dapat diartikan sebagai "segala sesuatu yang berasal dari proses pemikiran manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri". Kompleksitas hasil pemikiran ini awalnya mengemuka tahun 1871 oleh E.W. Tylor. Kemudian dikembangkan Herkovist dan juga Bronislaw Malinowskwi (1960: 37) yang terkenal dengan cultural determinism-nya, di mana kebudayaan sebagai sesuatu yang bersifat super-organic. Era selanjutnya, banyak para ahli mengartikan kebudayaan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penulisan karya ilmiahnya.
Proses berpikir dalam konteks epistemologi dan kebudayaan jika merunut C.A. van Peursen (1988: 18) dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama tahap mistis. Kedua tahap ontologism dan ketiga tahap fungsional. Pada tahap ketiga inilah, manusia baru bisa memisahkan diri sebagai subjek dan hasil berpikir (baik berujud maupun tidak) sebagai objek atas dasar kesadaran fungsi dan manfaatnya. Dalam kaitannya dengan politik, bahkan kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan suatu negara/bangsa melalui kebijakan-kebijakan negara (public policy) disebut sebagai budaya politik. Pada tahapan ini, bahkan suatu ideologi sekalipun telah menjadi suatu sistem kebudayaan. Termasuk juga pembentukan kualitas dan identitas bangsa.
Wow, jadi tak pelak lagi, kebudayaan adalah sesuatu yang institusionalized, berproses melalui folkways, customs, norms, institusi, dan kemudian culture. Sehingga lembaga-lembaga kebudayaan yang coba saya maksud bukanlah dalam arti norma, tetapi sebuah lembaga yang memberikan perwujudan (bentuk)--baik abstrak maupun tidak--terhadap apa yang disebut dengan kebudayaan.
Kebudayaan sebagai Identitas dan Spirit
Dalam The End of Ideology (1960), Daniel Bell memaparkan identitas suatu bangsa, dapat diketahui dengan empat metode. Pertama, metode komparatif, membandingkan suatu kejadian atau perkembangan dengan ada atau tidak adanya kejadian atau perkembangan semacam itu pada bangsa lain. Kedua, menyelidiki hubungan fungsional antara lembaga-lembaga sesuatu bangsa, yaitu bagaimana behavior dalam suatu lembaga tertentu memengaruhi dan mewujudkan behavior dalam lembaga-lembaga tingkat nasional. Ketiga, mengikuti riwayat beberapa lembaga penting. Dan terakhir, secara eksistensialistis, menyelidiki mengapa suatu bangsa pada krisis-krisis di dalam sejarahnya, memiliki jalan A dan bukan jalan B.
Secara konseptual apa yang disebut sebagai identitas adalah sejarah budaya suatu bangsa/Negara. Perkembangan kebudayaan bangsa sering dijadikan tolok ukur menentukan maju tidaknya suatu Negara. Atau secara fisik--perwujudan bentuk, banyak orang menentukan standar kemajuan suatu Negara dari perkembangannya. Pengenalan kebudayaan dan peradaban ini by process, lambat laun menjadi identity bangsa yang bersangkutan.
Korelasi kebudayaan sebagai identitas kelihatannya juga dapat melahirkan spirit nasional. Seperti kokutai, bushido, dan hitarakibachi adalah aspek kultur yang akhirnya menjadi spirit nasional bangsa Jepang (Taro Sakamoto: 1982, xxiii); Edwin O. Reischauer & Albert M. Craig, (1973:268). Bagaimanapun kebiasaan-kebiasaan yang terinternalisasi dan tersosialisasi dalam masyarakat akan ter-institusionalized sebagai bagian kultur masyarakat.
Bahkan tidak jarang hal ini menjadi semacam hukum tidak tertulis, yang "wajib" bagi bangsa yang bersangkutan. Aktivitas kreatif yang diekspresikan seseorang atau kelompok masyarakat (society) harus dilihat sebagai suatu proses dan output kebudayaan. Ia sepenuhnya tidak bebas nilai, karena ada norma-norma, yang juga merupakan output internalisasi kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi adat "hukum masyarakat".
Batasan-batasan normative masyarakat inilah yang pada pemerintahan Orde Baru banyak dikemas menjadi regulasi negara (state) untuk kepentingan kekuasaan. Sehingga larangan kreativitas kebudayaan (kebanyakan seni) cenderung untuk kepentingan politik penguasa dan bukan kepentingan publik. Dalam bentuk-bentuk yang seperti inilah kebudayaan akhirnya juga harus tunduk pada kooptasi negara (baca: rezim).
Kebudayaan dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya adalah upaya memandirikan masyarakat dan pemerintah di daerah, khususnya dalam menentukan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kepentingan daerahnya. Harold Alderfer (1964) mendefinisikan otonomi sebagai an integral part of man's aspiration for freedom. Atau kebanyakan dari kita lebih menitikberatkan pada pendelegasian wewenang atau adanya desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah.
Namun, kewenangan dari pusat ke daerah yang berlangsung, terkadang belum seiring dengan kesiapan daerah dalam menata sebuah sistem pemerintahan secara otonom, mandiri. Lihat saja fenomena kepala pemerintahan kita di Lampung dengan adanya dua gubernur. Ini dapat dijadikan contoh betapa Lampung sebagai daerah belum mampu menentukan jalannya sejarah bagi diri sendiri!
Kasus tersebut mungkin berkait dengan kesiapan menghadapi situasi yang mendasari terlaksananya desentralisasi dan otonomi daerah. Beberapa faktor harus dipikirkan, antara lain pengembangan sumber daya manusia, terutama aparatur pemerintah daerah yang akan menumbuhkan profesionalisme dan kemampuan kerja (skills), serta mental attitude, dan dedikasi yang tinggi, ini adalah syarat mutlak dalam otonomi daerah. Peranan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus lebih bersifat fasilitatif dan katalistik, baik dalam menuju pemberdayaan masyarakat, maupun dalam pengembangan lintas sektor.
Dengan melihat syarat-syarat dan prakondisi otonomi, sesungguhnya bagi Lampung tidaklah terlalu sulit ke depan--khususnya akses sebagai pintu gerbang Sumatera, apabila otonomi tidak selalu dikaitkan dengan kemampuan untuk membiayai sendiri daerahnya (PAD). Realisasi UU No. 22/1999, dikeluarkannya PP No. 25/2000 tentang penyerahan kewenangan wajib yang setiap daerah harus mengambilnya.
Lalu dalam ranah kebudayaan, persoalannya bukan terletak pada apa yang diminta Lampung sebagai kewenangan daerah, tetapi pada tekad dan niat untuk lebih memberikan arti dan makna keberadaan lembaga kebudayaan (culture), lembaga kebudayaan yang lahir tidak merupakan kelahirannya yang seiring kelahiran kepentingan politik yang menyokongnya, dan contoh-contoh pemberian gelar adat tidak harus terjebak pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu dan kepentingan sesaat saja. Lembaga kebudayaan tentu sebagai kebutuhan masyarakat, juga untuk mendukung eksistensi Lampung sebagai provinsi beradab.
Di sisi lain, dalam rangka pemberdayaan lembaga-lembaga kebudayaan yang ada, perlu dilakukan inventarisasi kegiatan-kegiatan budaya yang ada di Lampung, dan bersama-sama masyarakat (beserta senimannya) membentuk agenda dengan pelaksanaan gelar budaya, meskipun kemudian akan terintegrasikannya event-event seni-budaya dalam festival kebudayaan, ini hanya bersoal pada pilihan teknis. Sehingga tidak akan muncul suatu sinyalemen seperti Festival Krakatau tidak prestisuis (Lampung Post, 4 Agustus 2005).
Kalau kita lihat secara subtansial, kebudayaan--termasuk lembaganya, sesungguhnya adalah urusan masyarakat sepenuhnya, pemerintah sebagai fasilitator dan katalisator. Secara instansional (dinas kebudayaan) ia bukan lembaga yang memberikan revenue pada keuangan daerah. Pengembangan lembaga kebudayaan, sebaiknya tumbuh dari masyarakat sendiri dan direspons positif pemerintah daerah. Sedangkan kaitannya dengan otonomi, secara material, wujud kebudayaan--apakah itu fisik maupun nonfisik--khususnya kesenian, tidak mungkin dibatasi ruang lingkup wilayah, bahkan waktu sekalipun. Kebudayaan bersifat superorganik dan acculturated, meskipun ada inti (core) kebudayaan yang tidak dapat dihilangkan dari aslinya, minimal historical background-nya.
Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 8 Oktober 2005
Penyair, bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
KEBUDAYAAN dapat diartikan sebagai "segala sesuatu yang berasal dari proses pemikiran manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri". Kompleksitas hasil pemikiran ini awalnya mengemuka tahun 1871 oleh E.W. Tylor. Kemudian dikembangkan Herkovist dan juga Bronislaw Malinowskwi (1960: 37) yang terkenal dengan cultural determinism-nya, di mana kebudayaan sebagai sesuatu yang bersifat super-organic. Era selanjutnya, banyak para ahli mengartikan kebudayaan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penulisan karya ilmiahnya.
Proses berpikir dalam konteks epistemologi dan kebudayaan jika merunut C.A. van Peursen (1988: 18) dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama tahap mistis. Kedua tahap ontologism dan ketiga tahap fungsional. Pada tahap ketiga inilah, manusia baru bisa memisahkan diri sebagai subjek dan hasil berpikir (baik berujud maupun tidak) sebagai objek atas dasar kesadaran fungsi dan manfaatnya. Dalam kaitannya dengan politik, bahkan kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan suatu negara/bangsa melalui kebijakan-kebijakan negara (public policy) disebut sebagai budaya politik. Pada tahapan ini, bahkan suatu ideologi sekalipun telah menjadi suatu sistem kebudayaan. Termasuk juga pembentukan kualitas dan identitas bangsa.
Wow, jadi tak pelak lagi, kebudayaan adalah sesuatu yang institusionalized, berproses melalui folkways, customs, norms, institusi, dan kemudian culture. Sehingga lembaga-lembaga kebudayaan yang coba saya maksud bukanlah dalam arti norma, tetapi sebuah lembaga yang memberikan perwujudan (bentuk)--baik abstrak maupun tidak--terhadap apa yang disebut dengan kebudayaan.
Kebudayaan sebagai Identitas dan Spirit
Dalam The End of Ideology (1960), Daniel Bell memaparkan identitas suatu bangsa, dapat diketahui dengan empat metode. Pertama, metode komparatif, membandingkan suatu kejadian atau perkembangan dengan ada atau tidak adanya kejadian atau perkembangan semacam itu pada bangsa lain. Kedua, menyelidiki hubungan fungsional antara lembaga-lembaga sesuatu bangsa, yaitu bagaimana behavior dalam suatu lembaga tertentu memengaruhi dan mewujudkan behavior dalam lembaga-lembaga tingkat nasional. Ketiga, mengikuti riwayat beberapa lembaga penting. Dan terakhir, secara eksistensialistis, menyelidiki mengapa suatu bangsa pada krisis-krisis di dalam sejarahnya, memiliki jalan A dan bukan jalan B.
Secara konseptual apa yang disebut sebagai identitas adalah sejarah budaya suatu bangsa/Negara. Perkembangan kebudayaan bangsa sering dijadikan tolok ukur menentukan maju tidaknya suatu Negara. Atau secara fisik--perwujudan bentuk, banyak orang menentukan standar kemajuan suatu Negara dari perkembangannya. Pengenalan kebudayaan dan peradaban ini by process, lambat laun menjadi identity bangsa yang bersangkutan.
Korelasi kebudayaan sebagai identitas kelihatannya juga dapat melahirkan spirit nasional. Seperti kokutai, bushido, dan hitarakibachi adalah aspek kultur yang akhirnya menjadi spirit nasional bangsa Jepang (Taro Sakamoto: 1982, xxiii); Edwin O. Reischauer & Albert M. Craig, (1973:268). Bagaimanapun kebiasaan-kebiasaan yang terinternalisasi dan tersosialisasi dalam masyarakat akan ter-institusionalized sebagai bagian kultur masyarakat.
Bahkan tidak jarang hal ini menjadi semacam hukum tidak tertulis, yang "wajib" bagi bangsa yang bersangkutan. Aktivitas kreatif yang diekspresikan seseorang atau kelompok masyarakat (society) harus dilihat sebagai suatu proses dan output kebudayaan. Ia sepenuhnya tidak bebas nilai, karena ada norma-norma, yang juga merupakan output internalisasi kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi adat "hukum masyarakat".
Batasan-batasan normative masyarakat inilah yang pada pemerintahan Orde Baru banyak dikemas menjadi regulasi negara (state) untuk kepentingan kekuasaan. Sehingga larangan kreativitas kebudayaan (kebanyakan seni) cenderung untuk kepentingan politik penguasa dan bukan kepentingan publik. Dalam bentuk-bentuk yang seperti inilah kebudayaan akhirnya juga harus tunduk pada kooptasi negara (baca: rezim).
Kebudayaan dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya adalah upaya memandirikan masyarakat dan pemerintah di daerah, khususnya dalam menentukan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kepentingan daerahnya. Harold Alderfer (1964) mendefinisikan otonomi sebagai an integral part of man's aspiration for freedom. Atau kebanyakan dari kita lebih menitikberatkan pada pendelegasian wewenang atau adanya desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah.
Namun, kewenangan dari pusat ke daerah yang berlangsung, terkadang belum seiring dengan kesiapan daerah dalam menata sebuah sistem pemerintahan secara otonom, mandiri. Lihat saja fenomena kepala pemerintahan kita di Lampung dengan adanya dua gubernur. Ini dapat dijadikan contoh betapa Lampung sebagai daerah belum mampu menentukan jalannya sejarah bagi diri sendiri!
Kasus tersebut mungkin berkait dengan kesiapan menghadapi situasi yang mendasari terlaksananya desentralisasi dan otonomi daerah. Beberapa faktor harus dipikirkan, antara lain pengembangan sumber daya manusia, terutama aparatur pemerintah daerah yang akan menumbuhkan profesionalisme dan kemampuan kerja (skills), serta mental attitude, dan dedikasi yang tinggi, ini adalah syarat mutlak dalam otonomi daerah. Peranan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus lebih bersifat fasilitatif dan katalistik, baik dalam menuju pemberdayaan masyarakat, maupun dalam pengembangan lintas sektor.
Dengan melihat syarat-syarat dan prakondisi otonomi, sesungguhnya bagi Lampung tidaklah terlalu sulit ke depan--khususnya akses sebagai pintu gerbang Sumatera, apabila otonomi tidak selalu dikaitkan dengan kemampuan untuk membiayai sendiri daerahnya (PAD). Realisasi UU No. 22/1999, dikeluarkannya PP No. 25/2000 tentang penyerahan kewenangan wajib yang setiap daerah harus mengambilnya.
Lalu dalam ranah kebudayaan, persoalannya bukan terletak pada apa yang diminta Lampung sebagai kewenangan daerah, tetapi pada tekad dan niat untuk lebih memberikan arti dan makna keberadaan lembaga kebudayaan (culture), lembaga kebudayaan yang lahir tidak merupakan kelahirannya yang seiring kelahiran kepentingan politik yang menyokongnya, dan contoh-contoh pemberian gelar adat tidak harus terjebak pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu dan kepentingan sesaat saja. Lembaga kebudayaan tentu sebagai kebutuhan masyarakat, juga untuk mendukung eksistensi Lampung sebagai provinsi beradab.
Di sisi lain, dalam rangka pemberdayaan lembaga-lembaga kebudayaan yang ada, perlu dilakukan inventarisasi kegiatan-kegiatan budaya yang ada di Lampung, dan bersama-sama masyarakat (beserta senimannya) membentuk agenda dengan pelaksanaan gelar budaya, meskipun kemudian akan terintegrasikannya event-event seni-budaya dalam festival kebudayaan, ini hanya bersoal pada pilihan teknis. Sehingga tidak akan muncul suatu sinyalemen seperti Festival Krakatau tidak prestisuis (Lampung Post, 4 Agustus 2005).
Kalau kita lihat secara subtansial, kebudayaan--termasuk lembaganya, sesungguhnya adalah urusan masyarakat sepenuhnya, pemerintah sebagai fasilitator dan katalisator. Secara instansional (dinas kebudayaan) ia bukan lembaga yang memberikan revenue pada keuangan daerah. Pengembangan lembaga kebudayaan, sebaiknya tumbuh dari masyarakat sendiri dan direspons positif pemerintah daerah. Sedangkan kaitannya dengan otonomi, secara material, wujud kebudayaan--apakah itu fisik maupun nonfisik--khususnya kesenian, tidak mungkin dibatasi ruang lingkup wilayah, bahkan waktu sekalipun. Kebudayaan bersifat superorganik dan acculturated, meskipun ada inti (core) kebudayaan yang tidak dapat dihilangkan dari aslinya, minimal historical background-nya.
Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 8 Oktober 2005
Risalah Identitas dalam Pembangunan Kota
Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, aktif di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
MENYIMAK rencana pembangunan monumen Siger yang masih berpusar dalam arus pro dan kontra, juga selain berbagai ragam bebat pertimbangan dan arti penting pembangunan monumen Siger yang disinyalir merupakan arsitektur berkarakter, pertanyaan mendasar yang kemudian muncul berkisar pada; mengapa konsep (politik) beridentitas sebegitu penting? Akan hal itu, saya mengenangkan komentar Peter Hall, "A city of parades and spectacles".
***
Di bawah terik lapangan Ikada, di hadapan sekelompok pemuda antusias, Bung Karno berpidato tentang mengapa Jakarta harus menjadi ibu kota Indonesia. "Harus Jakarta!" ujarnya. Bung Karno ingin Jakarta menjadi semacam "The beacon of new emerging forces". Bung Karno yang pada dasarnya ingin harga diri bangsa Indonesia terangkat dan bangkit setelah hancur dalam era kolonialisme, sempat memimpikan Jakarta sebagai yang terbesar dan termegah.
"Lihatlah New York atau Moskwa," katanya. Dan, kita pun tahu ke mana obsesi tersebut kemudian berlanjut. Tanah Senayan digerus dan 5.000 keluarga dipindahkan untuk pembangunan komplek stadion olahraga terbesar. Ruas Jalan Thamrin dan Semanggi dihamparkan sebagai koridor bisnis. Masjid Istiqlal dibangun sebagai yang termegah dan tugu Monas--yang laiknya tiang pancang dan monumental itu--pun ditegakkan menjadi yang terdepan.
Dan memang Jakarta bukanlah Surabaya yang kotanya orang Madura dan Jawa. Bukan pula Bandung. Sebab, sebesar-besarnya Bandung, itu adalah kota Sunda. Hanya Jakarta yang layak dikedepankan sebagai ibu kota dan etalase identitas bagi Indonesia baru. Lainnya hanyalah kota-kota daerah. City air makes you free, cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Struktur dan wajah kota pun bisa bercerita tentang kompleksitas persilangan identitas masyarakatnya. Yang paling mencolok sekaligus tak terasa adalah bagaimana kapitalisme mendeformasi struktur dan wajah kota berdasarkan strata kelas sosial. Kaum miskin biasanya tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sementara kaum berpunya tinggal di lokasi-lokasi mahal dan berdensitas rendah.
Teori lokasi ini biasanya sebangun dengan strata sistem produksi ekonomi kapitalis yang dianutnya. Akibatnya konsep social mixed income & mixed density seperti di Bijlmermerr, Belanda, tahun 1992 atau kota-kota Skandinavia lainnya menjadi konsep yang terasa asing. Melipat ruang kota sebagai komoditas, gejala gated-community, dan suburbanisasi adalah jejak lazim kapitalisme dalam wajah kota.
Sementara itu, cara negara atau pemerintah memproduksi identitas kolektif melalui arsitektur atau desain urban seperti Soekarno, juga terjadi di Mesir pada era kepemimpinan Anwar Sadat. Dia terobsesi menampilkan identitas Kairo yang baru ke hadapan dunia. Dengan slogan open door policy atau infitah, Sadat menghancurkan dan mengusir belasan ribu jiwa dari jantung Kota Kairo untuk megaproyek tersebut atas nama modernisasi dan dolar turisme internasional.
Identitas kelompok berdasarkan ras dan etnis pun masih banyak ditemui dalam struktur kota yang seharusnya bersifat kosmopolitan. Dalam arsitektur modern penggambaran seperti Chinatown atau Pecinan adalah contoh identitas ras "kuning" yang hadir di banyak kota besar dunia. Litte India dan Arab Street di Singapura, Harlem untuk kulit hitam dan Little Italy untuk imigran Italia di Manhattan adalah contoh segregasi kota berdasarkan ras.
Lapisan identitas masyarakat berdasarkan gaya hidup atau orientasi seksual juga banyak terekam, seperti di Amerika atau Eropa. Kelompok dengan gaya hidup seniman atau bohemian bisa ditemukan di Distrik Soho di London, sementara Oxford Street di Sydney atau Distrik Castro di San Francisco dan berita terakhir sekarang menjadi lokasi komunitas terbesar dunia bagi kaum gay dan lesbian. Dan untuk mengklaim eksistensi identitas mereka, biasanya acara gay parade dijadikan ritual utama tahunan, terutama di San Francisco, Manhattan, dan Sydney sebagai agenda politik. Laiknya sebuah gerakan, feminisme pun tidak ketinggalan.
Jane Jacobs dan Dolores Hayden memotori gerakan moral mendefinisikan kota-kota Amerika yang cenderung berorientasi patriarkis. Jarangnya fasilitas penitipan anak, transportasi urban yang tidak nyaman bagi kaum hawa, dan desain urban yang tidak defensible menyebabkan banyak perempuan kesulitan beraktivitas produktif seperti halnya kaum lelaki. Di sisi lain, mereka juga menganggap suburbanisasi berhasil "membuang" kaum perempuan duduk mengurusi rumah tangga semata. Gerakan ini sempat menghentikan program urban renewal, membuat masyarakat mempertanyakan kembali konsep suburbanisasi dan mengangkat pentingnya isu feminisme dalam meruahnya akar pembangunan kapitalisme konteks kota di Amerika.
Untuk konteks Indonesia, yang juga harus menghadapi "muntahan" berkembangnya kapitalisme--sebab dalam iklim globalisasi/neolibelarisme semua dapat hadir dan mengalir dan bebas hambatan--mungkin kota seperti Yogja yang memiliki budaya tanding. Discus terbatas penulis dengan pengamat sosial-keagamaan, Abdul Munir Mulkhan, mengungkapkan banyak orang berimajinasi tentang kemungkinan model gaya hidup Yogja sebagai prototipe tandingan gaya hidup kapitalis yang glamur dan "serakah" dan makin global. Dan kesederhanaan gaya hidup Yogja, bukanlah indikasi kota ini tidak bergerak maju.
Pengembangan kawasan pendidikan di sekitar kota ini membawa sejumlah persoalan sebagai dampak tak langsung kehadiran puluhan ribu warga baru kota ini. Bersama dengan perkembangan kawasan pendidikan yang terus tumbuh, warung lesehan yang semula hanya berpusat di kawasan Malioboro meluas di berbagai jalan protokol. Namun, kampung-kampung tradisional tetap kental dan tampak lestari di kawasan sekitar pusat kesibukan Malioboro atau Jalan Solo. Gedung dan rumah mewah justru lebih tampak di kawasan pengembangan yang biasanya berkaitan dengan lembaga pendidikan. Semua itu, kuncinya pada kesederhanaan, hal ini membuat Yogja menunjukkan suatu identitas budaya yang signifikan.
***
Identitas adalah cara menjaga "karakter" dan "sifat beda" kita. Mulai dari gaya hidup, strata sosial, agama, usia, ras/etnis, panji-panji kelompok, sampai orientasi seksual umumnya menjadi referensi penting dalam eksistensi identitas. Dan untuk memahaminya, kita biasanya perlu cermin pembanding. Kehadiran "mereka" atau "other" sebagai pembanding yang berbeda menjadi penting memahami siapakah adanya "kita" atau "self".
Kelompok yang merasa dirinya lebih baik, cenderung menjadikan dirinya sebagai referensi dan secara sepihak menegasikan identitas di luar dirinya. Max Weber dalam The City pada tahun 1921 merumuskan identitas masyarakat urban dunia dalam dikotomi "Occidential vs Oriental". Baginya, identitas "occidential" alias "Barat" tadi eksis sebagai kebalikan dari yang menjadi ciri "Oriental". Dan ketimbang memahami "Timur" sebagai segugus sistem hidup yang saling melengkapi, "Barat" malah mengukuhkan identitasnya dengan melabeli "Timur" dengan segala keburukannya.
Persis seperti yang dilakukan psikiater Belanda P.H. Travaglino, yang menyimpulkan pada tahun 1920, seperti dikutip Goenawan Mohamad (GM), bahwa identitas orang Jawa dewasa umumnya tidak memiliki kematangan psikologis dan masih bersifat kinderlijk niveau alias kekanak-kanakan, dan ini merupakan kajian ilmiah yang dipakai Belanda sebagai pembenaran memperpanjang kolonialismenya di Indonesia. Sebuah cara pandang filosofis yang coba digedor dan terus dilawan dalam diskursus poskolonial.
***
Lapis demi lapis karakter identitas yang hadir di kota haruslah dibaca sebagai keaneka-ragaman guna memperkaya budaya dan memperunik wajah kota, yang diistilahkan Rapoport (Tata Ruang Perkotaan; Prof. Ir. Eko Budihardjo M.Sc. 1997), sebagai "Cultural Landscape" dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan, dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk pembangunan kota. Dalam setiap kota yang merupakan "melting pot" selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Sebab, antara homogenitas yang kaku seragam dan heterogenitas yang kenyal beragam, merupakan bentuk yang gampang pemeriannya tetapi sulit pengejawantahannya. Untuk mengatasi masalah semacam itu, disarankan suatu bentuk perencanaan yang open ended yang menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota supaya memberikan peluang bagi bagian-bagian lain (termasuk yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya) untuk bergerak secara spontan. Perencanaan open ended yang luwes dan kenyal ini memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan, dan gaya hidup yang berbeda dalam suatu lingkungan yang dinamik. Dan kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan akan dengan mudah menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif ruang, waktu, makna, dan komunikasi.
Berbeda bukan berarti ancaman. Berbeda adalah pluralitas keunikan. Kita bisa hidup lebih baik dengan mengencangkan toleransi identitas dan menggunakan kota sebagai laboratoriumnya, serta jangan sampai terjebak dalam pengotakan identitas yang berlebihan, apalagi dibarengi ancaman seperti yang sempat diteriakkan Goerge Bush secara kekanakan dan menggelikan, "You are either with us or against us!"
Para perencana yang menganut paham bahwa segala sesuatu harus direncana, dikontrol, dan dipantau secara tegar pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan ekspansi individual atau kelompok, jika dibiarkan akan menciptakan kekacauan, tidak teratur, berantakan. Padahal dalam kehidupan nyata ini, perencana dan pelaksana yang "down to the last detail" tidak hanya mungkin, tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak dikembangkan, atau diberi wadah, dan di-salut-kan.
Dimuat di Lampung Post, Senin, 22 November 2004
Arsitek-penyair, aktif di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)
MENYIMAK rencana pembangunan monumen Siger yang masih berpusar dalam arus pro dan kontra, juga selain berbagai ragam bebat pertimbangan dan arti penting pembangunan monumen Siger yang disinyalir merupakan arsitektur berkarakter, pertanyaan mendasar yang kemudian muncul berkisar pada; mengapa konsep (politik) beridentitas sebegitu penting? Akan hal itu, saya mengenangkan komentar Peter Hall, "A city of parades and spectacles".
***
Di bawah terik lapangan Ikada, di hadapan sekelompok pemuda antusias, Bung Karno berpidato tentang mengapa Jakarta harus menjadi ibu kota Indonesia. "Harus Jakarta!" ujarnya. Bung Karno ingin Jakarta menjadi semacam "The beacon of new emerging forces". Bung Karno yang pada dasarnya ingin harga diri bangsa Indonesia terangkat dan bangkit setelah hancur dalam era kolonialisme, sempat memimpikan Jakarta sebagai yang terbesar dan termegah.
"Lihatlah New York atau Moskwa," katanya. Dan, kita pun tahu ke mana obsesi tersebut kemudian berlanjut. Tanah Senayan digerus dan 5.000 keluarga dipindahkan untuk pembangunan komplek stadion olahraga terbesar. Ruas Jalan Thamrin dan Semanggi dihamparkan sebagai koridor bisnis. Masjid Istiqlal dibangun sebagai yang termegah dan tugu Monas--yang laiknya tiang pancang dan monumental itu--pun ditegakkan menjadi yang terdepan.
Dan memang Jakarta bukanlah Surabaya yang kotanya orang Madura dan Jawa. Bukan pula Bandung. Sebab, sebesar-besarnya Bandung, itu adalah kota Sunda. Hanya Jakarta yang layak dikedepankan sebagai ibu kota dan etalase identitas bagi Indonesia baru. Lainnya hanyalah kota-kota daerah. City air makes you free, cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Struktur dan wajah kota pun bisa bercerita tentang kompleksitas persilangan identitas masyarakatnya. Yang paling mencolok sekaligus tak terasa adalah bagaimana kapitalisme mendeformasi struktur dan wajah kota berdasarkan strata kelas sosial. Kaum miskin biasanya tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sementara kaum berpunya tinggal di lokasi-lokasi mahal dan berdensitas rendah.
Teori lokasi ini biasanya sebangun dengan strata sistem produksi ekonomi kapitalis yang dianutnya. Akibatnya konsep social mixed income & mixed density seperti di Bijlmermerr, Belanda, tahun 1992 atau kota-kota Skandinavia lainnya menjadi konsep yang terasa asing. Melipat ruang kota sebagai komoditas, gejala gated-community, dan suburbanisasi adalah jejak lazim kapitalisme dalam wajah kota.
Sementara itu, cara negara atau pemerintah memproduksi identitas kolektif melalui arsitektur atau desain urban seperti Soekarno, juga terjadi di Mesir pada era kepemimpinan Anwar Sadat. Dia terobsesi menampilkan identitas Kairo yang baru ke hadapan dunia. Dengan slogan open door policy atau infitah, Sadat menghancurkan dan mengusir belasan ribu jiwa dari jantung Kota Kairo untuk megaproyek tersebut atas nama modernisasi dan dolar turisme internasional.
Identitas kelompok berdasarkan ras dan etnis pun masih banyak ditemui dalam struktur kota yang seharusnya bersifat kosmopolitan. Dalam arsitektur modern penggambaran seperti Chinatown atau Pecinan adalah contoh identitas ras "kuning" yang hadir di banyak kota besar dunia. Litte India dan Arab Street di Singapura, Harlem untuk kulit hitam dan Little Italy untuk imigran Italia di Manhattan adalah contoh segregasi kota berdasarkan ras.
Lapisan identitas masyarakat berdasarkan gaya hidup atau orientasi seksual juga banyak terekam, seperti di Amerika atau Eropa. Kelompok dengan gaya hidup seniman atau bohemian bisa ditemukan di Distrik Soho di London, sementara Oxford Street di Sydney atau Distrik Castro di San Francisco dan berita terakhir sekarang menjadi lokasi komunitas terbesar dunia bagi kaum gay dan lesbian. Dan untuk mengklaim eksistensi identitas mereka, biasanya acara gay parade dijadikan ritual utama tahunan, terutama di San Francisco, Manhattan, dan Sydney sebagai agenda politik. Laiknya sebuah gerakan, feminisme pun tidak ketinggalan.
Jane Jacobs dan Dolores Hayden memotori gerakan moral mendefinisikan kota-kota Amerika yang cenderung berorientasi patriarkis. Jarangnya fasilitas penitipan anak, transportasi urban yang tidak nyaman bagi kaum hawa, dan desain urban yang tidak defensible menyebabkan banyak perempuan kesulitan beraktivitas produktif seperti halnya kaum lelaki. Di sisi lain, mereka juga menganggap suburbanisasi berhasil "membuang" kaum perempuan duduk mengurusi rumah tangga semata. Gerakan ini sempat menghentikan program urban renewal, membuat masyarakat mempertanyakan kembali konsep suburbanisasi dan mengangkat pentingnya isu feminisme dalam meruahnya akar pembangunan kapitalisme konteks kota di Amerika.
Untuk konteks Indonesia, yang juga harus menghadapi "muntahan" berkembangnya kapitalisme--sebab dalam iklim globalisasi/neolibelarisme semua dapat hadir dan mengalir dan bebas hambatan--mungkin kota seperti Yogja yang memiliki budaya tanding. Discus terbatas penulis dengan pengamat sosial-keagamaan, Abdul Munir Mulkhan, mengungkapkan banyak orang berimajinasi tentang kemungkinan model gaya hidup Yogja sebagai prototipe tandingan gaya hidup kapitalis yang glamur dan "serakah" dan makin global. Dan kesederhanaan gaya hidup Yogja, bukanlah indikasi kota ini tidak bergerak maju.
Pengembangan kawasan pendidikan di sekitar kota ini membawa sejumlah persoalan sebagai dampak tak langsung kehadiran puluhan ribu warga baru kota ini. Bersama dengan perkembangan kawasan pendidikan yang terus tumbuh, warung lesehan yang semula hanya berpusat di kawasan Malioboro meluas di berbagai jalan protokol. Namun, kampung-kampung tradisional tetap kental dan tampak lestari di kawasan sekitar pusat kesibukan Malioboro atau Jalan Solo. Gedung dan rumah mewah justru lebih tampak di kawasan pengembangan yang biasanya berkaitan dengan lembaga pendidikan. Semua itu, kuncinya pada kesederhanaan, hal ini membuat Yogja menunjukkan suatu identitas budaya yang signifikan.
***
Identitas adalah cara menjaga "karakter" dan "sifat beda" kita. Mulai dari gaya hidup, strata sosial, agama, usia, ras/etnis, panji-panji kelompok, sampai orientasi seksual umumnya menjadi referensi penting dalam eksistensi identitas. Dan untuk memahaminya, kita biasanya perlu cermin pembanding. Kehadiran "mereka" atau "other" sebagai pembanding yang berbeda menjadi penting memahami siapakah adanya "kita" atau "self".
Kelompok yang merasa dirinya lebih baik, cenderung menjadikan dirinya sebagai referensi dan secara sepihak menegasikan identitas di luar dirinya. Max Weber dalam The City pada tahun 1921 merumuskan identitas masyarakat urban dunia dalam dikotomi "Occidential vs Oriental". Baginya, identitas "occidential" alias "Barat" tadi eksis sebagai kebalikan dari yang menjadi ciri "Oriental". Dan ketimbang memahami "Timur" sebagai segugus sistem hidup yang saling melengkapi, "Barat" malah mengukuhkan identitasnya dengan melabeli "Timur" dengan segala keburukannya.
Persis seperti yang dilakukan psikiater Belanda P.H. Travaglino, yang menyimpulkan pada tahun 1920, seperti dikutip Goenawan Mohamad (GM), bahwa identitas orang Jawa dewasa umumnya tidak memiliki kematangan psikologis dan masih bersifat kinderlijk niveau alias kekanak-kanakan, dan ini merupakan kajian ilmiah yang dipakai Belanda sebagai pembenaran memperpanjang kolonialismenya di Indonesia. Sebuah cara pandang filosofis yang coba digedor dan terus dilawan dalam diskursus poskolonial.
***
Lapis demi lapis karakter identitas yang hadir di kota haruslah dibaca sebagai keaneka-ragaman guna memperkaya budaya dan memperunik wajah kota, yang diistilahkan Rapoport (Tata Ruang Perkotaan; Prof. Ir. Eko Budihardjo M.Sc. 1997), sebagai "Cultural Landscape" dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan, dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk pembangunan kota. Dalam setiap kota yang merupakan "melting pot" selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Sebab, antara homogenitas yang kaku seragam dan heterogenitas yang kenyal beragam, merupakan bentuk yang gampang pemeriannya tetapi sulit pengejawantahannya. Untuk mengatasi masalah semacam itu, disarankan suatu bentuk perencanaan yang open ended yang menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota supaya memberikan peluang bagi bagian-bagian lain (termasuk yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya) untuk bergerak secara spontan. Perencanaan open ended yang luwes dan kenyal ini memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan, dan gaya hidup yang berbeda dalam suatu lingkungan yang dinamik. Dan kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan akan dengan mudah menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif ruang, waktu, makna, dan komunikasi.
Berbeda bukan berarti ancaman. Berbeda adalah pluralitas keunikan. Kita bisa hidup lebih baik dengan mengencangkan toleransi identitas dan menggunakan kota sebagai laboratoriumnya, serta jangan sampai terjebak dalam pengotakan identitas yang berlebihan, apalagi dibarengi ancaman seperti yang sempat diteriakkan Goerge Bush secara kekanakan dan menggelikan, "You are either with us or against us!"
Para perencana yang menganut paham bahwa segala sesuatu harus direncana, dikontrol, dan dipantau secara tegar pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan ekspansi individual atau kelompok, jika dibiarkan akan menciptakan kekacauan, tidak teratur, berantakan. Padahal dalam kehidupan nyata ini, perencana dan pelaksana yang "down to the last detail" tidak hanya mungkin, tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak dikembangkan, atau diberi wadah, dan di-salut-kan.
Dimuat di Lampung Post, Senin, 22 November 2004
Sebuah Kota, Sajak, dan Pembangunan
Oleh Y. Wibowo
Penyair, tinggal di Lampung
ISBEDY stiawan Z.S. menuliskan artikel fantastis sekaligus miris dalam momentum Hari Ulang Tahun ke-322 Kota Bandar Lampung, 17 Juni 2004, berjudul "Kota tanpa Ruang Kontemplatif" (Lampung Post, 19 Juni 2004). Menurut penulis, dalam merefleksikan "kenangan yang berjalan", Bang Isbedy melihat Kota Bandar Lampung adalah sebuah sajak yang terdedah karena alam dan didedahkan sistem dan kebijakan. Namun, dari sisi wajah arsitektur yang dinamik dan problematik belum terungkap.
Memang hal ini bisa saja terjadi dan dialami setiap insan atau warga yang tinggal dalam satu komunitas/masyarakat di mana pun ia berhuni. Terlebih ungkapan-ungkapan perasaan akan kenangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu, yang sekaligus dapat mengingatkan dan menghapus jejak ingatan kita.
Dapat diamati bagaimana dinamika kota dipengaruhi perkembangan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya. Artinya, perkembangan masyarakat terungkap dalam perkembangan kota. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat selalu memiliki kecenderungan mengekspresikan kehidupan melalui perkembangannya. Dalam skala mikro, misalnya, keluarga sebagai rumah tangga selalu ingin memperbaiki dan mengembangkan rumah sesuai dengan kemampuannya, terutama jika memiliki rumah sendiri. Dalam realitasnya, hal ini sedikit berbeda seandainya rumah yang ditempati keluarga itu bukan milik sendiri.
Masalah itu muncul karena perasaan akan identitas tempatnya telah berkurang. Aspek itu juga perlu diperhatikan dalam skala makro; jika rasa memiliki di suatu kawasan tidak dipunyai masyarakat setempat, maka perasaan akan identitas terhadap suatu tempat menjadi sedikit. Sehingga, dorongan untuk mengembangkan kawasan yang baik sesuai dengan perkembangan masyarakat pun menjadi tidak cukup besar.
Perubahan wajah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat dalam beberapa dekade. Ini sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut selalu adanya penyesuaian bagi setiap sektor yang akan menunjang perkembangan tersebut. Berbagai kemajuan diraih, baik dalam sektor formal maupun informal. Begitu pula fasilitas umum, terus dibenahi dengan menambah fasilitas.
Berdasarkan catatan sejarah, Kota Bandar Lampung dapat diilustrasikan secara keseluruhan tidak bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi waktu. Dari dimensi waktu, dinamika perkembangan kota ini pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi perkembangan masyarakat.
Menyatunya Kota Tanjungkarang dan Telukbetung adalah konsekwensi logis dari tiga cara dasar di dalam kota. Markus Zahnd (Perancangan Kota Secara Terpadu. Kanisius-Soegriyapranata University Press, 1999) menyebutkan ada tiga istilah teknis, yaitu, pertama, perkembangan horizontal atau perkembangan yang mengarah ke luar. Artinya, daerah bertambah, sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pinggir kota, di mana lahan masih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota (di mana banyak keramaian).
Kedua, perkembangan vertikal atau perkembangan yang mengarah ke atas. Dalam hal ini, daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap sama, sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana harga lahan mahal dan di pusat-pusat perdagangan.
Ketiga, perkembangan interstisial atau perkembangan yang dilangsungkan ke dalam. Dalam hal ini, daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana antara pusat dan daerah pinggiran yang kawasannya dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.
Memang perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas tidak hanya terjadi satu per satu, melainkan bersamaan. Dewasa ini dengan dinamika yang sangat cepat, implikasi kualitas perkembangannya sering kurang baik. Sebab, Kota Bandar Lampung membutuhkan manusia yang bertindak.
Keterlibatan itu (harus) terjadi dalam dua skala atau prespektif: "dari atas" dan "bawah". Skala "dari atas" memperhatikan aktivitas ekonomis-politis (sistem keuangan, sistem kekuasaan/kebijakan, dsb.) yang bersifat agak abstrak. Sedangkan skala "dari bawah" berfokus secara konkret pada perilaku manusia (kegiatan, perbuatan, dsb.). Jadi, tak heran jika Winston Churchill mengatakan, "Manusia akan membentuk kota, kemudian kota akan membentuk manusia".
Perlu diingat bahwa kota merupakan hasil suatu karya seni sosial. Oleh sebab itu, menilik kenyataan Kota Bandar Lampung dengan adanya perbedaan kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi, dan lain-lain, seharusnya wajah perkotaan tidak perlu persamaan, tentunya dengan adanya land mark kota. Namun, dalam perkembangannya--yang hampir tidak dapat dihindari kota-kota di Indonesia--adalah terjadinya penyeragaman pembangunan. Jelas sekali gejala penyeragaman wajah kota dengan bentuk-bentuk jiplakan, duplikasi, triplikasi, bahkan multiplikasi harus diantisipasi sedini mungkin, agar tidak terjadi keseragaman wajah kota yang pada akhirnya menimbulkan kemonotononan fasade kota.
Keseragaman wajah kota mengakibatkan tidak adanya identitas kota yang menjadi ciri khas dan kemudian akan disusul dengan menghilangnya kultur-kultur asli karena pergeseran nilai-nilai dengan apa yang disebut modernisme. Dampak yang paling serius adalah terjadinya kejenuhan dalam sikap masyarakat kota yang akhirnya akan berdampak ke masalah urbanisasi (seperti PKL yang menghiasi wajah kota) yang saat ini masih menjadi polemik untuk menentukan jalan keluarnya. Sedangkan penyeragaman di sisi lain, warga kota lazimnya bahasa kekuasaan yang diterapkan bagitu saja pada masyarakat yang kendati mayoritas, sekadar menjadi masyarakat pinggiran (objek).
Para arsitek dan perencana kota tidak boleh menyerah pada nasib dan membela diri. "Kita sekadar merancang dan merencana, tetapi keputusan akhir ditentukan penentu kebijakan, penguasa, dan pengusaha," demikian pernah dinyatakan Prof. Eko Budihardjo. Kita juga tidak boleh terjebak pada isme-isme yang melanda dan berasal dari negara adidaya, dalam menentukan arah perencanaan dan pengembangan kota.
***
Kota harus membuat betah dam mensejahterakan penduduknya, nyaman dihuni dan enak untuk dilihat. Ibarat sajak yang menyentuh dawai-dawai emosi dengan segala ungkapan-ungkapan cerminan suara hati yang dimanifestasikan dalam bentuk desain. Dapat dibayangkan, Kota Bandar Lampung yang kaya dengan sumber ilham kesenian tradisional yang apabila dapat diwujudkan dengan memadukan unsur seni dan sajak ke dalam proses perancangan dan perencanaan arsitektur.
Karena sebuah kota adalah panggung kenangan, cerminan sejarah dari masyarakatnya secara visual. Antara city dan citizen terdapat keterkaitan yang sangat dekat, saling menjalin, saling memengaruhi. Keunikan perilaku warga kota, kekhasan adapt istiadat, beragam lokasi geografis dan iklimnya dan variasi seni rupa yang diciptakan, semuanya berkontribusi terhadap penampilan dan citra kota.
Tak kenal maka tak sayang. Pepatah tersebut ternyata berlaku dalam rasa memiliki. Sebesar apa anda mengenal anatomi kota tempat anda tinggal. Makin dalam menyelami seluk beluk kota, akan memperdalam perasaan cinta dan memiliki atas kota serta Anda akan merasa bagiannya dari kehidupan seluruh masyarakatnya, dan bukan sekadar tempat tinggal dan me-nguber kebutuhan ekonomi. Lontaran Bang Isbedy tentang kebutuhan "ruang kontemplatif" muncul dalam gagasan membangun "jiwa warga kota" yang ingin terlibat dan melihat pertunjukan berbagai rumpun kesenian nampaknya perlu direspons positif. Sebab kota tanpa tanpa "jiwa" apalah artinya?!
***
Perubahan paradigma pembangunan dapat kita telusuri dari pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang merupakan konsep dasar otonomi daerah. Saat ini paradigma pembangunan berubah--walaupun kebiasaan lama kadang kala masih dijalankan--dari sistem yang represif sentralistik dan bersifat top down menuju pembangunan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat menentukan kebijakan pembangunan.
Untuk menentukan arah pembangunan Kota Bandar Lampung, hal ini erat berkait dengan visi pembangunan kota. Sedangkan untuk mencapai tujuannya, diperlukan ketersediaan software maupun hardware yang relatif memadai untuk dikembangkan. Tidaklah perlu perdebatan konsep otonomi daerah karena di sana jelas termaktub bagaimana pembangunan mesti melibatkan partisipasi warga kota. Lalu mengapa masih ada ungkapan; mana cita-cita kita semua dulu yang komit dan ikrarkan bersama untuk menjadikan kota ini sebuah "kota dalam taman", mana rasa memiliki dan rasa cinta kita terhadap kota ini yang selama ini kita dengung-dengungkan? (Nurdin Muhayat, mantan Wali Kota Bandar Lampung periode 1986--1995, Lampung Post, 17 Juni 2004).
Pemikiran di atas mendorong kita mengkaji ulang relevansi berbagai teori pembangunan (ekonomi modern) dan pembangunan yang cenderung praktis-pragmatis bagi kelangsungan hidup manusia yang nyaman, damai dan tenteram. Berbagai teori ekonomi dan pembangunan yang selama ini kita kenal, lebih mendorong manusia hidup serakah dengan menguras habis sumber daya. Tujuan strategisnya hanya satu, yaitu agar manusia dalam tempo singkat bisa menikmati segala fasilitas hidup. Hal ini sering mendorong seseorang tidak lagi peduli pada situasi selanjutnya.
Sehingga, peran serta masyarakat secara aktif dalam menentukan penataan kawasan kota juga merupakan partisipasi dan wadah bersosialisasi, sebagai kontribusi atas tanggung jawab jejak sejarah dan kelestarian Kota Bandar Lampung yang menyimpan potensi besar pada sektor wisata budaya dan berbagai sektor lainnya. Pada akhirnya, Bandar Lampung dapat menjadi kawasan yang partisipatif serta dapat diakses bagi semua, selamat, dan tetaplah menggeliat kotaku!
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 22 Juni 2004
Penyair, tinggal di Lampung
ISBEDY stiawan Z.S. menuliskan artikel fantastis sekaligus miris dalam momentum Hari Ulang Tahun ke-322 Kota Bandar Lampung, 17 Juni 2004, berjudul "Kota tanpa Ruang Kontemplatif" (Lampung Post, 19 Juni 2004). Menurut penulis, dalam merefleksikan "kenangan yang berjalan", Bang Isbedy melihat Kota Bandar Lampung adalah sebuah sajak yang terdedah karena alam dan didedahkan sistem dan kebijakan. Namun, dari sisi wajah arsitektur yang dinamik dan problematik belum terungkap.
Memang hal ini bisa saja terjadi dan dialami setiap insan atau warga yang tinggal dalam satu komunitas/masyarakat di mana pun ia berhuni. Terlebih ungkapan-ungkapan perasaan akan kenangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu, yang sekaligus dapat mengingatkan dan menghapus jejak ingatan kita.
Dapat diamati bagaimana dinamika kota dipengaruhi perkembangan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya. Artinya, perkembangan masyarakat terungkap dalam perkembangan kota. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat selalu memiliki kecenderungan mengekspresikan kehidupan melalui perkembangannya. Dalam skala mikro, misalnya, keluarga sebagai rumah tangga selalu ingin memperbaiki dan mengembangkan rumah sesuai dengan kemampuannya, terutama jika memiliki rumah sendiri. Dalam realitasnya, hal ini sedikit berbeda seandainya rumah yang ditempati keluarga itu bukan milik sendiri.
Masalah itu muncul karena perasaan akan identitas tempatnya telah berkurang. Aspek itu juga perlu diperhatikan dalam skala makro; jika rasa memiliki di suatu kawasan tidak dipunyai masyarakat setempat, maka perasaan akan identitas terhadap suatu tempat menjadi sedikit. Sehingga, dorongan untuk mengembangkan kawasan yang baik sesuai dengan perkembangan masyarakat pun menjadi tidak cukup besar.
Perubahan wajah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat dalam beberapa dekade. Ini sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut selalu adanya penyesuaian bagi setiap sektor yang akan menunjang perkembangan tersebut. Berbagai kemajuan diraih, baik dalam sektor formal maupun informal. Begitu pula fasilitas umum, terus dibenahi dengan menambah fasilitas.
Berdasarkan catatan sejarah, Kota Bandar Lampung dapat diilustrasikan secara keseluruhan tidak bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi waktu. Dari dimensi waktu, dinamika perkembangan kota ini pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi perkembangan masyarakat.
Menyatunya Kota Tanjungkarang dan Telukbetung adalah konsekwensi logis dari tiga cara dasar di dalam kota. Markus Zahnd (Perancangan Kota Secara Terpadu. Kanisius-Soegriyapranata University Press, 1999) menyebutkan ada tiga istilah teknis, yaitu, pertama, perkembangan horizontal atau perkembangan yang mengarah ke luar. Artinya, daerah bertambah, sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pinggir kota, di mana lahan masih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota (di mana banyak keramaian).
Kedua, perkembangan vertikal atau perkembangan yang mengarah ke atas. Dalam hal ini, daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap sama, sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana harga lahan mahal dan di pusat-pusat perdagangan.
Ketiga, perkembangan interstisial atau perkembangan yang dilangsungkan ke dalam. Dalam hal ini, daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana antara pusat dan daerah pinggiran yang kawasannya dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.
Memang perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas tidak hanya terjadi satu per satu, melainkan bersamaan. Dewasa ini dengan dinamika yang sangat cepat, implikasi kualitas perkembangannya sering kurang baik. Sebab, Kota Bandar Lampung membutuhkan manusia yang bertindak.
Keterlibatan itu (harus) terjadi dalam dua skala atau prespektif: "dari atas" dan "bawah". Skala "dari atas" memperhatikan aktivitas ekonomis-politis (sistem keuangan, sistem kekuasaan/kebijakan, dsb.) yang bersifat agak abstrak. Sedangkan skala "dari bawah" berfokus secara konkret pada perilaku manusia (kegiatan, perbuatan, dsb.). Jadi, tak heran jika Winston Churchill mengatakan, "Manusia akan membentuk kota, kemudian kota akan membentuk manusia".
Perlu diingat bahwa kota merupakan hasil suatu karya seni sosial. Oleh sebab itu, menilik kenyataan Kota Bandar Lampung dengan adanya perbedaan kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi, dan lain-lain, seharusnya wajah perkotaan tidak perlu persamaan, tentunya dengan adanya land mark kota. Namun, dalam perkembangannya--yang hampir tidak dapat dihindari kota-kota di Indonesia--adalah terjadinya penyeragaman pembangunan. Jelas sekali gejala penyeragaman wajah kota dengan bentuk-bentuk jiplakan, duplikasi, triplikasi, bahkan multiplikasi harus diantisipasi sedini mungkin, agar tidak terjadi keseragaman wajah kota yang pada akhirnya menimbulkan kemonotononan fasade kota.
Keseragaman wajah kota mengakibatkan tidak adanya identitas kota yang menjadi ciri khas dan kemudian akan disusul dengan menghilangnya kultur-kultur asli karena pergeseran nilai-nilai dengan apa yang disebut modernisme. Dampak yang paling serius adalah terjadinya kejenuhan dalam sikap masyarakat kota yang akhirnya akan berdampak ke masalah urbanisasi (seperti PKL yang menghiasi wajah kota) yang saat ini masih menjadi polemik untuk menentukan jalan keluarnya. Sedangkan penyeragaman di sisi lain, warga kota lazimnya bahasa kekuasaan yang diterapkan bagitu saja pada masyarakat yang kendati mayoritas, sekadar menjadi masyarakat pinggiran (objek).
Para arsitek dan perencana kota tidak boleh menyerah pada nasib dan membela diri. "Kita sekadar merancang dan merencana, tetapi keputusan akhir ditentukan penentu kebijakan, penguasa, dan pengusaha," demikian pernah dinyatakan Prof. Eko Budihardjo. Kita juga tidak boleh terjebak pada isme-isme yang melanda dan berasal dari negara adidaya, dalam menentukan arah perencanaan dan pengembangan kota.
***
Kota harus membuat betah dam mensejahterakan penduduknya, nyaman dihuni dan enak untuk dilihat. Ibarat sajak yang menyentuh dawai-dawai emosi dengan segala ungkapan-ungkapan cerminan suara hati yang dimanifestasikan dalam bentuk desain. Dapat dibayangkan, Kota Bandar Lampung yang kaya dengan sumber ilham kesenian tradisional yang apabila dapat diwujudkan dengan memadukan unsur seni dan sajak ke dalam proses perancangan dan perencanaan arsitektur.
Karena sebuah kota adalah panggung kenangan, cerminan sejarah dari masyarakatnya secara visual. Antara city dan citizen terdapat keterkaitan yang sangat dekat, saling menjalin, saling memengaruhi. Keunikan perilaku warga kota, kekhasan adapt istiadat, beragam lokasi geografis dan iklimnya dan variasi seni rupa yang diciptakan, semuanya berkontribusi terhadap penampilan dan citra kota.
Tak kenal maka tak sayang. Pepatah tersebut ternyata berlaku dalam rasa memiliki. Sebesar apa anda mengenal anatomi kota tempat anda tinggal. Makin dalam menyelami seluk beluk kota, akan memperdalam perasaan cinta dan memiliki atas kota serta Anda akan merasa bagiannya dari kehidupan seluruh masyarakatnya, dan bukan sekadar tempat tinggal dan me-nguber kebutuhan ekonomi. Lontaran Bang Isbedy tentang kebutuhan "ruang kontemplatif" muncul dalam gagasan membangun "jiwa warga kota" yang ingin terlibat dan melihat pertunjukan berbagai rumpun kesenian nampaknya perlu direspons positif. Sebab kota tanpa tanpa "jiwa" apalah artinya?!
***
Perubahan paradigma pembangunan dapat kita telusuri dari pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang merupakan konsep dasar otonomi daerah. Saat ini paradigma pembangunan berubah--walaupun kebiasaan lama kadang kala masih dijalankan--dari sistem yang represif sentralistik dan bersifat top down menuju pembangunan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat menentukan kebijakan pembangunan.
Untuk menentukan arah pembangunan Kota Bandar Lampung, hal ini erat berkait dengan visi pembangunan kota. Sedangkan untuk mencapai tujuannya, diperlukan ketersediaan software maupun hardware yang relatif memadai untuk dikembangkan. Tidaklah perlu perdebatan konsep otonomi daerah karena di sana jelas termaktub bagaimana pembangunan mesti melibatkan partisipasi warga kota. Lalu mengapa masih ada ungkapan; mana cita-cita kita semua dulu yang komit dan ikrarkan bersama untuk menjadikan kota ini sebuah "kota dalam taman", mana rasa memiliki dan rasa cinta kita terhadap kota ini yang selama ini kita dengung-dengungkan? (Nurdin Muhayat, mantan Wali Kota Bandar Lampung periode 1986--1995, Lampung Post, 17 Juni 2004).
Pemikiran di atas mendorong kita mengkaji ulang relevansi berbagai teori pembangunan (ekonomi modern) dan pembangunan yang cenderung praktis-pragmatis bagi kelangsungan hidup manusia yang nyaman, damai dan tenteram. Berbagai teori ekonomi dan pembangunan yang selama ini kita kenal, lebih mendorong manusia hidup serakah dengan menguras habis sumber daya. Tujuan strategisnya hanya satu, yaitu agar manusia dalam tempo singkat bisa menikmati segala fasilitas hidup. Hal ini sering mendorong seseorang tidak lagi peduli pada situasi selanjutnya.
Sehingga, peran serta masyarakat secara aktif dalam menentukan penataan kawasan kota juga merupakan partisipasi dan wadah bersosialisasi, sebagai kontribusi atas tanggung jawab jejak sejarah dan kelestarian Kota Bandar Lampung yang menyimpan potensi besar pada sektor wisata budaya dan berbagai sektor lainnya. Pada akhirnya, Bandar Lampung dapat menjadi kawasan yang partisipatif serta dapat diakses bagi semua, selamat, dan tetaplah menggeliat kotaku!
Dimuat di Lampung Post, Selasa, 22 Juni 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)