Monday, December 1, 2008

'Landmark', antara Persepsi dan Identitas

Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

Pencitraan sebagai kota asri dengan Program Ayo Bersih-bersih (ABB) yang dicanangkan Wali Kota Bandar Lampung, Eddy Soetrisno, tampaknya tidak hanya sekadar menyingkirkan "sampah" kota. Pembangunan patung muli-meghanai di (orang menyebutnya) "Perempatan Lungsir" yang mendapat sokongan swasta pun kiranya patut mendapat catatan menarik. Sebab, umumnya keberadaan patung sebagai salah satu elemen (landmark) pembentuk ruang yang dapat juga bisa menjadi simbol tempat akan lebih membuat tampilan wajah kota kian menarik, selain membuat penghuni kota merasa memiliki arti dari sebuah bentuk bangunan.

Kebanyakan ilmuwan berpendapat dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari diri sendiri, tetapi kehidupan di dalamnya.

Ihwal pembangunan patung muli-meghanai sebagai salah satu landmark untuk Kota Bandar Lampung akan menjadi signifikan bagi pemerintah dalam upaya mencitrakan diri. Sebab itu, landmark dimestikan berdiri dengan monumentalitasnya yang khas dengan fungsinya yang jelas. Sementara itu, apa arti landmark agaknya masih perlu dilakukan upaya sosialisasi lebih intensif dan meluas di masyarakat.

***

Landmark adalah sebuah sebutan yang sesungguhnya tidak terlampau populer dalam dunia seni. Sebab, landmark yang artinya "tanda-tanda tempat" atau sebuah "sosok" yang secara sengaja atau tidak sengaja dijadikan titik tengara, tengaran (Jawa: tengeran) satu lingkungan, bisa mengacu bentuk apa saja. Yang seni atau sama sekali yang bukan seni.

Di desa saya, Karang Anyar, 10 kilometer selatan Kota Bandar Lampung, orang menengarai jalan menuju ke desa ditandai seonggok tugu tua yang berdiri tegak di tengah perempatan "jalan aspal" dan "jalan tanah" pasar desa. Sementara itu, batas antara Desa Karang Anyar dan Desa Jati Mulyo yang berbatasan dengan batas pinggiran Bandar Lampung, yaitu Way Kandis, ditengarai sebuah pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal yang rusak dan berlubang kira-kira sepanjang 500 meter.

Hal ini entah mengapa terjadi, setelah batas akhir dari Bandar Lampung dengan batas pintu gerbang kecil dan jalan aspal rusak dan berlubang itu kemudian menandai perjalanan sudah masuk Kabupaten Lampung Selatan, wilayah tempat saya tinggal. Maka, ketika pemuda dan pemudi Desa Karang Anyar ingin berkencan sambil mendendangkan lagu "Senja di Batas Kota", yang terpikir di kepala mereka adalah harus melintasi pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal rusak dan berlubang itu, untuk sesaat kemudian baru memasuki Desa Jati Mulyo dan sampai Desa Karang Anyar dengan seonggok tugu tua berdiri di perempatan jalan.

Mengacu pengertiannya secara arsitektural, landmark atau tengeran merupakan titik referensi seperti elemen node (simpul), tetapi orang tidak masuk karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi. Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai luar kota. Beberapa landmark juga hanya mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting bentuk kota karena membantu orang mengorientasikan diri dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sequence beberapa landmark, serta ada perbedaan skala masing-masing.

Dari aneka studi kasus, sebuah landmark memang bisa terjadi hanya karena sebuah kesepakatan laten dari publik. Sebuah landmark akan diakui sebagai "tanda tempat" apabila masyarakat memang mau beramai-ramai mengambil "manfaat lingkungan" dari yang ia persepsikan. Di Bukittinggi ada Jam Gadang. Saat itu, ketika Belanda membuat jam tersebut, tidak sedikit pun terbersit konsep bahwa Jam Gadang akan jadi tengeran. Namun, perkembangan masyarakat pelan-pelan mengambil Jam Gadang sebagai tanda-tanda lingkungan.

Begitu pula dengan Big Ben di London. Jam raksasa nan artistik ini semula lebih difungsikan untuk tanda waktu bagi penduduk Kota London yang diharapkan akan terus religius sebagai penganut Presbiterian, Metodis, Katolik Roma, atau Anglikan, agama resmi negara itu.

Karena jam akan berdentang keras dengan gema ke sisi-sisi kota pada setiap jamnya, saat itu masyarakat mengingat hidup lewat doa. Namun, Big Ben kini terposisi sebagai tengeran tempat. Seperti halnya kemegahan dan keantikan Katedral Durham yang sekarang terpatok sebagai landmark sebuah daerah di Inggris Utara.

Contoh lain yang aktual dan jelas adalah gedung WTC (World Trade Center) New York, yang beberapa tahun lalu lebur menjadi abu akibat kebiadaban teroris. Tidak seperti gedung Empire State Building yang disiapkan menjadi monumen bangunan dan landmark pusat Kota New York, WTC didirikan sekedar simbol kedigdayaan ekonomi Amerika.

Namun pada perkembangan mutakhir, karena kejangkungan dan kesibukan orang di gedung itu, WTC terangkat jadi sebuah tengeran lingkungan. Sebuah landmark ternyata dapat muncul dengan sendirinya sekaligus dapat lenyap dengan sendirinya meskipun semula disiapkan sebagai landmark.

Di Jalan Jenderal Sudirman ada yang disebut Landmark Building. Nama bangunan megah ini menyimpan maksud agar posisi dia jadi tengeran tempat. Namun, orang yang lewat di sana justru lebih banyak menyebut "sedang berada di kawasan BCA Sudirman".

Berbagai kasus itu lalu menyulut lahirnya fenomena yang mengisyaratkan fungsinya landmark yang disentuh tangan-tangan seniman. Dan sang seniman, si penangkap yang paling tanggap adalah pematung, arsitek, pembuat art work.

Merekalah yang bergerak mewujudkan konsep seni lingkungan sejak 1960-an. Hingga dapat mewujudkan landmark tidak hanya harus muncul dengan sendirinya. Namun, juga dibuat dengan konsep yang sengaja, jelas, dan pasti. Di sini, pembangunan konsep "tengeran tempat" dan seni dipertemukan, dan lantaran pengertian "tengeran tempat" berkaitan langsung dengan masyarakat atau komunitas yang berada di sebuah tempat, patung atau art work yang dibangun juga mesti sesuai dengan lingkungannya.

Atas hal ini, Gregorius Sidharta dapat dinilai berhasil ketika menciptakan Monumen Tonggak Samudra di kawasan Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta. Karya Sidharta menghenyakkan dan segera melahirkan persepsi khusus di kawasan tersebut.

Seperti halnya patung Alexander Calder yang merah membahana dengan tinggi 43 kaki di pelataran Grand Rapids, Amerika Serikat. Lagi-lagi, sebuah karya artistik yang jadi penanda atau bahkan tempat rendezvous.

Repons yang sama tampak atas patung koboi dari fiber penuh warna karya Louis Jiminez. Kini, setiap orang yang janji bertemu di depan National Museum of American Art, Washington, selalu memilih patung koboi Jimenes sebagai titik jumpa.

***

Karya-karya artistik dalam skala kota memang banyak yang terfungsikan sebagai tengeran tempat walau persepsi masyarakat terhadap wujud karya itu dapat saja meleset. Orang Jakarta menengarai persimpangan Jalan Senopati, Jakarta Selatan, dengan patung Pizza Man (pelayan restoran piza yang kepanasan).

Padahal patung lelaki membawa api karya Moenir Pamoentjak itu berjudul patung Pemuda. Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, ditengarai patung Balapan Karung. Padahal patung itu aslinya berjudul Gerak Pembangunan.

Atau yang cukup unik seperti di Bandar Lampung, misalnya, tugu Adipura, yang kemudian lebih saya kenal karena kawan-kawan akrab menyebutnya sebagai "Bundaran Gajah" atau "patung Gajah". Atas fenomena yang berlangsung dan terus berulang tersebut, pembangunan sebuah landmark mestinya berkait dengan berbagai aspek.

Aspek pertama adalah yang menyangkut konsep dulce et utile yang artinya "menyenangkan dan berguna". Kedua menyangkut ihwal peletakan sosok art work landmark dalam lingkungan. Hingga art work itu diterima sebagai bagian dari kesenangan hidup dalam lingkungan, diterima sebagai penegas karakter sebuah lingkungan, dan sebagai titik orientasi satu lingkungan.

Akhirnya, bagaimana landmark dapat memersepsikan diri dan sebuah kota menjadi elok, tentu kehadiran landmark mesti benar-benar diterima sebagai tengeran. Adakah ini bisa mengalahkan eksistensi seonggok tugu tua di desa saya? Dalam rentang perjalanan waktu ke depan, mari kita tunggu bersama-sama.

Dimuat di Lampung Post, Rabu, 12 April 2006

No comments: