Monday, December 1, 2008

Wajah Kota dan Menipisnya Kontak Budaya

Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

KOTA adalah sesuatu yang lebih dari sekadar yang dapat kita pandang melalui lanskapnya, kerumunan gedung-gedung pencakar langit, pantulan silau kaca-kaca plaza, dan kerlap-kerlip ribuan lampu kendaraan yang mengalir di bawahnya. Semua itu dapat mengecoh.

Ibarat bedak dan lipstik yang menyelubungi seraut wajah, kota juga adalah sebuah ambiguitas kehidupan atau labirin yang penuh sekat, buntu, tapi di lain saat tidak berujung.

Tetapi, mengapa manusia pada umumnya lebih senang tinggal di kota daripada di desa? Mengapa desa berkembang menjadi kota, dan tidak sebaliknya kota menjadi desa?

Sebab, kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup yang lebih berbudaya dan menyenangkan, dengan konsumsi energi dan sumber daya yang lebih rendah. Kota juga representasi kehidupan ketika kerja lebih terorganisasi dan terjadwal, kerja dan pengembangan diri lebih terbuka dan bervariasi. Kota memang menyodorkan banyak masalah, tetapi juga menawarkan lebih banyak ide dan solusi. Ia adalah tempat menyemai pengetahuan, mengeksploitasi penemuan ketika inovator dapat belajar langsung dari pesaingnya.

Sejarah kota, muasalnya dimulai dengan pasar, alun-alun, balai kota. Tempat persinggungan berbagai kegiatan kemasyarakatan yang terpusat, beriringan dan terintegrasi.

Dalam konteks ekonomi, Olson ("Urban Metabolism and Morphogenesis", Urban Geography, 1982) menulis, "Bahkan sebelum era keemasan kapitalisme, hampir semua kota di dunia tumbuh karena akumulasi kapital. Kota berfungsi bagaikan sel, pelabuhan, distrik perbankan, pabrik, dan kawasan pinggiran adalah organ atau tenunan khusus; dan kapital--entah dalam bentuk uang atau aset terbangun--adalah energi yang mengalir melalui sistem kota".

Ada sisi lain yang cukup akut dari perkotaan. Ia juga merangsang pertumbuhan permukiman kumuh dan permukiman liar yang dibangun kaum migran miskin yang bekerja sebagai buruh-buruh perusahaan pabrik, dan seiring dengannya tumbuh pula berbagai jasa sektor informal yang ditandai munculnya warung, kereta dorong, dan tenda-tenda reyot yang berceceran di pinggir jalan dan ruang publik. Ruang publik lantas menjadi medan pertempuran ruang ekonomi (the battle of economic space) yang terkadang berlangsung sampai berdarah-darah.

Dengan demikian, proses akumulasi kapital sebenarnya menciptakan dunia yang dualistik! Bagaikan cerita A Tale of Two Cities-nya Charles Dickens, implikasi akumulasi kapital macam ini dengan segera menciptakan lanskap kota yang sangat mencolok menyajikan kontradiksi antara ekonomi formal dan ekonomi informal; kawasan kaya dan kawasan miskin; mal modern dan pasar tradisional kumuh; bahkan dapat pula kita jumpai segregasi etik yang mengekspresikan urban apartheid.

Kota yang segregated, dualistik, dan kontradiktif pada dasarnya selalu menyimpan keresahan, ketegangan, ketidakpercayaan, dan ketidakamanan. Dan kecenderungan yang berkali-kali terjadi, masyarakat kecil biasanya harus menerima dengan tak berdaya dalam medan pertarungan kapital.

Oleh sebab itulah, di negara maju kemudian muncul pelbagai peraturan perkotaan yang tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi melainkan juga mewadahi aspirasi masyarakat, melalui sistem advocacy dan pelibatan/partisipasi penduduk. Sementara itu, pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acap dilihat sebagai konsumen yang pasif. Memang masyarakat diberi tempat untuk aktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja, dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang ikut proses penentuan kebijakan dan perencanaannya.

Padahal, sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat dan lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan.

Dari hasil-hasil kajian perkotaan, diperoleh temuan bahwa kelapukan dan kehancuran kota tidak disebabkan semata ulah masyarakat kotanya, melainkan lebih karena sistem ekonomi kapitalistik yang ganas. Selain itu terdapat indikasi lapisan masyarakat marginal yang berada di luar pagar atau ruang pengambil keputusan, cenderung menjadi beringas dan gampang tersulut emosinya.

"Participation provides a way of being creative for urban people whose work may be totally uncreative," kata Wilmott. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota di Indonesia masih sering diabaikan, padahal penting sekali artinya menumbuhkan harga diri, percaya diri, dan jati diri.

Apalagi bagi kaum papa yang termasuk kategori the silent majority, keterlibatan mereka boleh dikata tidak ada. Antara lain karena anggapan tingkat pendidikannya yang rendah sehingga tidak dapat diajak berdwicakap.

Lagi pula waktunya banyak dihabiskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Padahal sebetulnya masyarakat (itu) memiliki kearifan tersendiri yang sering di luar dugaan kalangan yang berpendidikan.

Dari pengamatan selama ini, dapat ditemu-kenali beberapa kelemahan dalam proses perencanaan, implementasi, dan pengelolaan pembangunan kota, antara lain pertama, perencanaan yang terlalu berorientasi pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidak-pastian (uncertainties).

Di sisi lain terdapat jenis-jenis perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang berwawasan luas. Seyogianya pendekatan yang diambil mencakup keduanya, ibarat melihat keseluruhan hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya atau sebaliknya melihat keunikan setiap jenis pohon akan tetapi ditilik dalam konteks hutannya.

Kedua, terlihat kecenderungan kuat bahwa perencanaan tata ruang terlalu berat ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual (biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan).

Ketiga, hal yang cukup merisaukan adalah adanya kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota.

Agar perencanaan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat sebagai management of changes atau management of conflicts, Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.

Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model participatory planning dan over-the board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuen.

Sekadar contoh, kebanyakan perencana kota mengganggap jalan sekadar sebagai prasarana lalu lalang dan ruang transisi (transitional space) saja. Jika direncanakan dengan sebatas anggapan tersebut, tertutup peluang memanfaatkan jalan sebagai ruang aktivitas (activity space).

Padahal, di kota-kota sedang seperti kita di Lampung, jalan bukanlah semata-mata menampung arus lalu lintas melainkan juga merupakan ruang terbuka untuk kontak sosial, wadah kegiatan, rekreasi dan bahkan untuk aktivitas perdagangan di udara terbuka.

Kehadiran pedagang kaki lima (pedagang kelana) yang mobil, memberikan citra tersendiri pada wajah kota. Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusiawi--hal yang cenderung hilang atau menipis dalam masyarakat kota.

Karena munculnya pada saat-saat tertentu (biasanya malam hari), lantas diberi predikat instant city. Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan para profesional khususnya di bidang lingkungan binaan seyogianya lebih ditingkatkan melalui forum-forum pertemuan, diskusi, ceramah, publikasi, baik secara formal maupun informal.

Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 18 Februari 2006

1 comment:

infogue said...

Artikel anda:

http://gaya-hidup.infogue.com/
http://gaya-hidup.infogue.com/wajah_kota_dan_menipisnya_kontak_budaya

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!