Monday, December 1, 2008

Skizofrenia Sebuah Kota: Setahun Eddy Sutrisno-Kherlani

Oleh Y. Wibowo
Arsitek, Editor Penerbit Matakata Lampung.

PENCANANGAN penghargaan Kota Adipura oleh pemerintah pusat kepada setiap kabupaten/kota telah berlalu. Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini Kota Kalianda dan Kota Metro patut berbangga. Tetapi, kenapa Kota Bandar Lampung yang lebih siap dengan kebijakan Ayo Bersih-bersih (ABB) justru gagal?

Tidak mudah mengelola kota sekompleks Bandar Lampung. Selain karena banyak urusan yang melibatkan putaran uang ratusan miliar, juga aneka kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Apalagi gaung otonomi daerah, jika terpleset kepala daerah dapat menjadi raja kecil dikitari pemburu rente, proyek, dan keuntungan politik lain.

ABB adalah "ideologi" untuk memperindah, mempercantik, dan meningkatkan kesehatan warga kota. Ini dapat dilihat sebagai kasus untuk menganalisis permasalahan kota dengan harapan keterlibatan masyarakat lebih luas dan lebih bersahaja. Tujuannya sederhana, agar pengelola kota mampu mengelola aneka kepentingan dan konflik yang tidak sehat di wilayahnya.

Para pakar masalah perkotaan seperti Sarageldin (1995) berujar salah satu agenda pokok pembangunan perkotaan adalah bagaimana kinerja pemerintah kota dalam menyelesaikan permasalahan warganya seperti melindungi warga dari kerusakan lingkungan, menghapus kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas kota untuk mengatasi dua hal tersebut.

Akumulasi kapital adalah benih bagi pengembangan kota, sehingga kota sering menjadi pusat dari inovasi teknologi, spiritual, dan perubahan institusi. Namun, seperti yang terjadi umumnya, akumulasi kapital di kota sering membuat kota over-urbanized. Pemadatan kota terjadi sangat cepat akibat investasi domestik dan internasional yang terkonsentrasi di kota, sebuah fenomena yang dikenal sebagai urban bias.

Urbanisme ini berlangsung sangat cepat karena jasa para pendiri kota; terutama pengembang yang berkoalisi dengan perusahaan raksasa, elite pemerintahan lokal dan bankir yang melakukan investasi secara gencar. Pendiri kota adalah wiraswastawan atau pejabat/wali kota/gubernur/bankir yang aktif dalam bisnis memanipulasi tempat/ruang yang terus-menerus mengemas kota menjadi komoditas baru yang paling bergaya untuk sebuah kehidupan moderen, prestisius, dan seksi.

Seperti dalam sejarah politik, sejarah pembangunan kota juga sangat dipengaruhi para elite, yang dalam pembangunan kota berkemampuan mengarahkan pemanfaatan ruang/tanah, mempengaruhi konsumsi ruang dan gaya hidup masyarakat, dan bahkan anggaran pemerintah.

Agenda pembangunan perkotaan adalah interaksi antara sistem sosial, politik, ekonomi, dan ekologi. Semua itu berjalan beriringan menuju keberlanjutan pembangunan kota. Kegagalan kota besar melaksanakan pembangunan berkelanjutan, menurut Sarageldin, di antaranya disebabkan keberadaan kota di negara dunia ketiga seperti Indonesia, menjadi ajang bermain kekuatan bisnis politik besar, yang berskala global ataupun lokal. Sebab itu, menarik melihat kasus "ideologi" ABB yang dibumikan pada warga Kota Bandar Lampung dari sisi ini.

Hanya, sebagai sebuah kebijakan, ABB dalam pelaksanaannya tidak seratus persen tercapai. Fokus dalam penanganan sampah kota yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah sampah di tiap-tiap lingkungan mensyaratkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat.

Pada tahap awal program ABB, uji materi di beberapa kelurahan terlihat sukses dan akan berkelanjutan secara mulus. Kemudian dalam perjalanannya, ada saja aparat terkait di kelurahan yang mangkir atau warga masyarakat yang kurang responsif. Di sisi lain dengan tak didukung sebuah kepaduan tim, hasil akhirnya pengurangan sampah menjadi tidak signifikan.

Keterlibatan dan kontrol sosial bersama terhadap program kemudian terasa cair. Makin terasa jika program itu hanya milik golongan tertentu. Padahal program ini konsep penyelesaian masalah sampah kota jangka panjang yang terencana dan terintegrasi. Secara teknis, program ini dapat diimplementasikan.

Namun, karena program ini tak sepenuhnya membumi, pelaksanaan program kurang menyentuh rasa tanggung jawab masyarakat. Untuk itu, sebuah program dapat dilanjutkan dengan harus betul-betul bisa diawasi dan dimonitor ketat seperti halnya program ABB dapat terintegrasi dengan program penghijauan. Sebab, tumpang tindih berbagai kepentingan kekuatan pemodal telah memorak-porandakan lingkungan fisik maupun sosial di kota-kota besar termasuk Kota Bandar Lampung.

Bandar Lampung dibuat pusing masalah seperti permukiman liar, pedagang kaki lima (PKL), kesemrawutan jalur pejalan kaki, pelestarian bangunan kuno, got pampat, dan banjir jika musim hujan. Hutan kota rusak dan bukit-bukit gundul. Semua permasalahan dan dampak yang mengiringi pembangunan dapat dieliminasi jika perasaan memiliki menjadi kesadaran kolektif.

Fakta-fakta tersebut mempertegas tudingan Castells (1977) yang menyebutkan lemahnya kontrol sosial menjadikan kota-kota besar ajang kenduri para pemilik modal dan birokrat. Ketiadaan kepastian hukum, keteladanan, dan kealpaan melibatkan warga masyarakat, membawa ke arah sejenis penyakit skizofrenia.

Sebagai catatan akhir, tidak ada ruginya pemerintah Kota Bandar Lampung mendengarkan kritikan dari para pengamat bahwa kegagalan ABB perlu digunakan sebagai sarana introspeksi diri. Sudahkan pengelola kota yang diamati rakyat ini memperhatikan bentangan masalah yang disampaikan sejak awal tulisan ini. Jika jawabannya sudah, kemungkinan besar memang seluruh warga Kota Bandar Lampung mengidap skizofrenia. Benar-benar gila!

Dimuat di Lampung Post, Senin, 11 September 2006

No comments: