Monday, December 1, 2008

APBD dan Pencuri (yang Merasa) Terhormat

Oleh Y. Wibowo
Direktur Utama CAKRA Institute

SI Mamad, seorang pegawai perpustakaan, karena terpepet keadaan tersebab istrinya akan melahirkan anaknya yang kelima, ia terpaksa mencuri. Curiannya itu beberapa rim kertas HVS dan kertas karbon. Pencurian yang tidak diketahui orang, termasuk bosnya itu semula tidak menimbulkan perasaan apa pun pada diri Mamad. Namun, rasa bersalah dan rasa berdosa akhirnya muncul juga di ujung penyesalannya. Ia pun mengakui tindakan mencurinya di depan si bos dan siap menanggung hukuman apa pun.

Yang aneh, si bos yang kaya raya itu tidak menganggap Mamad bersalah. Apalah artinya beberapa rim kertas itu baginya? Sebab itu, ia menolak permintaan maaf Mamad. Dari peristiwa itu justru Mamad yang terus dikejar rasa bersalah dan rasa berdosa. Mamad terus berjuang minta maaf kepada sang bos. Namun, berkali-kali bosnya menolak. Mamad sedih. Terpukul. Ia akhirnya jatuh sakit. Dan mati.

Bagi si Mamad, tindakan mencuri yang dilakukannya telah membuat ia tidak terhormat, baik dalam peran sosial maupun dalam eksistensinya sebagai manusia. Kisah di atas diilhami salah satu cerpen karya Anton Chekov yang kemudian digubah dalam sebuah film oleh salah satu sineas papan atas Indonesia, Sumandjaya (5 Agustus 1933--19 Juli 1985). Si Mamad (1973), yang diperankan Mang Udel. Andaikata Mamad mau bermental baja dan cuek atas korupsi yang dilakukan, bisa jadi ia tidak mengidap stres yang berakhir sakit dan kematian.

Akan tetapi, justru dengan kematian si Mamad, kisah tersebut dapat menggedor nurani bahwa kejujuran itu mahal harganya dan punya tempat di rongga hati nurani manusia. Sosok si Mamad jika mau diakui memang telah berhasil menghadirkan cermin jernih kejujuran. Kejujuran yang kian hari menjadi barang langka dalam kehidupan kita di era otonomi daerah yang kian gencar sedang berlangsung.

Memang, sejak konsep otonomi daerah (otda) yang diarsiteki Prof Dr. Ryaas Rasyid digulirkan, kemudian muncul semacam euforia pada orang daerah. Para pimpinan kabupaten dan kota ibaratnya seperti kuda lepas kandang. Mereka pun diibaratkan sebagai "raja-raja kecil" yang tak lagi tunduk pada gubernur atau bahkan pemerintah pusat seperti pada masa-masa sebelumnya. Sedangkan para anggota legislatif yang tidak lagi sekadar stempel legalitas pemilihan pimpinan daerah, taringnya menjadi begitu tajam mengontrol eksekutif sekaligus tajam juga menggerogoti anggarannya.

Maka korupsi mewabah dan akar dari persoalan korupsi adalah pemahaman (yang telah mendarah-daging) bahwa kekuasaan identik dengan diri sendiri, bukan sistem yang dibangun guna mendistribusikan peran atau sistem yang dirangsang menumbuhkan partisipasi yang mendorong pihak yang dipimpin memiliki eksistensi yang lebih tinggi (tercapainya kesejahteraan lahir-batin). Karena pemahaman yang sengaja dipahami keliru itu, pelaku kekuasaan cenderung membangun ukuran nilai atas kekuasaannya secara subjektif: Apa yang dianggapnya benar selalu dipaksakan untuk diakui kebenarannya oleh pihak yang dipimpin (pihak yang dikuasai). Pemimpin/pelaku kekuasaan menjadi otoritatif atas kebenaran kolektif. Akibatnya, kekuasaan pun berjalan dan menjadi manupulatif, tanpa koreksi, tanpa kontrol.

Untuk urusan kehormatan, di zaman yang profan, sumpek bin pengap atas nilai-nilai moral yang terkesan klise kini, harapannya itu hadir dengan sosok Mamad. Jika saja pelaku korupsi seperti si Mamad, barangkali penyakit sosial yang bernama kolusi, korupsi, dan nepotisme tidak meruyak menjelma wabah budaya di masayarakat kita.

Akan tetapi, renungan si Mamad kembali mencuat dibenak saya ketika dalam prakteknya, di paro terakhir bulan ini, rumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menentukan arah dan anggaran tahun 2008 dirumuskan. Banyak kalangan yang bersikap pasif dan acuh tak acuh. Berbagai elemen masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, ormas & orsos lain yang pada awal-awal reformasi begitu gempita mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, kini diam.

Dan, pemimpin/pelaku kekuasaan yang merasa paling benar itu kemudian menggunakan semua otoritasnya untuk memonopoli setiap peluang/akses, baik secara eksistensial maupun material yang sesungguhnya menjadi hak publik. Dengan topeng otoritasnya itu, dalam pembahasan APBD kini pun tak lepas dari wacana bahwa eksekutif maupun legislatif menjelma pencuri, maling, yang secara sistemik menjalankan pencurian atas hak-hak publik, dan (tetap) merasa terhormat.

Menengarai "drama" pembahasan kebijakan umum anggaran (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) Provinsi Lampung TA 2008, harian ini menurunkan berita dengan judul: "Anggaran Naik Rp10 M". Sebuah kabar yang terkadang terkesan sensasional. Tidak tanggung-tanggung, dalam memorandum of understanding (MoU) antara DPRD dan Pemprov Lampung memberikan tambahan delapan item, sehingga total keseluruhan dari jumlah belanja Rp1.720 miliar menjadi Rp1.730 miliar. Dan yang paling fenomenal, pembahasan itu berlangsung hanya dalam hitungan hari.

"Drama" MoU antara DPRD dan Pemprov Lampung, mungkin yang terbaik untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dalam pembangunan, akan tetapi peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran dan membuka peluang KKN menjadi mungkin. Pernyataan tentang peluang korupsi seakan kita diamkan, dan imbauan pemberantasan KKN pun kian hambar dan getir karena seperti selama ini, bisa jadi tidak akan menimbulkan efek mendalam bagi kebayakan koruptor.

Karena potret daerah ini telah kehilangan ukuran moral dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Siapa pun penguasa itu, cenderung menganggap korupsi sebagai keniscayaan untuk mencapai kejayaan. Dan dengan kejayaan tersebut, orang menjadi "merasa terhormat". Dalam situasi itu orang merasa tidak bersalah (apalagi merasa berdosa) ketika mewujudkan cita-citanya untuk korupsi.

Akan tetapi, masih ada peluang mengantisipasi peluang KKN dan untuk berbenah, jika saja para pemimpin kita baik di eksekutif dan legislatif mau merenungkan sejenak bahwa apa yang telah dirumuskannya akan mencipta rangkaian daftar dosa, dan akan menjerumuskan arah pembangunan.

Lemahnya sistem kontrol atas kekuasaan dan makin menguatnya kultur korupsi telah mengembangbiakkan koruptor atau menumbuhsuburkan cita-cita untuk menjadi koruptor. Dalam konteks jabatan/peran sosisal misalnya, seorang lurah, camat, bupati, walikota hingga gubernur harus membeli jabatan itu dengan harga tinggi, ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Otomatis saat berkuasa, horizon harapan yang bertama kali muncul adalah upaya mereka untuk "balik modal", sehingga tak terhindarkan bagi mereka untuk melakukan berbagai penyimpangan dalam menjalankan kekuasaannya. Setelah itu, horizon harapan kedua yang muncul adalah bagaimana membuat hidup mereka di atas sejahtera. Celakanya, ukuran hidup sejahtera itu amat relatif/subjektif dan tidak pernah jelas. Sebab itu, para pelaku kekuasaan cenderung merasa hidupnya "selalu tidak sejahtera", meski ratusan juta bahkan miliaran rupiah ngendon dalam depositonya. Akhirnya, diam-diam, anggapan "hidup tidak pernah merasa cukup" menjadi semacam "ideologi" para pelaku kekuasaan yang menyimpang.

Setidaknya, "ideologi hidup tak pernah merasa cukup" itu banyak dipeluk pelaku kekuasaan. "ideologi: Hidup tak pernah merasa cukup itu" laku luar biasa dan banyak umatnya. Para pelaku kekuasaan, baik individual maupun kolektif, merasa berdosa kalau tidak nyolong.

Colong-mencolong telah menjadi tradisi "luhur", hingga secara otomatis "dilestarikan" para pelaku kekuasaan secara bergantian. Para pelaku kekuasaan yang kamarin mengutuk praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme penguasa sebelumnya, tanpa malu melakukan hal yang sama. Perebutan kekuasaan akhirnya hanya bermakna, bagaimana mendapatkan peluang untuk nyolong duit rakyat.

Hal ini bukan tidak mungkin terus berlangsung pada setiap terjadi perubahan penguasa (bukan perubahan system kekuasaan) dan pembahasan anggaran pembangunan rakyat. Penguasa terus berubah, para aktor kekuasaan terus berganti, tetapi kehadiran mereka cenderung hanya untuk melestarikan tradisi korupsi.

Sebuah tradisi budaya korupsi yang diam-diam telah menjadi "ajaran moral luhur", bukan tidak mungkin akan mengubah cara berpikir dan orientasi hidup generasi mendatang. Jika mereka ditanya soal cita-cita, jawabannya bukan lagi klise seperti menjadi dokter, insinyur, atau menjadi pilot, melainkan menjadi anggota DPR atau menjadi kepala dinas sebuah instansi untuk kemudian korupsi dan bisa kaya mendadak.

Marilah kita teriak antikorupsi, sambil diam-diam nyolongi duit rakyat. Bukankah, kita sudah amat terlatih menjadi hipokrit? Sementara di lain sisi, kita juga merindukan kejujuran (hati nurani) sosok macam si Mamad. Orang yang rela dan ikhlas mengaku dirinya pencuri, dan siap menerima segala risiko moral maupun yuridis.

Bagaimanapun, hari ini dengan telah dirumuskannya anggaran untuk rakyat oleh wakil-wakilnya, para pemimpin telah merasa meraih "kehormatan", sebuah nilai hidup paradoksal dalam meniti kenyataan hidupnya. Hal ini akan terbukti jika koruptor tidak mendapat ganjaran yuridis yang semestinya.

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007

No comments: