Monday, December 1, 2008

Urbanisasi Perkembangan Kota

Oleh Yatno Wibowo
Arsitek

BENARKAH pertumbuhan rumah toko (ruko) yang menjamur di kawasan Kota Bandar Lampung sebagai pertanda bahwa perdagangan dan jasa telah menjadi identitas? Pengembangan sentra ekonomi tak terlepas konteksnya khusus kepada layanan urban.

Dari masalah tersebut, kita menangkap maksud yang cukup strategis, terutama dalam pengembangan Bandar Lampung, yaitu pentingnya pengembangan sentra-sentra layanan urban justru merebak di jalur-jalur protokol kota kemudian mendorong pengembangan perekonomian masyarakat.

Jika dilihat dari sudut perkembangan perkotaan (baca: Bandar Lampung) mengalami suatu kemajuan yang cukup signifikan, terutama dengan munculnya sentra-sentra layanan urban tersebut. Terlepas dari proses adaptasinya, perkembangan perkotaan merupakan realitas yang amat strategis dalam kerangka perkembangan perkotaan--yang diharapkan memunculkan sentra-sentra layanan urban dengan tetap mengedepankan potensi lokal--terutama dalam kerangka merangsang tumbuhnya sentra-sentra industri baru dari berbagai potensi lokal yang dimiliki; bukan sebaliknya mengabaikan potensi lokal sehingga akan melahirkan problematika pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.

Berdasarkan asumsi tersebut, melalui tulisan ini akan diketengahkan telaah berkaitan masalah bagaimana pembangunan perkotaan yang bertitik tolak dari pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan suatu strategi perencanaan yang berbasis lokal kultur melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal?

Selanjutnya, perlu diuraikan pokok masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan, guna menjadi referensi dalam upaya mengembangkan konsep perencanaan strategis yang berbasis lokal kultur, melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal.

Urbanisasi

Kota Bandar Lampung merupakan satu-satunya wilayah di Lampung yang seluruhnya merupakan daerah perkotaan. Gambaran umum tentang kota suatu realitas di mana sebagian besar penghuninya mempunyai tingkat penghidupan di bawah standar. Hal ini bila mengacu pada survei PBB terhadap 53 kota besar di dunia yang menunjukkan lebih dari separo penduduk (54%) tinggal di rumah-rumah kumuh.

Tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 34,30% berdasarkan Susenas 1990. Lembaga Demografi UI Jakarta (1994) memproyeksikan tingkat urbanisasi tersebut akan mengalami kenaikan hingga mencapai 41,80% pada tahun 2000 dan 46% (102,5 juta jiwa) pada 2005.

Angka-angka tersebut menjadi landasan mengasumsikan bahwa tingkat kehidupan di bawah standar maupun tingkat urbanisasi yang relatif tinggi setiap tahunnya terjadi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Kota Bandar Lampung. Di mana fenomena tersebut dapat dipastikan akan berimplikasi timbulnya berbagai masalah di perkotaan.

Saat ini kota-kota di negara berkembang (termasuk Indonesia) tengah bergulat mengatasi kemiskinan di antara berbagai praktek penumpukan kekayaan di kota. Kota-kota juga berjuang mereformasi permukiman kumuh, persis di mana segala macam bentuk kemewahan ditawarkan: Kesehatan, pendidikan, transportasi, dan komunikasi. Tapi di kota pula, berbagai penyakit sosial justru menggambarkan beragam masalah: kepadatan penduduk, alienasi (keterasingan), kriminalitas, keresahan sosial, pencemaran, dan lain sebagainya.

Urbanisasi terjadi bukan karena meningkatnya permintaan tenaga kerja sektor industri di perkotaan terhadap tenaga kerja pertanian di perdesaan. Namun, karena tekanan hidup yang di desa memaksa penduduk bermigrasi ke kota.

Dengan kata lain, proses urbanisasi tidak melewati fase industri, tapi langsung menuju sektor informal. Urbanisasi jenis ini menimbulkan berbagai masalah kota yang sangat rumit. Misal, bagaimana menghentikan laju urbanisasi, dan dengan cara bagaimana mesti dilakukan?

Ironisnya, semakin banyak digulirkan berbagai kebijakan, justru sebanyak itu pula urbanisasi, pengangguran, dan krisis perkotaan melaju. Sering kali kebijakan yang diambil justeru merugikan.

Kaum urban pinggiran adalah komunitas yang aspirasi politik dan hak hidupnya terdesak oleh rangkaian represi modal dan pilihan kebijakan yang tidak memihak kepadanya. Dengan demikian, masalah urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan, terlampau naif jika hanya diselesaikan dengan pendekatan ekonomi belaka.

Basis Lokal Kultur

Seiring dengan era transisi demokrasi yang tengah bergulir di dalam kehidupan sosial politik, gejala kebangkitan local culture dengan titik tolak pengembangan partisipasi masyarakat lokal tumbuh sebagai respons positif atas perubahan sosial yang sedang terjadi.

Realitas ini sekaligus menjadi alat koreksi atas strategi pembangunan yang selama ini dirasa tidak memberikan ruang terhadap tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal tersebut.

Dalam konteks perkembangan kota, perlu dilakukan perencanaan ulang terhadap kebijakan perkotaan dengan melibatkan berbagai potensi masyarakat lokal secara partisipatif. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa masalah yang paling rumit di perkotaan adalah tingginya laju urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan dengan berbagai bentuk masalah lainnya yang tak kunjung teratasi.

Di mana problematika itu justru tumbuh akibat dari kebijakan pembangunan yang lebih bersifat elitis, melalui represi modal maupun kebijakan yang tidak memihak sektor masyarakat lokal.

Pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan menitikberatkan pada strategi pembangunan perkotaan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal, diharapkan mampu mengatasi sekaligus mengantisipasi laju urbanisasi yang tidak terkendali, juga mengatasi ledakan pengangguran maupun krisis perkotaan yang memunculkan kantong-kantong kemiskinan baru.

Strategi ini mengisyaratkan berbagai potensi lokal yang dimiliki masyarakat mesti diposisikan sebagai basis pengembangan perkotaan. Ruang-ruang bagi tumbuhnya sentra industri masyarakat lokal (home industry dan industri kecil menengah) harus dibuka melalui regulasi perkotaan yang secara strategis berpihak pada sektor-sektor lokal.

Strategi ini sekaligus akan menyambung mata rantai urbanisasi yang terputus selama ini, sehingga proses urbanisasi tumbuh melalui perkembangan sektor industri, bukan langsung ke sektor informal.

Selain itu, regulasi pengembangan perkotaan harus pula memperhatikan aspek-aspek ekologis dan berbagai potensi lokal perdesaan. Tidak semua area strategis bagi pengembangan sektor agrarian diambil alih untuk dan atas nama pengembangan wilayah perkotaan. Pada aspek lain penting pula dipikirkan identitas yang khas sebagai brand image suatu wilayah perkotaan, hal ini sangat terkait dengan upaya pengembangan kota wisata di masa mendatang.

Dimuat di Lampung Post, Selasa, 12 Desember 2006

No comments: