Monday, December 1, 2008

Media dalam Cermin Dinamika Global

Oleh Y. Wibowo
Editor pada Penerbit Matakata, Lampung.

MEDIA, baik cetak maupun elektronik, sebagai sesuatu yang embedded dalam arus globalisasi membawa implikasi besar bagi perubahan perilaku dan gaya hidup (life style) individu, kelompok dan atau masyarakat dunia. Mengaitkan media dengan budaya tidak bisa terlepas dari persoalan globalisasi dan integrasi pasar dunia karena perwajahan media akan sangat ditentukan pergeseran isu-isu globalisasi dan kepentingan kapital.

Dalam kontek Indonesia, perubahan perwajahan media dengan mudah kita ditelusuri. Pada era Orde Baru secara jelas kita melihat perwajahan dunia (khususnya) media massa sangat didominasi kekuatan negara. Pada era reformasi, ada angin segar bagi kebebasan media massa dalam menyampaikan berita dan informasi bagi publik.

Tetapi, perubahan yang terjadi dalam perwajahan dunia media massa dengan kebebasannya dalam analisis, dilihat sebagai bagian yang tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme global, yang bersumber pada kaidah-kaidah neoliberalisme, dengan memiliki muatan kepentingan pasar global (libralisasi ekonomi global) di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Di balik kebebasan dunia media massa dan banyaknya institusi media bermunculan, tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses-proses demokratisasi di Indonesia. Satu sisi, institusi media massa sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal terbebas dari kekangan rezim penguasa.

Sisi lain, tampak pada perkembangannya pers makin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses alami akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditas informasi.

Dalam masyarakat kapitalisme global atau disebut juga masyarakat konsumer, terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produsen serta kekuasaan media massa. Bagaimana mereka memanfaatkan dan menggunakan televisi sebagai media menyampaikan pesan-pesan atau propagandanya kekonsumen mereka di seluruh dunia demi kepentingan sendiri tanpa memedulikan apa dan bagaimana nanti dampaknya.

Menghadapai dominasi dan infiltrasi kekuatan pasar dalam kehidupan pers adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi kesadaran kritis; keberlangsungan institusi media sangat ditentukan pelaku ekonomi melalui iklan atau promosi lainnya. Persoalannya adalah bagaimana kepentingan pelaku pasar dalam industri media massa itu dibarengi dengan apa yang dikonseptualisasikan Habermas; ketersediaan public sphere sebagai ideal type (kawasan publik atau ruang publik) dalam kebijakan pengelolaan industri media massa. Dalam implementasi ke dalam tindakan adalah bagaimana tindakan rasional dengan maksud instrumental yang dibimbing technical rules dengan tujuan maximizing expected utilities dan tindakan rasional.

***

Seiring terbitnya Majalah Playboy, perdebatan berkaitan apakah benar media massa mampu memengaruhi perilaku dan seberapa besar pengaruhnya masih menjadi diskursus. Pada sisi prespektif yang mengatakan media massa memiliki pengaruh besar bagi terjadinya perubahan perilaku individu adalah landasan argumentasi yang melihat media massa sebagai kekuatan perubahan seperti dikemukakan Dennis McQuil dengan menunjukkan model reaksi individu terhadap efek media, dengan mengacu penjelasannya pada model stimulus-respons (S-R).

Tetapi, pendapat ini banyak dibantah karena meragukan respons terhadap stimulus individu akaibat pesan yang dikirim media atau sebab lain. Hal ini berdasarkan kenyataan individu bukanlah kotak kosong yang hanya memiliki satu pesan dari media.

Individu hidup dalam struktur penuh berbagai informasi. Bantahan terhadap argumentasi model S-R itu datang dari James Curren yang menempatkan komunikan pada posisi otonom dengan menekankan media massa bukan determinan dalam konstruksi makna.

Masyarakat memiliki kebebasan memilih dan menentukan sehingga pemirsa dapat mereduksi dominasi kekuasaan media massa. Namun, masyarakat tetap percaya bahwa respon individu tersebut dipengaruhi pesan media sebagai bagian instrumen konstruksi sosial masyarakat.

Dalam hal media massa sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution), dan sebagai lembaga kemasyarakatan media massa merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan demikian, media massa tidak hidup secara mandiri, tetapi memengaruhi dan dipengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.

Apabila kita memahami media massa sebagai bagian subsistem yang ada di masyarakat, proses interaksi dan saling memengaruhi antarsubsistem yang ada (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) akan terjadi karena keberadaan dan posisi media massa bukan semata pada relung kosong atau hampa.

Sebab itu, dalam menjalankan fungsinya media massa harus memberikan keseimbangan pada tataran informasi, pendidikan, menghibur, dan memengaruhi. Korelasi idealisme media massa itu akan berkait dengan bagaimana keempat fungsi dijalankan.

Karena dalam implementasi kerjanya, media massa memiliki minimal tiga tanggung jawab mendasar, yakni 1). Tanggung jawab sosial (social responsibility), 2). Tanggung jawab nasional (national responsibility) dan, 3). Tanggung jawab individual (individual responsibility).

Berangkat dari media massa dengan kemunculannya sebagai sebuah keniscayaan sejarah, yang menjadi titik krusial adalah bagaimana perkembangan teknologi informasi dan institusi media sebagai bagian yang terlahir dalam rasionalitas instrumental hendaknya dapat beriringan dengan kemunculan ruang partisipasi, sehingga publik memiliki ruang publik sebagai upaya ikut mewarnai dinamika kehidupan media massa.

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 4 Mei 2006

No comments: