Monday, December 1, 2008

Reproduksi Kekuasaan dan Masyarakat yang Acuh tak Acuh

Oleh Y. Wibowo
Penyair, berdialektik pada Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

ADA kebingungan dan kegelisahan yang nyaris berujung pada frustrasi akan rasa kepercayaan masyarakat dalam menyikapi krisis kepemimpinan di Lampung. "Kekacauan" proses yang berlarut-larut itu menghadapkan kita pada kenyataan yang sumir, dimulai dengan pemilihan gubernur yang kontroversial hingga puncaknya, perseteruan Gubernur dan DPRD Lampung yang tidak mengakui Sjachroedin Z.P. sebagai gubernur (SK No. 15/2005 tentang Pernyataan Pendapat DPRD Lampung terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 437/TUN/2004).

Atas fenomena semacam "gajah bertarung, gading retak dan berserak di mana-mana", saya merasa berada dalam situasi yang kemudian bisa terjerembap pada anasir hukum tentang benar-salah atau merujuk pada segregasi etik bersikap moralisnya para begawan sosial-politik. Untuk itu saya lebih memilih berada pada posisi terlelap dalam buaian postulat Joan Baudrillard, "Kekuasaan dengan sendirinya mereproduksi diri melalui berbagai hubungan."

***

Para elite politik kita di Negarabatin tampak masih kukuh pada keyakinan masing-masing dan terlihat ogah-ogahan dalam berinisiatif mengakhiri konflik kepemimpinan yang berlangsung. Konflik kepemimpinan itu pada hematnya bermuara pada legitimasi kepemimpinan yang demokratis. Sementara pemerintahan di Jakarta dengan wataknya yang ambigu terlihat mengambangkan keputusan secara diplomatis.

Tentu, mereka semua masih saja bertikai dan tidak bertemu melakukan kesepakatan-kesepakatan yang jelas bagaimana membangun jalan demokrasi. Hal ini terjadi karena memang elite politik kita berangkat dari kekuatan kelompok tertentu atau dari partai politik yang berbeda-beda. Ini sebenarnya ideal demokrasi dalam sebuah kepemimpinan multipartai.

Demokrasi memang dipenuhi jalan terjal yang berliku, bukan saja ketidaksediaan para elite mewujudkan demokrasi, tapi dalam situasi demokrasi guna mewujudkan kepemimpinan yang demokratis, pro-kontra bisa menciptakan sistem yang kontraproduktif. Hal ini diilustrasikan cukup apik Jack Snyder, penulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, 2000, yang menyangsikan jika proses demokrasi dapat membawa arah perubahan masyarakat damai dan sejahtera.

Prinsipnya, sejarah menunjukkan demokratisasi, tepatnya masa transisi ke arah demokrasi, sering menimbulkan perang, SARA, bahkan disintegrasi negara-bangsa, lalu demokrasi dan perdamaian dapat terpelihara jika antar-kepemimpinan yang memiliki watak demokrasinya sudah matang.

Hal ini ditilik secara populer nasionalisme mencakup banyak gejala, seperti kerusuhan etnis, patriotisme, perjuangan damai kelompok budaya guna mencapai hak-hak khusus. Dalam perubahan pengertian demokrasi juga mesti jelas, antara "demokrasi yang matang" (mature democracies) dan "yang sedang demokratisasi" (democratizing states). Dalam kepemimpinan dan pemerintahan yang matang, termasuk kebijakan politik diputuskan pejabat yang diangkat berdasarkan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Dan kesemuanya harus didahului dengan kebebasan, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul. Prinsip dasar ini harus dihargai bersama antarberbagai kelompok kepentingan.

Terlebih jika kita merujuk pada pemahaman dan makna demokrasi yang cenderung kita angggap klasik dan klise tentang makna dasar demokrasi, yaitu "demos" = rakyat, "kratos/kratein" = berkuasa. Artinya "rakyat berkuasa" atau government of rule by the people, and for the people. Itulah inti demokrasi yang dalam prakteknya ada sejak zaman Yunani kuno, yakni ketika Kleistenes mereformasi sistem pemerintahan tahun 508 SM.

Jika dilihat dari sejarahnya, sejak dulu aktualisasi demokrasi itu murni berupa metode (cara), alat, dan proses (bukan tujuan) menciptakan perdamaian. Sebagai cara, alat, atau proses dalam aktualisasinya demokrasi menjadi kasatmata, bisa diukur, dan menyangkut kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana dengan demokrasi kita di Lampung? Bung Hatta, Sang Proklamator kita pernah menyebut krisis demokrasi atau demokrasi dalam keadaan krisis sebagai "Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarkhi, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besar dari sejarah dunia! Demokrasi dapat berjalan baik, apabila rasa tanggung jawab dan toleransi ada pada pemimpin-pemimpin politik."

Ketidaksediaan para elite politik kita untuk berkompromi politik, jelas menandakan frustrasi elite setelah berkali-kali mereka bertatap muka, tetapi hasilnya tidak ada. Alih-alih pertikaian di antara mereka terus saja berlangsung, dan kondisinya sudah sedemikian rupa parahnya.

Melihat perseteruan elite politik itu, ada dua sisi yang bisa ditengarai sebagai "jalan buntu". Pertama, ketika pemerintahan berlangsung, demokrasi memerlukan kesepakatan para elite untuk memilih dan menentukan arah demokrasi yang akan dibangun. Hal ini selain sebagai pertanggungjawaban jabatan politis, juga bentuk amanah konstituen/masyarakat yang memercayakan kepemimpinannya. Dalam konteks ini, menilik dari kronologis pemilihan ulang gubernur (M. Alzier Dianis Thabranie) terpilih, kemudian ada desakan menyelenggarakan pemilihan gubernur ulang, jelas terjadi pengingkaran kesepakatan politik yang kemudian menjadi benang kusut babak pertama dalam kepemimpinan (elite politik) yang demokratis.

Kedua, adanya egoisme politik yang tengah berkecamuk di dada para elite kini. Hal ini bersumber pada agenda kepentingan masing-masing kekuatan politik, dampak proses benturan berbagai kepentingan ini bisa berakibat fatal untuk saling tuding dan menyalahkan; siapa yang harus bertanggung jawab atas dosa-dosa politik kini. Kesemua itu wujud dari tidak sadarnya mereka terhadap realitas politik di bawah, yang sebenarnya disulut pertikaian mereka sendiri. Maka jangan lagi disalahkan jika egoisme politik terus merambat pada rasa kepercayaan masyarakat yang tidak lagi memercayai para elitenya. Dengan kata lain, benang kusut babak kedua, masyarakat kehilangan pemimpin yang patut diteladani untuk kemudian masyarakat bersikap apatis.

Situasi macam ini jelas memengaruhi besar masyarakat. Siapakah pemimpin yang dapat dipercaya? Padahal, masyarakat paternalistik yang masih kuat melekat pada bangsa kita senantiasa memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal. Legitimasi kepemimpinan yang demokratis turun akibat ketidakmampuan mereka menyatukan agenda yang visioner. Pada gilirannya, kebebasan politik yang dimliki masyarakat akan menimbulkan kritik terbuka terhadap pemimpin, sehingga membangun opini jelek kepada mereka sebagai pemimpin yang gagal.

Di sinilah pentingnya mencari pemimpinan yang mendapat legitimasi demokratis. Dengan kondisi masyarakat yang apatis, kesepakatan-kesepakatan elite politik sebagai bentuk konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) mestinya dilaksanakan taktis. Dus, upaya "penyegaran kepemimpinan" sebagai solusi atas ambruknya legitimasi pemimpin yang demokratis terlihat sebagai kebutuhan mendasar.

Dan, jika kepemimpinan adalah sosok karteker yang ditunjuk Mendagri atas nama Presiden, yang harus diingat adalah legitimasi masyarakat Lampung atas pemimpinnya. Meskipun pemerintahan memang harus diamankan dari pengaruh-pengaruh dinamika politik dalam sistem demokrasi (Syarief Makhya, Lampung Post, 16 Januari 2006).

Bisa jadi (dalam konteks ini) demokrasi akan banyak dikritik. Sayang, jika kritik yang umumnya terlontar bukannya menjadikan demokrasi makin baik, malah menjadi absurd. Sebab, demokrasi dan kepemimpinan adalah persoalan publik yang mesti transparan dan bukan persoalan privat yang penuh teka-teki. Dan pertanggungjawaban kepemimpinan yang demokratis ada pada kehidupan bersama: Dari, oleh, dan untuk Rakyat!

Secara realistis, kepemimpinan yang demokratis bukan berdasar "garis tangan" atau "wahyu keprabon", tetapi dipilih dan ditentukan rakyat. Sebab itu, para elite politik harus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan politik tentang bagaimana mewujudkan pemimpin yang mendapat legitimasi demokrasi. Kesepakatan-kesepakatan itu bisa berasal konsolidasi demokrasi atas pengalaman sejarah, komposisi sosial-etnik, struktur ekonomi, dan konteks nasional. Semuanya ini untuk memberikan dan menentukan sendiri warna dan corak yang khas bagi demokrasi rakyat Lampung.

Dimuat di Lampung Post, Rabu, 25 Januari 2006

No comments: