Monday, December 1, 2008

Wajah Kota dan Politik Identitas

Oleh Y. Wibowo
Arsitek, menetap di Lampung

KOTA merupakan arena pergaulan antarberbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Misalnya, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan harapan dan kepentingan warganya.

Daftarnya bisa panjang. Sementara itu, tanpa menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan identitas diri perlahan menguap lenyap tanpa disadari.

Akan halnya wajah kota dan anggapan bahwa desainlah yang dipertaruhkan habis-habisan, sekarang ini baru mempersoalkan satu atau dua aspek saja dari struktur atau bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya. Misalnya, sebagaimana umumnya aktivitas masyarakat urban, wajah kota modern memang harus manusiawi, selain juga harus menjunjung tinggi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan (tentu saja) berwawasan lingkungan.

Pada prinsipnya, rencana pengembangan kota selalu bertujuan melindungi dan melayani masyarakat luas.

Sebab itu, seluruh kota modern di dunia selalu mengusung spirit manusiawi dan berwawasan lingkungan dalam setiap rencana pengembangan kotanya. Meskipun kepadatan di kota dengan mitosnya tentang kesempatan dan keragaman, kumpulan energi dan massa rakyatnya meningkatkan kekotaannya, paling tidak dalam persepsi rakyatnya, sekaligus menghancurkannya sebagai lingkungan hidup.

Transformasi budaya pada sebagian besar kota-kota di Indonesia terlihat bahwa wajah kota hanya alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan, belum sebagai pembentuk pikiran, sebagai pandangan dunia.

Jika kita pergi sejenak ke kota-kota di belahan lain dunia, dalam sepuluh tahun terakhir ini banyak dibicarakan ihwal kota-kota metropolis, megalopolis (di negara maju) yang segalanya serbateknologi tinggi. Di sini mereka mempersoalkan desain dengan menghasut bentuk-bentuk berskala besar. Cara-cara seperti ini, sejauh ini, tidak ditemukan dalam kota-kota di Indonesia.

Mengapa kita belum sampai tahap itu?

Tampaknya memang ada yang problematik dalam cara kita memandang kota. Di pihak lain, ada semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta di jagat perencana dan perangcang kota kita dari masa ke masa.

Pernyataan ini rupanya bisa dibantah karya-karya yang cukup besar di masa silam yang bisa dianggap sebagai adikarya, seperti terungkap dalam kajiannya J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah lain di nusantara yang ternyata tidak cuma menunjukkan dominannya pemikiran indrawi.

Ada struktur yang cukup canggih dan rumit di Kasultanan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada kesederhanaan yang agung di perkampungan tradisional Nias, pun tak ayal bersahajanya tatanan Kampung Tua.

Yang sekarang menjadi persoalan adalah kenapa tradisi pemikiran yang telah menghasilakn struktur yang canggih dan rumit ini terpotong di zaman kita sekarang? Barangkali penyebabnya ada di politik kota yang sangat ambigu: Antara keinginan "setengah hati" menonjolkan spirit nasoinalisme dan ketakberdayaan atas gempuran urban desain dengan cirinya yang efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung kapitalisme global.

Akibat buruk yang tak pernah kita sadari ialah bahwa kita kemudian terpotong dari masa silam kita sendiri karena desain-desain dengan spirit lokal tidak lagi dipromosikan untuk dipakai dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah: Desain yang kita impor dari bangsa antah berantah.

Keterputusan tradisi juga telah mengakibatkan khazanah lokal yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi dasar penciptaan karya-karya sekarang. Karena kita tidak punya dasar tradisi untuk penciptaan wajah kota kini, di sisi lain kita tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada di luar sana.

Mutu karya wajah kota kita memang sangat merosot, bukan hanya dibandingkan dengan karya di luar sana, melainkan juga dengan tradisi yang terjadi di masa silam. Upaya mengarahkan sumber daya dan tenaga ke arah pencarian "identitas diri" sejak awal mestinya disadari bersama, seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang seharusnya menganggap hal demikian adalah tugas mulainya.

Kemudian, dalam upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi dapat dimulai dengan menyosialisasikan gagasannya dengan melibatkan para klien penting generasi saat ini, seperti kantor pemerintah daerah (kantor gubernur atau kantor bupati), universitas negeri setempat, dan juga hotel-hotel yang programnya lebih menekankan pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi turisme.

Dengan menempa sebentuk regionalisme tradisi harus atau tidaknya bersandar kepada argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah semangat zaman (zeitgeist) dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan betah kita.

Sebab, "suara yang lain" memang telah dianggap menyatakan semangat zaman yang begitu menekankan keragaman subjektivitas yang kreatif. Akan tetapi, saat sekarang juga kita perlu bertanya apakah genius loci dalam berbagai bentuk mutakhir tidak malah menjemukan karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan kemiskinan dalam menanggapi tantangan zaman.

Kebanyakan karya arsitektur menjadi prestasi sejarah karena menjawab persoalan waktunya sebagai tantangan bentuk, sedangkan persoalan tempat hanya merupakan tantangan programatik. Arsitektur yang demikian menciptakan, bukan mengikuti tempat.

Dengan kata lain, arsitektur yang terbukti oleh sejarah baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang kontemporer ketika diciptakan. Beberapa karya arsitektur bahkan ada yang terasa lebih kontemporer justru setelah lebih dari setengah abad berdiri, sedangkan pada saat diciptakan ia mengesankan futuristik.

Kekinian memang mempunyai kekuatan mengakomodasi masa depan yang lebih panjang. Sedangkan subjek, dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan.

Polemik demikian terasa kian kita butuhkan sebagai resep dari para pengembang "buta" yang menyokong penguasa hanya untuk menangguk keuntungan sendiri dan golongannya.

Dimuat di Lampung Post, Selasa, 19 Desember 2006

No comments: