Wednesday, November 12, 2008

Risalah Identitas dalam Pembangunan Kota

Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, aktif di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

MENYIMAK rencana pembangunan monumen Siger yang masih berpusar dalam arus pro dan kontra, juga selain berbagai ragam bebat pertimbangan dan arti penting pembangunan monumen Siger yang disinyalir merupakan arsitektur berkarakter, pertanyaan mendasar yang kemudian muncul berkisar pada; mengapa konsep (politik) beridentitas sebegitu penting? Akan hal itu, saya mengenangkan komentar Peter Hall, "A city of parades and spectacles".

***

Di bawah terik lapangan Ikada, di hadapan sekelompok pemuda antusias, Bung Karno berpidato tentang mengapa Jakarta harus menjadi ibu kota Indonesia. "Harus Jakarta!" ujarnya. Bung Karno ingin Jakarta menjadi semacam "The beacon of new emerging forces". Bung Karno yang pada dasarnya ingin harga diri bangsa Indonesia terangkat dan bangkit setelah hancur dalam era kolonialisme, sempat memimpikan Jakarta sebagai yang terbesar dan termegah.

"Lihatlah New York atau Moskwa," katanya. Dan, kita pun tahu ke mana obsesi tersebut kemudian berlanjut. Tanah Senayan digerus dan 5.000 keluarga dipindahkan untuk pembangunan komplek stadion olahraga terbesar. Ruas Jalan Thamrin dan Semanggi dihamparkan sebagai koridor bisnis. Masjid Istiqlal dibangun sebagai yang termegah dan tugu Monas--yang laiknya tiang pancang dan monumental itu--pun ditegakkan menjadi yang terdepan.

Dan memang Jakarta bukanlah Surabaya yang kotanya orang Madura dan Jawa. Bukan pula Bandung. Sebab, sebesar-besarnya Bandung, itu adalah kota Sunda. Hanya Jakarta yang layak dikedepankan sebagai ibu kota dan etalase identitas bagi Indonesia baru. Lainnya hanyalah kota-kota daerah. City air makes you free, cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Struktur dan wajah kota pun bisa bercerita tentang kompleksitas persilangan identitas masyarakatnya. Yang paling mencolok sekaligus tak terasa adalah bagaimana kapitalisme mendeformasi struktur dan wajah kota berdasarkan strata kelas sosial. Kaum miskin biasanya tinggal di tempat kumuh dan sumpek, sementara kaum berpunya tinggal di lokasi-lokasi mahal dan berdensitas rendah.

Teori lokasi ini biasanya sebangun dengan strata sistem produksi ekonomi kapitalis yang dianutnya. Akibatnya konsep social mixed income & mixed density seperti di Bijlmermerr, Belanda, tahun 1992 atau kota-kota Skandinavia lainnya menjadi konsep yang terasa asing. Melipat ruang kota sebagai komoditas, gejala gated-community, dan suburbanisasi adalah jejak lazim kapitalisme dalam wajah kota.

Sementara itu, cara negara atau pemerintah memproduksi identitas kolektif melalui arsitektur atau desain urban seperti Soekarno, juga terjadi di Mesir pada era kepemimpinan Anwar Sadat. Dia terobsesi menampilkan identitas Kairo yang baru ke hadapan dunia. Dengan slogan open door policy atau infitah, Sadat menghancurkan dan mengusir belasan ribu jiwa dari jantung Kota Kairo untuk megaproyek tersebut atas nama modernisasi dan dolar turisme internasional.

Identitas kelompok berdasarkan ras dan etnis pun masih banyak ditemui dalam struktur kota yang seharusnya bersifat kosmopolitan. Dalam arsitektur modern penggambaran seperti Chinatown atau Pecinan adalah contoh identitas ras "kuning" yang hadir di banyak kota besar dunia. Litte India dan Arab Street di Singapura, Harlem untuk kulit hitam dan Little Italy untuk imigran Italia di Manhattan adalah contoh segregasi kota berdasarkan ras.

Lapisan identitas masyarakat berdasarkan gaya hidup atau orientasi seksual juga banyak terekam, seperti di Amerika atau Eropa. Kelompok dengan gaya hidup seniman atau bohemian bisa ditemukan di Distrik Soho di London, sementara Oxford Street di Sydney atau Distrik Castro di San Francisco dan berita terakhir sekarang menjadi lokasi komunitas terbesar dunia bagi kaum gay dan lesbian. Dan untuk mengklaim eksistensi identitas mereka, biasanya acara gay parade dijadikan ritual utama tahunan, terutama di San Francisco, Manhattan, dan Sydney sebagai agenda politik. Laiknya sebuah gerakan, feminisme pun tidak ketinggalan.

Jane Jacobs dan Dolores Hayden memotori gerakan moral mendefinisikan kota-kota Amerika yang cenderung berorientasi patriarkis. Jarangnya fasilitas penitipan anak, transportasi urban yang tidak nyaman bagi kaum hawa, dan desain urban yang tidak defensible menyebabkan banyak perempuan kesulitan beraktivitas produktif seperti halnya kaum lelaki. Di sisi lain, mereka juga menganggap suburbanisasi berhasil "membuang" kaum perempuan duduk mengurusi rumah tangga semata. Gerakan ini sempat menghentikan program urban renewal, membuat masyarakat mempertanyakan kembali konsep suburbanisasi dan mengangkat pentingnya isu feminisme dalam meruahnya akar pembangunan kapitalisme konteks kota di Amerika.

Untuk konteks Indonesia, yang juga harus menghadapi "muntahan" berkembangnya kapitalisme--sebab dalam iklim globalisasi/neolibelarisme semua dapat hadir dan mengalir dan bebas hambatan--mungkin kota seperti Yogja yang memiliki budaya tanding. Discus terbatas penulis dengan pengamat sosial-keagamaan, Abdul Munir Mulkhan, mengungkapkan banyak orang berimajinasi tentang kemungkinan model gaya hidup Yogja sebagai prototipe tandingan gaya hidup kapitalis yang glamur dan "serakah" dan makin global. Dan kesederhanaan gaya hidup Yogja, bukanlah indikasi kota ini tidak bergerak maju.

Pengembangan kawasan pendidikan di sekitar kota ini membawa sejumlah persoalan sebagai dampak tak langsung kehadiran puluhan ribu warga baru kota ini. Bersama dengan perkembangan kawasan pendidikan yang terus tumbuh, warung lesehan yang semula hanya berpusat di kawasan Malioboro meluas di berbagai jalan protokol. Namun, kampung-kampung tradisional tetap kental dan tampak lestari di kawasan sekitar pusat kesibukan Malioboro atau Jalan Solo. Gedung dan rumah mewah justru lebih tampak di kawasan pengembangan yang biasanya berkaitan dengan lembaga pendidikan. Semua itu, kuncinya pada kesederhanaan, hal ini membuat Yogja menunjukkan suatu identitas budaya yang signifikan.

***

Identitas adalah cara menjaga "karakter" dan "sifat beda" kita. Mulai dari gaya hidup, strata sosial, agama, usia, ras/etnis, panji-panji kelompok, sampai orientasi seksual umumnya menjadi referensi penting dalam eksistensi identitas. Dan untuk memahaminya, kita biasanya perlu cermin pembanding. Kehadiran "mereka" atau "other" sebagai pembanding yang berbeda menjadi penting memahami siapakah adanya "kita" atau "self".

Kelompok yang merasa dirinya lebih baik, cenderung menjadikan dirinya sebagai referensi dan secara sepihak menegasikan identitas di luar dirinya. Max Weber dalam The City pada tahun 1921 merumuskan identitas masyarakat urban dunia dalam dikotomi "Occidential vs Oriental". Baginya, identitas "occidential" alias "Barat" tadi eksis sebagai kebalikan dari yang menjadi ciri "Oriental". Dan ketimbang memahami "Timur" sebagai segugus sistem hidup yang saling melengkapi, "Barat" malah mengukuhkan identitasnya dengan melabeli "Timur" dengan segala keburukannya.

Persis seperti yang dilakukan psikiater Belanda P.H. Travaglino, yang menyimpulkan pada tahun 1920, seperti dikutip Goenawan Mohamad (GM), bahwa identitas orang Jawa dewasa umumnya tidak memiliki kematangan psikologis dan masih bersifat kinderlijk niveau alias kekanak-kanakan, dan ini merupakan kajian ilmiah yang dipakai Belanda sebagai pembenaran memperpanjang kolonialismenya di Indonesia. Sebuah cara pandang filosofis yang coba digedor dan terus dilawan dalam diskursus poskolonial.

***

Lapis demi lapis karakter identitas yang hadir di kota haruslah dibaca sebagai keaneka-ragaman guna memperkaya budaya dan memperunik wajah kota, yang diistilahkan Rapoport (Tata Ruang Perkotaan; Prof. Ir. Eko Budihardjo M.Sc. 1997), sebagai "Cultural Landscape" dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan, dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk pembangunan kota. Dalam setiap kota yang merupakan "melting pot" selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.

Sebab, antara homogenitas yang kaku seragam dan heterogenitas yang kenyal beragam, merupakan bentuk yang gampang pemeriannya tetapi sulit pengejawantahannya. Untuk mengatasi masalah semacam itu, disarankan suatu bentuk perencanaan yang open ended yang menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota supaya memberikan peluang bagi bagian-bagian lain (termasuk yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya) untuk bergerak secara spontan. Perencanaan open ended yang luwes dan kenyal ini memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan, dan gaya hidup yang berbeda dalam suatu lingkungan yang dinamik. Dan kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan akan dengan mudah menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif ruang, waktu, makna, dan komunikasi.

Berbeda bukan berarti ancaman. Berbeda adalah pluralitas keunikan. Kita bisa hidup lebih baik dengan mengencangkan toleransi identitas dan menggunakan kota sebagai laboratoriumnya, serta jangan sampai terjebak dalam pengotakan identitas yang berlebihan, apalagi dibarengi ancaman seperti yang sempat diteriakkan Goerge Bush secara kekanakan dan menggelikan, "You are either with us or against us!"

Para perencana yang menganut paham bahwa segala sesuatu harus direncana, dikontrol, dan dipantau secara tegar pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan ekspansi individual atau kelompok, jika dibiarkan akan menciptakan kekacauan, tidak teratur, berantakan. Padahal dalam kehidupan nyata ini, perencana dan pelaksana yang "down to the last detail" tidak hanya mungkin, tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak dikembangkan, atau diberi wadah, dan di-salut-kan.

Dimuat di Lampung Post, Senin, 22 November 2004

No comments: