Wednesday, November 12, 2008

Sketsa Kebudayaan dalam Otonomi Daerah

Oleh Y. Wibowo
Penyair, bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

KEBUDAYAAN dapat diartikan sebagai "segala sesuatu yang berasal dari proses pemikiran manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri". Kompleksitas hasil pemikiran ini awalnya mengemuka tahun 1871 oleh E.W. Tylor. Kemudian dikembangkan Herkovist dan juga Bronislaw Malinowskwi (1960: 37) yang terkenal dengan cultural determinism-nya, di mana kebudayaan sebagai sesuatu yang bersifat super-organic. Era selanjutnya, banyak para ahli mengartikan kebudayaan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penulisan karya ilmiahnya.

Proses berpikir dalam konteks epistemologi dan kebudayaan jika merunut C.A. van Peursen (1988: 18) dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama tahap mistis. Kedua tahap ontologism dan ketiga tahap fungsional. Pada tahap ketiga inilah, manusia baru bisa memisahkan diri sebagai subjek dan hasil berpikir (baik berujud maupun tidak) sebagai objek atas dasar kesadaran fungsi dan manfaatnya. Dalam kaitannya dengan politik, bahkan kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan suatu negara/bangsa melalui kebijakan-kebijakan negara (public policy) disebut sebagai budaya politik. Pada tahapan ini, bahkan suatu ideologi sekalipun telah menjadi suatu sistem kebudayaan. Termasuk juga pembentukan kualitas dan identitas bangsa.

Wow, jadi tak pelak lagi, kebudayaan adalah sesuatu yang institusionalized, berproses melalui folkways, customs, norms, institusi, dan kemudian culture. Sehingga lembaga-lembaga kebudayaan yang coba saya maksud bukanlah dalam arti norma, tetapi sebuah lembaga yang memberikan perwujudan (bentuk)--baik abstrak maupun tidak--terhadap apa yang disebut dengan kebudayaan.

Kebudayaan sebagai Identitas dan Spirit

Dalam The End of Ideology (1960), Daniel Bell memaparkan identitas suatu bangsa, dapat diketahui dengan empat metode. Pertama, metode komparatif, membandingkan suatu kejadian atau perkembangan dengan ada atau tidak adanya kejadian atau perkembangan semacam itu pada bangsa lain. Kedua, menyelidiki hubungan fungsional antara lembaga-lembaga sesuatu bangsa, yaitu bagaimana behavior dalam suatu lembaga tertentu memengaruhi dan mewujudkan behavior dalam lembaga-lembaga tingkat nasional. Ketiga, mengikuti riwayat beberapa lembaga penting. Dan terakhir, secara eksistensialistis, menyelidiki mengapa suatu bangsa pada krisis-krisis di dalam sejarahnya, memiliki jalan A dan bukan jalan B.

Secara konseptual apa yang disebut sebagai identitas adalah sejarah budaya suatu bangsa/Negara. Perkembangan kebudayaan bangsa sering dijadikan tolok ukur menentukan maju tidaknya suatu Negara. Atau secara fisik--perwujudan bentuk, banyak orang menentukan standar kemajuan suatu Negara dari perkembangannya. Pengenalan kebudayaan dan peradaban ini by process, lambat laun menjadi identity bangsa yang bersangkutan.

Korelasi kebudayaan sebagai identitas kelihatannya juga dapat melahirkan spirit nasional. Seperti kokutai, bushido, dan hitarakibachi adalah aspek kultur yang akhirnya menjadi spirit nasional bangsa Jepang (Taro Sakamoto: 1982, xxiii); Edwin O. Reischauer & Albert M. Craig, (1973:268). Bagaimanapun kebiasaan-kebiasaan yang terinternalisasi dan tersosialisasi dalam masyarakat akan ter-institusionalized sebagai bagian kultur masyarakat.

Bahkan tidak jarang hal ini menjadi semacam hukum tidak tertulis, yang "wajib" bagi bangsa yang bersangkutan. Aktivitas kreatif yang diekspresikan seseorang atau kelompok masyarakat (society) harus dilihat sebagai suatu proses dan output kebudayaan. Ia sepenuhnya tidak bebas nilai, karena ada norma-norma, yang juga merupakan output internalisasi kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi adat "hukum masyarakat".

Batasan-batasan normative masyarakat inilah yang pada pemerintahan Orde Baru banyak dikemas menjadi regulasi negara (state) untuk kepentingan kekuasaan. Sehingga larangan kreativitas kebudayaan (kebanyakan seni) cenderung untuk kepentingan politik penguasa dan bukan kepentingan publik. Dalam bentuk-bentuk yang seperti inilah kebudayaan akhirnya juga harus tunduk pada kooptasi negara (baca: rezim).

Kebudayaan dan Otonomi Daerah

Otonomi daerah pada dasarnya adalah upaya memandirikan masyarakat dan pemerintah di daerah, khususnya dalam menentukan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kepentingan daerahnya. Harold Alderfer (1964) mendefinisikan otonomi sebagai an integral part of man's aspiration for freedom. Atau kebanyakan dari kita lebih menitikberatkan pada pendelegasian wewenang atau adanya desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah.

Namun, kewenangan dari pusat ke daerah yang berlangsung, terkadang belum seiring dengan kesiapan daerah dalam menata sebuah sistem pemerintahan secara otonom, mandiri. Lihat saja fenomena kepala pemerintahan kita di Lampung dengan adanya dua gubernur. Ini dapat dijadikan contoh betapa Lampung sebagai daerah belum mampu menentukan jalannya sejarah bagi diri sendiri!

Kasus tersebut mungkin berkait dengan kesiapan menghadapi situasi yang mendasari terlaksananya desentralisasi dan otonomi daerah. Beberapa faktor harus dipikirkan, antara lain pengembangan sumber daya manusia, terutama aparatur pemerintah daerah yang akan menumbuhkan profesionalisme dan kemampuan kerja (skills), serta mental attitude, dan dedikasi yang tinggi, ini adalah syarat mutlak dalam otonomi daerah. Peranan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus lebih bersifat fasilitatif dan katalistik, baik dalam menuju pemberdayaan masyarakat, maupun dalam pengembangan lintas sektor.

Dengan melihat syarat-syarat dan prakondisi otonomi, sesungguhnya bagi Lampung tidaklah terlalu sulit ke depan--khususnya akses sebagai pintu gerbang Sumatera, apabila otonomi tidak selalu dikaitkan dengan kemampuan untuk membiayai sendiri daerahnya (PAD). Realisasi UU No. 22/1999, dikeluarkannya PP No. 25/2000 tentang penyerahan kewenangan wajib yang setiap daerah harus mengambilnya.

Lalu dalam ranah kebudayaan, persoalannya bukan terletak pada apa yang diminta Lampung sebagai kewenangan daerah, tetapi pada tekad dan niat untuk lebih memberikan arti dan makna keberadaan lembaga kebudayaan (culture), lembaga kebudayaan yang lahir tidak merupakan kelahirannya yang seiring kelahiran kepentingan politik yang menyokongnya, dan contoh-contoh pemberian gelar adat tidak harus terjebak pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu dan kepentingan sesaat saja. Lembaga kebudayaan tentu sebagai kebutuhan masyarakat, juga untuk mendukung eksistensi Lampung sebagai provinsi beradab.

Di sisi lain, dalam rangka pemberdayaan lembaga-lembaga kebudayaan yang ada, perlu dilakukan inventarisasi kegiatan-kegiatan budaya yang ada di Lampung, dan bersama-sama masyarakat (beserta senimannya) membentuk agenda dengan pelaksanaan gelar budaya, meskipun kemudian akan terintegrasikannya event-event seni-budaya dalam festival kebudayaan, ini hanya bersoal pada pilihan teknis. Sehingga tidak akan muncul suatu sinyalemen seperti Festival Krakatau tidak prestisuis (Lampung Post, 4 Agustus 2005).

Kalau kita lihat secara subtansial, kebudayaan--termasuk lembaganya, sesungguhnya adalah urusan masyarakat sepenuhnya, pemerintah sebagai fasilitator dan katalisator. Secara instansional (dinas kebudayaan) ia bukan lembaga yang memberikan revenue pada keuangan daerah. Pengembangan lembaga kebudayaan, sebaiknya tumbuh dari masyarakat sendiri dan direspons positif pemerintah daerah. Sedangkan kaitannya dengan otonomi, secara material, wujud kebudayaan--apakah itu fisik maupun nonfisik--khususnya kesenian, tidak mungkin dibatasi ruang lingkup wilayah, bahkan waktu sekalipun. Kebudayaan bersifat superorganik dan acculturated, meskipun ada inti (core) kebudayaan yang tidak dapat dihilangkan dari aslinya, minimal historical background-nya.

Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 8 Oktober 2005

No comments: