Monday, December 1, 2008

APBD dan Pencuri (yang Merasa) Terhormat

Oleh Y. Wibowo
Direktur Utama CAKRA Institute

SI Mamad, seorang pegawai perpustakaan, karena terpepet keadaan tersebab istrinya akan melahirkan anaknya yang kelima, ia terpaksa mencuri. Curiannya itu beberapa rim kertas HVS dan kertas karbon. Pencurian yang tidak diketahui orang, termasuk bosnya itu semula tidak menimbulkan perasaan apa pun pada diri Mamad. Namun, rasa bersalah dan rasa berdosa akhirnya muncul juga di ujung penyesalannya. Ia pun mengakui tindakan mencurinya di depan si bos dan siap menanggung hukuman apa pun.

Yang aneh, si bos yang kaya raya itu tidak menganggap Mamad bersalah. Apalah artinya beberapa rim kertas itu baginya? Sebab itu, ia menolak permintaan maaf Mamad. Dari peristiwa itu justru Mamad yang terus dikejar rasa bersalah dan rasa berdosa. Mamad terus berjuang minta maaf kepada sang bos. Namun, berkali-kali bosnya menolak. Mamad sedih. Terpukul. Ia akhirnya jatuh sakit. Dan mati.

Bagi si Mamad, tindakan mencuri yang dilakukannya telah membuat ia tidak terhormat, baik dalam peran sosial maupun dalam eksistensinya sebagai manusia. Kisah di atas diilhami salah satu cerpen karya Anton Chekov yang kemudian digubah dalam sebuah film oleh salah satu sineas papan atas Indonesia, Sumandjaya (5 Agustus 1933--19 Juli 1985). Si Mamad (1973), yang diperankan Mang Udel. Andaikata Mamad mau bermental baja dan cuek atas korupsi yang dilakukan, bisa jadi ia tidak mengidap stres yang berakhir sakit dan kematian.

Akan tetapi, justru dengan kematian si Mamad, kisah tersebut dapat menggedor nurani bahwa kejujuran itu mahal harganya dan punya tempat di rongga hati nurani manusia. Sosok si Mamad jika mau diakui memang telah berhasil menghadirkan cermin jernih kejujuran. Kejujuran yang kian hari menjadi barang langka dalam kehidupan kita di era otonomi daerah yang kian gencar sedang berlangsung.

Memang, sejak konsep otonomi daerah (otda) yang diarsiteki Prof Dr. Ryaas Rasyid digulirkan, kemudian muncul semacam euforia pada orang daerah. Para pimpinan kabupaten dan kota ibaratnya seperti kuda lepas kandang. Mereka pun diibaratkan sebagai "raja-raja kecil" yang tak lagi tunduk pada gubernur atau bahkan pemerintah pusat seperti pada masa-masa sebelumnya. Sedangkan para anggota legislatif yang tidak lagi sekadar stempel legalitas pemilihan pimpinan daerah, taringnya menjadi begitu tajam mengontrol eksekutif sekaligus tajam juga menggerogoti anggarannya.

Maka korupsi mewabah dan akar dari persoalan korupsi adalah pemahaman (yang telah mendarah-daging) bahwa kekuasaan identik dengan diri sendiri, bukan sistem yang dibangun guna mendistribusikan peran atau sistem yang dirangsang menumbuhkan partisipasi yang mendorong pihak yang dipimpin memiliki eksistensi yang lebih tinggi (tercapainya kesejahteraan lahir-batin). Karena pemahaman yang sengaja dipahami keliru itu, pelaku kekuasaan cenderung membangun ukuran nilai atas kekuasaannya secara subjektif: Apa yang dianggapnya benar selalu dipaksakan untuk diakui kebenarannya oleh pihak yang dipimpin (pihak yang dikuasai). Pemimpin/pelaku kekuasaan menjadi otoritatif atas kebenaran kolektif. Akibatnya, kekuasaan pun berjalan dan menjadi manupulatif, tanpa koreksi, tanpa kontrol.

Untuk urusan kehormatan, di zaman yang profan, sumpek bin pengap atas nilai-nilai moral yang terkesan klise kini, harapannya itu hadir dengan sosok Mamad. Jika saja pelaku korupsi seperti si Mamad, barangkali penyakit sosial yang bernama kolusi, korupsi, dan nepotisme tidak meruyak menjelma wabah budaya di masayarakat kita.

Akan tetapi, renungan si Mamad kembali mencuat dibenak saya ketika dalam prakteknya, di paro terakhir bulan ini, rumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menentukan arah dan anggaran tahun 2008 dirumuskan. Banyak kalangan yang bersikap pasif dan acuh tak acuh. Berbagai elemen masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, ormas & orsos lain yang pada awal-awal reformasi begitu gempita mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, kini diam.

Dan, pemimpin/pelaku kekuasaan yang merasa paling benar itu kemudian menggunakan semua otoritasnya untuk memonopoli setiap peluang/akses, baik secara eksistensial maupun material yang sesungguhnya menjadi hak publik. Dengan topeng otoritasnya itu, dalam pembahasan APBD kini pun tak lepas dari wacana bahwa eksekutif maupun legislatif menjelma pencuri, maling, yang secara sistemik menjalankan pencurian atas hak-hak publik, dan (tetap) merasa terhormat.

Menengarai "drama" pembahasan kebijakan umum anggaran (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) Provinsi Lampung TA 2008, harian ini menurunkan berita dengan judul: "Anggaran Naik Rp10 M". Sebuah kabar yang terkadang terkesan sensasional. Tidak tanggung-tanggung, dalam memorandum of understanding (MoU) antara DPRD dan Pemprov Lampung memberikan tambahan delapan item, sehingga total keseluruhan dari jumlah belanja Rp1.720 miliar menjadi Rp1.730 miliar. Dan yang paling fenomenal, pembahasan itu berlangsung hanya dalam hitungan hari.

"Drama" MoU antara DPRD dan Pemprov Lampung, mungkin yang terbaik untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dalam pembangunan, akan tetapi peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran dan membuka peluang KKN menjadi mungkin. Pernyataan tentang peluang korupsi seakan kita diamkan, dan imbauan pemberantasan KKN pun kian hambar dan getir karena seperti selama ini, bisa jadi tidak akan menimbulkan efek mendalam bagi kebayakan koruptor.

Karena potret daerah ini telah kehilangan ukuran moral dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Siapa pun penguasa itu, cenderung menganggap korupsi sebagai keniscayaan untuk mencapai kejayaan. Dan dengan kejayaan tersebut, orang menjadi "merasa terhormat". Dalam situasi itu orang merasa tidak bersalah (apalagi merasa berdosa) ketika mewujudkan cita-citanya untuk korupsi.

Akan tetapi, masih ada peluang mengantisipasi peluang KKN dan untuk berbenah, jika saja para pemimpin kita baik di eksekutif dan legislatif mau merenungkan sejenak bahwa apa yang telah dirumuskannya akan mencipta rangkaian daftar dosa, dan akan menjerumuskan arah pembangunan.

Lemahnya sistem kontrol atas kekuasaan dan makin menguatnya kultur korupsi telah mengembangbiakkan koruptor atau menumbuhsuburkan cita-cita untuk menjadi koruptor. Dalam konteks jabatan/peran sosisal misalnya, seorang lurah, camat, bupati, walikota hingga gubernur harus membeli jabatan itu dengan harga tinggi, ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Otomatis saat berkuasa, horizon harapan yang bertama kali muncul adalah upaya mereka untuk "balik modal", sehingga tak terhindarkan bagi mereka untuk melakukan berbagai penyimpangan dalam menjalankan kekuasaannya. Setelah itu, horizon harapan kedua yang muncul adalah bagaimana membuat hidup mereka di atas sejahtera. Celakanya, ukuran hidup sejahtera itu amat relatif/subjektif dan tidak pernah jelas. Sebab itu, para pelaku kekuasaan cenderung merasa hidupnya "selalu tidak sejahtera", meski ratusan juta bahkan miliaran rupiah ngendon dalam depositonya. Akhirnya, diam-diam, anggapan "hidup tidak pernah merasa cukup" menjadi semacam "ideologi" para pelaku kekuasaan yang menyimpang.

Setidaknya, "ideologi hidup tak pernah merasa cukup" itu banyak dipeluk pelaku kekuasaan. "ideologi: Hidup tak pernah merasa cukup itu" laku luar biasa dan banyak umatnya. Para pelaku kekuasaan, baik individual maupun kolektif, merasa berdosa kalau tidak nyolong.

Colong-mencolong telah menjadi tradisi "luhur", hingga secara otomatis "dilestarikan" para pelaku kekuasaan secara bergantian. Para pelaku kekuasaan yang kamarin mengutuk praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme penguasa sebelumnya, tanpa malu melakukan hal yang sama. Perebutan kekuasaan akhirnya hanya bermakna, bagaimana mendapatkan peluang untuk nyolong duit rakyat.

Hal ini bukan tidak mungkin terus berlangsung pada setiap terjadi perubahan penguasa (bukan perubahan system kekuasaan) dan pembahasan anggaran pembangunan rakyat. Penguasa terus berubah, para aktor kekuasaan terus berganti, tetapi kehadiran mereka cenderung hanya untuk melestarikan tradisi korupsi.

Sebuah tradisi budaya korupsi yang diam-diam telah menjadi "ajaran moral luhur", bukan tidak mungkin akan mengubah cara berpikir dan orientasi hidup generasi mendatang. Jika mereka ditanya soal cita-cita, jawabannya bukan lagi klise seperti menjadi dokter, insinyur, atau menjadi pilot, melainkan menjadi anggota DPR atau menjadi kepala dinas sebuah instansi untuk kemudian korupsi dan bisa kaya mendadak.

Marilah kita teriak antikorupsi, sambil diam-diam nyolongi duit rakyat. Bukankah, kita sudah amat terlatih menjadi hipokrit? Sementara di lain sisi, kita juga merindukan kejujuran (hati nurani) sosok macam si Mamad. Orang yang rela dan ikhlas mengaku dirinya pencuri, dan siap menerima segala risiko moral maupun yuridis.

Bagaimanapun, hari ini dengan telah dirumuskannya anggaran untuk rakyat oleh wakil-wakilnya, para pemimpin telah merasa meraih "kehormatan", sebuah nilai hidup paradoksal dalam meniti kenyataan hidupnya. Hal ini akan terbukti jika koruptor tidak mendapat ganjaran yuridis yang semestinya.

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007

Wajah Kota dan Politik Identitas

Oleh Y. Wibowo
Arsitek, menetap di Lampung

KOTA merupakan arena pergaulan antarberbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Misalnya, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan harapan dan kepentingan warganya.

Daftarnya bisa panjang. Sementara itu, tanpa menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan identitas diri perlahan menguap lenyap tanpa disadari.

Akan halnya wajah kota dan anggapan bahwa desainlah yang dipertaruhkan habis-habisan, sekarang ini baru mempersoalkan satu atau dua aspek saja dari struktur atau bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya. Misalnya, sebagaimana umumnya aktivitas masyarakat urban, wajah kota modern memang harus manusiawi, selain juga harus menjunjung tinggi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan (tentu saja) berwawasan lingkungan.

Pada prinsipnya, rencana pengembangan kota selalu bertujuan melindungi dan melayani masyarakat luas.

Sebab itu, seluruh kota modern di dunia selalu mengusung spirit manusiawi dan berwawasan lingkungan dalam setiap rencana pengembangan kotanya. Meskipun kepadatan di kota dengan mitosnya tentang kesempatan dan keragaman, kumpulan energi dan massa rakyatnya meningkatkan kekotaannya, paling tidak dalam persepsi rakyatnya, sekaligus menghancurkannya sebagai lingkungan hidup.

Transformasi budaya pada sebagian besar kota-kota di Indonesia terlihat bahwa wajah kota hanya alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan, belum sebagai pembentuk pikiran, sebagai pandangan dunia.

Jika kita pergi sejenak ke kota-kota di belahan lain dunia, dalam sepuluh tahun terakhir ini banyak dibicarakan ihwal kota-kota metropolis, megalopolis (di negara maju) yang segalanya serbateknologi tinggi. Di sini mereka mempersoalkan desain dengan menghasut bentuk-bentuk berskala besar. Cara-cara seperti ini, sejauh ini, tidak ditemukan dalam kota-kota di Indonesia.

Mengapa kita belum sampai tahap itu?

Tampaknya memang ada yang problematik dalam cara kita memandang kota. Di pihak lain, ada semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta di jagat perencana dan perangcang kota kita dari masa ke masa.

Pernyataan ini rupanya bisa dibantah karya-karya yang cukup besar di masa silam yang bisa dianggap sebagai adikarya, seperti terungkap dalam kajiannya J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah lain di nusantara yang ternyata tidak cuma menunjukkan dominannya pemikiran indrawi.

Ada struktur yang cukup canggih dan rumit di Kasultanan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada kesederhanaan yang agung di perkampungan tradisional Nias, pun tak ayal bersahajanya tatanan Kampung Tua.

Yang sekarang menjadi persoalan adalah kenapa tradisi pemikiran yang telah menghasilakn struktur yang canggih dan rumit ini terpotong di zaman kita sekarang? Barangkali penyebabnya ada di politik kota yang sangat ambigu: Antara keinginan "setengah hati" menonjolkan spirit nasoinalisme dan ketakberdayaan atas gempuran urban desain dengan cirinya yang efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung kapitalisme global.

Akibat buruk yang tak pernah kita sadari ialah bahwa kita kemudian terpotong dari masa silam kita sendiri karena desain-desain dengan spirit lokal tidak lagi dipromosikan untuk dipakai dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah: Desain yang kita impor dari bangsa antah berantah.

Keterputusan tradisi juga telah mengakibatkan khazanah lokal yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi dasar penciptaan karya-karya sekarang. Karena kita tidak punya dasar tradisi untuk penciptaan wajah kota kini, di sisi lain kita tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada di luar sana.

Mutu karya wajah kota kita memang sangat merosot, bukan hanya dibandingkan dengan karya di luar sana, melainkan juga dengan tradisi yang terjadi di masa silam. Upaya mengarahkan sumber daya dan tenaga ke arah pencarian "identitas diri" sejak awal mestinya disadari bersama, seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang seharusnya menganggap hal demikian adalah tugas mulainya.

Kemudian, dalam upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi dapat dimulai dengan menyosialisasikan gagasannya dengan melibatkan para klien penting generasi saat ini, seperti kantor pemerintah daerah (kantor gubernur atau kantor bupati), universitas negeri setempat, dan juga hotel-hotel yang programnya lebih menekankan pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi turisme.

Dengan menempa sebentuk regionalisme tradisi harus atau tidaknya bersandar kepada argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah semangat zaman (zeitgeist) dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan betah kita.

Sebab, "suara yang lain" memang telah dianggap menyatakan semangat zaman yang begitu menekankan keragaman subjektivitas yang kreatif. Akan tetapi, saat sekarang juga kita perlu bertanya apakah genius loci dalam berbagai bentuk mutakhir tidak malah menjemukan karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan kemiskinan dalam menanggapi tantangan zaman.

Kebanyakan karya arsitektur menjadi prestasi sejarah karena menjawab persoalan waktunya sebagai tantangan bentuk, sedangkan persoalan tempat hanya merupakan tantangan programatik. Arsitektur yang demikian menciptakan, bukan mengikuti tempat.

Dengan kata lain, arsitektur yang terbukti oleh sejarah baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang kontemporer ketika diciptakan. Beberapa karya arsitektur bahkan ada yang terasa lebih kontemporer justru setelah lebih dari setengah abad berdiri, sedangkan pada saat diciptakan ia mengesankan futuristik.

Kekinian memang mempunyai kekuatan mengakomodasi masa depan yang lebih panjang. Sedangkan subjek, dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan.

Polemik demikian terasa kian kita butuhkan sebagai resep dari para pengembang "buta" yang menyokong penguasa hanya untuk menangguk keuntungan sendiri dan golongannya.

Dimuat di Lampung Post, Selasa, 19 Desember 2006

Urbanisasi Perkembangan Kota

Oleh Yatno Wibowo
Arsitek

BENARKAH pertumbuhan rumah toko (ruko) yang menjamur di kawasan Kota Bandar Lampung sebagai pertanda bahwa perdagangan dan jasa telah menjadi identitas? Pengembangan sentra ekonomi tak terlepas konteksnya khusus kepada layanan urban.

Dari masalah tersebut, kita menangkap maksud yang cukup strategis, terutama dalam pengembangan Bandar Lampung, yaitu pentingnya pengembangan sentra-sentra layanan urban justru merebak di jalur-jalur protokol kota kemudian mendorong pengembangan perekonomian masyarakat.

Jika dilihat dari sudut perkembangan perkotaan (baca: Bandar Lampung) mengalami suatu kemajuan yang cukup signifikan, terutama dengan munculnya sentra-sentra layanan urban tersebut. Terlepas dari proses adaptasinya, perkembangan perkotaan merupakan realitas yang amat strategis dalam kerangka perkembangan perkotaan--yang diharapkan memunculkan sentra-sentra layanan urban dengan tetap mengedepankan potensi lokal--terutama dalam kerangka merangsang tumbuhnya sentra-sentra industri baru dari berbagai potensi lokal yang dimiliki; bukan sebaliknya mengabaikan potensi lokal sehingga akan melahirkan problematika pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.

Berdasarkan asumsi tersebut, melalui tulisan ini akan diketengahkan telaah berkaitan masalah bagaimana pembangunan perkotaan yang bertitik tolak dari pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan suatu strategi perencanaan yang berbasis lokal kultur melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal?

Selanjutnya, perlu diuraikan pokok masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan, guna menjadi referensi dalam upaya mengembangkan konsep perencanaan strategis yang berbasis lokal kultur, melalui pengembangan partisipasi masyarakat lokal.

Urbanisasi

Kota Bandar Lampung merupakan satu-satunya wilayah di Lampung yang seluruhnya merupakan daerah perkotaan. Gambaran umum tentang kota suatu realitas di mana sebagian besar penghuninya mempunyai tingkat penghidupan di bawah standar. Hal ini bila mengacu pada survei PBB terhadap 53 kota besar di dunia yang menunjukkan lebih dari separo penduduk (54%) tinggal di rumah-rumah kumuh.

Tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 34,30% berdasarkan Susenas 1990. Lembaga Demografi UI Jakarta (1994) memproyeksikan tingkat urbanisasi tersebut akan mengalami kenaikan hingga mencapai 41,80% pada tahun 2000 dan 46% (102,5 juta jiwa) pada 2005.

Angka-angka tersebut menjadi landasan mengasumsikan bahwa tingkat kehidupan di bawah standar maupun tingkat urbanisasi yang relatif tinggi setiap tahunnya terjadi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Kota Bandar Lampung. Di mana fenomena tersebut dapat dipastikan akan berimplikasi timbulnya berbagai masalah di perkotaan.

Saat ini kota-kota di negara berkembang (termasuk Indonesia) tengah bergulat mengatasi kemiskinan di antara berbagai praktek penumpukan kekayaan di kota. Kota-kota juga berjuang mereformasi permukiman kumuh, persis di mana segala macam bentuk kemewahan ditawarkan: Kesehatan, pendidikan, transportasi, dan komunikasi. Tapi di kota pula, berbagai penyakit sosial justru menggambarkan beragam masalah: kepadatan penduduk, alienasi (keterasingan), kriminalitas, keresahan sosial, pencemaran, dan lain sebagainya.

Urbanisasi terjadi bukan karena meningkatnya permintaan tenaga kerja sektor industri di perkotaan terhadap tenaga kerja pertanian di perdesaan. Namun, karena tekanan hidup yang di desa memaksa penduduk bermigrasi ke kota.

Dengan kata lain, proses urbanisasi tidak melewati fase industri, tapi langsung menuju sektor informal. Urbanisasi jenis ini menimbulkan berbagai masalah kota yang sangat rumit. Misal, bagaimana menghentikan laju urbanisasi, dan dengan cara bagaimana mesti dilakukan?

Ironisnya, semakin banyak digulirkan berbagai kebijakan, justru sebanyak itu pula urbanisasi, pengangguran, dan krisis perkotaan melaju. Sering kali kebijakan yang diambil justeru merugikan.

Kaum urban pinggiran adalah komunitas yang aspirasi politik dan hak hidupnya terdesak oleh rangkaian represi modal dan pilihan kebijakan yang tidak memihak kepadanya. Dengan demikian, masalah urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan, terlampau naif jika hanya diselesaikan dengan pendekatan ekonomi belaka.

Basis Lokal Kultur

Seiring dengan era transisi demokrasi yang tengah bergulir di dalam kehidupan sosial politik, gejala kebangkitan local culture dengan titik tolak pengembangan partisipasi masyarakat lokal tumbuh sebagai respons positif atas perubahan sosial yang sedang terjadi.

Realitas ini sekaligus menjadi alat koreksi atas strategi pembangunan yang selama ini dirasa tidak memberikan ruang terhadap tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal tersebut.

Dalam konteks perkembangan kota, perlu dilakukan perencanaan ulang terhadap kebijakan perkotaan dengan melibatkan berbagai potensi masyarakat lokal secara partisipatif. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa masalah yang paling rumit di perkotaan adalah tingginya laju urbanisasi, pengangguran dan krisis perkotaan dengan berbagai bentuk masalah lainnya yang tak kunjung teratasi.

Di mana problematika itu justru tumbuh akibat dari kebijakan pembangunan yang lebih bersifat elitis, melalui represi modal maupun kebijakan yang tidak memihak sektor masyarakat lokal.

Pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan menitikberatkan pada strategi pembangunan perkotaan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal, diharapkan mampu mengatasi sekaligus mengantisipasi laju urbanisasi yang tidak terkendali, juga mengatasi ledakan pengangguran maupun krisis perkotaan yang memunculkan kantong-kantong kemiskinan baru.

Strategi ini mengisyaratkan berbagai potensi lokal yang dimiliki masyarakat mesti diposisikan sebagai basis pengembangan perkotaan. Ruang-ruang bagi tumbuhnya sentra industri masyarakat lokal (home industry dan industri kecil menengah) harus dibuka melalui regulasi perkotaan yang secara strategis berpihak pada sektor-sektor lokal.

Strategi ini sekaligus akan menyambung mata rantai urbanisasi yang terputus selama ini, sehingga proses urbanisasi tumbuh melalui perkembangan sektor industri, bukan langsung ke sektor informal.

Selain itu, regulasi pengembangan perkotaan harus pula memperhatikan aspek-aspek ekologis dan berbagai potensi lokal perdesaan. Tidak semua area strategis bagi pengembangan sektor agrarian diambil alih untuk dan atas nama pengembangan wilayah perkotaan. Pada aspek lain penting pula dipikirkan identitas yang khas sebagai brand image suatu wilayah perkotaan, hal ini sangat terkait dengan upaya pengembangan kota wisata di masa mendatang.

Dimuat di Lampung Post, Selasa, 12 Desember 2006

Skizofrenia Sebuah Kota: Setahun Eddy Sutrisno-Kherlani

Oleh Y. Wibowo
Arsitek, Editor Penerbit Matakata Lampung.

PENCANANGAN penghargaan Kota Adipura oleh pemerintah pusat kepada setiap kabupaten/kota telah berlalu. Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini Kota Kalianda dan Kota Metro patut berbangga. Tetapi, kenapa Kota Bandar Lampung yang lebih siap dengan kebijakan Ayo Bersih-bersih (ABB) justru gagal?

Tidak mudah mengelola kota sekompleks Bandar Lampung. Selain karena banyak urusan yang melibatkan putaran uang ratusan miliar, juga aneka kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Apalagi gaung otonomi daerah, jika terpleset kepala daerah dapat menjadi raja kecil dikitari pemburu rente, proyek, dan keuntungan politik lain.

ABB adalah "ideologi" untuk memperindah, mempercantik, dan meningkatkan kesehatan warga kota. Ini dapat dilihat sebagai kasus untuk menganalisis permasalahan kota dengan harapan keterlibatan masyarakat lebih luas dan lebih bersahaja. Tujuannya sederhana, agar pengelola kota mampu mengelola aneka kepentingan dan konflik yang tidak sehat di wilayahnya.

Para pakar masalah perkotaan seperti Sarageldin (1995) berujar salah satu agenda pokok pembangunan perkotaan adalah bagaimana kinerja pemerintah kota dalam menyelesaikan permasalahan warganya seperti melindungi warga dari kerusakan lingkungan, menghapus kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas kota untuk mengatasi dua hal tersebut.

Akumulasi kapital adalah benih bagi pengembangan kota, sehingga kota sering menjadi pusat dari inovasi teknologi, spiritual, dan perubahan institusi. Namun, seperti yang terjadi umumnya, akumulasi kapital di kota sering membuat kota over-urbanized. Pemadatan kota terjadi sangat cepat akibat investasi domestik dan internasional yang terkonsentrasi di kota, sebuah fenomena yang dikenal sebagai urban bias.

Urbanisme ini berlangsung sangat cepat karena jasa para pendiri kota; terutama pengembang yang berkoalisi dengan perusahaan raksasa, elite pemerintahan lokal dan bankir yang melakukan investasi secara gencar. Pendiri kota adalah wiraswastawan atau pejabat/wali kota/gubernur/bankir yang aktif dalam bisnis memanipulasi tempat/ruang yang terus-menerus mengemas kota menjadi komoditas baru yang paling bergaya untuk sebuah kehidupan moderen, prestisius, dan seksi.

Seperti dalam sejarah politik, sejarah pembangunan kota juga sangat dipengaruhi para elite, yang dalam pembangunan kota berkemampuan mengarahkan pemanfaatan ruang/tanah, mempengaruhi konsumsi ruang dan gaya hidup masyarakat, dan bahkan anggaran pemerintah.

Agenda pembangunan perkotaan adalah interaksi antara sistem sosial, politik, ekonomi, dan ekologi. Semua itu berjalan beriringan menuju keberlanjutan pembangunan kota. Kegagalan kota besar melaksanakan pembangunan berkelanjutan, menurut Sarageldin, di antaranya disebabkan keberadaan kota di negara dunia ketiga seperti Indonesia, menjadi ajang bermain kekuatan bisnis politik besar, yang berskala global ataupun lokal. Sebab itu, menarik melihat kasus "ideologi" ABB yang dibumikan pada warga Kota Bandar Lampung dari sisi ini.

Hanya, sebagai sebuah kebijakan, ABB dalam pelaksanaannya tidak seratus persen tercapai. Fokus dalam penanganan sampah kota yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah sampah di tiap-tiap lingkungan mensyaratkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat.

Pada tahap awal program ABB, uji materi di beberapa kelurahan terlihat sukses dan akan berkelanjutan secara mulus. Kemudian dalam perjalanannya, ada saja aparat terkait di kelurahan yang mangkir atau warga masyarakat yang kurang responsif. Di sisi lain dengan tak didukung sebuah kepaduan tim, hasil akhirnya pengurangan sampah menjadi tidak signifikan.

Keterlibatan dan kontrol sosial bersama terhadap program kemudian terasa cair. Makin terasa jika program itu hanya milik golongan tertentu. Padahal program ini konsep penyelesaian masalah sampah kota jangka panjang yang terencana dan terintegrasi. Secara teknis, program ini dapat diimplementasikan.

Namun, karena program ini tak sepenuhnya membumi, pelaksanaan program kurang menyentuh rasa tanggung jawab masyarakat. Untuk itu, sebuah program dapat dilanjutkan dengan harus betul-betul bisa diawasi dan dimonitor ketat seperti halnya program ABB dapat terintegrasi dengan program penghijauan. Sebab, tumpang tindih berbagai kepentingan kekuatan pemodal telah memorak-porandakan lingkungan fisik maupun sosial di kota-kota besar termasuk Kota Bandar Lampung.

Bandar Lampung dibuat pusing masalah seperti permukiman liar, pedagang kaki lima (PKL), kesemrawutan jalur pejalan kaki, pelestarian bangunan kuno, got pampat, dan banjir jika musim hujan. Hutan kota rusak dan bukit-bukit gundul. Semua permasalahan dan dampak yang mengiringi pembangunan dapat dieliminasi jika perasaan memiliki menjadi kesadaran kolektif.

Fakta-fakta tersebut mempertegas tudingan Castells (1977) yang menyebutkan lemahnya kontrol sosial menjadikan kota-kota besar ajang kenduri para pemilik modal dan birokrat. Ketiadaan kepastian hukum, keteladanan, dan kealpaan melibatkan warga masyarakat, membawa ke arah sejenis penyakit skizofrenia.

Sebagai catatan akhir, tidak ada ruginya pemerintah Kota Bandar Lampung mendengarkan kritikan dari para pengamat bahwa kegagalan ABB perlu digunakan sebagai sarana introspeksi diri. Sudahkan pengelola kota yang diamati rakyat ini memperhatikan bentangan masalah yang disampaikan sejak awal tulisan ini. Jika jawabannya sudah, kemungkinan besar memang seluruh warga Kota Bandar Lampung mengidap skizofrenia. Benar-benar gila!

Dimuat di Lampung Post, Senin, 11 September 2006

Lampung Milik Semua Kultur

Oleh Ichlas Syukurie dan Y. Wibowo
Pendiri Pusat Kajian Agama, Sosial, dan Budaya (Pusaka) Lampung

BELAKANGAN muncul di sekitar kita sekelompok masyarakat yang menyebut diri Formala (Forum Masyarakat Lampung). Kelompok ini menjadi potret heterogenitas kultural masyarakat yang hidup di provinsi ini karena ditata dari penganut kultur-kultur yang beragam. Ada Jawa, Sunda, Bali, Semendo, Batak, Bugis, Banten, dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi inheren dengan pembentukan sejarah antropologi masyarakat di Provinsi Lampung.

Terhadap kehadiran kelompok ini, yang secara politis berusaha menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari realitas dinamika kehidupan di provinsi ini, ada banyak hal positif sekaligus negatif yang dapat mengemuka. Salah satu hal positif itu, kehadiran Formala terasa ingin menegaskan eksistensi ragam kultur penatanya sebagai bagian realitas kehidupan di provinsi ini. Penegasan itu terlihat dari usaha terlibat dinamika konflik elite dengan menyeru pentingnya rekonsiliasi sebagai konsensus.

Namun, justru karena hal positif inilah akhirnya terungkap hal negatif bahwa upaya penegasan eksistensi ini menjadi sangat kuat dipengaruhi politik, sehingga memberi kesan hendak mendukung salah satu kubu dalam dua mainstream elite yang konflik. Tetapi, terhadap hal negatif itu kita abaikan dalam tulisan ini sambil berupaya meminimalisasi dampaknya terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat Lampung. Sebaliknya, kita pantas mendukung mengingat Formala menjadi sebuah ikon untuk melebur segala perbedaan kultur yang ada dalam semangat kebersamaan dalam konsep masyarakat Lampung.

Satu soal pokok yang hendak ditegaskan adalah kenyataan provinsi ini menjadi milik semua penganut kultur yang ada. Dengan cara masing-masing, kultur-kultur itu memberi warna yang cemerlang terhadap dinamika sosial masyarakat. Warna yang pantas dicatat sebagai potret dari sebuah kerja sosial yang serius untuk menjaga dan melestarikan integritas tanpa menimbulkan resistensi terhadap setiap kultur penatanya.

Dengan begitu, hal ini sekaligus menegaskan sebagai terbukanya sebuah fase dalam sejarah antropologi di Lampung bahwa sudah bukan zamannya lagi membesar-besarkan klaim tentang Lampung hanya memilik kultur utama (first of culture) atau mainstream kultur, yakni kultur Lampung, sedangkan kultur-kultur lain merupakan kultur kedua (second of culture). Pada era Orde Baru, selama hampir 30 tahun klaim serupa itu menjadi sebuah bentuk perlawanan daerah atas hegemonisasi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Jakarta.

Kita menyadari betul hegemonisasi pemerintah pusat ditancapkan dalam tubuh birokrasi negara lewat penempatan tokoh-tokoh tertentu sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah, sehingga untuk waktu sangat lama posisi-posisi sentral seperti kepala daerah tidak akan pernah bisa dinikmati tokoh-tokoh di daerah.

Posisi-posisi itu didesain pemerintah pusat menjadi posisi yang mesti dipegang kaki tangan pemerintah, yang bisa diatur, diberi komando, dan dibubarkan sekehendak pemegang kekuasaan negara. Pemerintah pusat sangat kuat sebagai sebuah rezim yang mengooptasi segala dinamika masyarakat, sehingga mampu melamahkan tokoh-tokoh di daerah. Terhadap negara yang sentralistik seperti itu, daya kritis masyarakat di daerah menjadi tidak berarti, lalu mengkristal menjadi gerutuan-gerutuan personal yang tak bisa diungkapkan kepada publik.

Ketika reformasi bergulir, gerutuan personal itu menemukan signifikansinya dalam sebuah gerakan sosio-kultural untuk mempertegas eksistensi masyarakat daerah dengan mengedepankan konsep putra daerah. Namun, dalam perkembangannya hingga hari ini, konsep putra daerah dimaknai secara tidak produktif, yakni sebagai perlawanan atas hegemonisasi pemerintah pusat di daerah.

Sementara itu, konsep pusat untuk masyarakat Lampung bukan dalam pemahaman tentang birokrasi pemerintah semata, tetapi juga segala sesuatu yang pernah dilakukan dan diberikan pemerintah pusat, termasuk program-program nasional berupa transmigrasi.

Disebut tidak produktif karena perlawanan tidak semestinya ditujukan kepada pemerintah pusat, tetapi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di daerah seperti kemiskinan, lemahnya akses terhadap barang-barang produksi, rendahnya tingkat pendidikan, berbagai jenis penyakit, dan lain sebagai.

Namun, karena semua mengarahkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, kesan yang ditangkap akhirnya adalah sikap chauvanistik kultur. Konsep first of culture makin kuat memengaruhi pilihan sikap sosial dan kultural, dan sadar atau tidak hal ini seperti sebuah upaya menjaga kemurnian kultur, sesuatu hal yang sukar dilakukan pada zaman yang serbaterbuka kini.

Kita tahu, struktur antropologi masyarakat Lampung pascatransmigrasi tidak cuma ditata dari unsur-unsur kultur Lampung, tetapi ada unsur kultur lain yang tak bisa diabaikan peranannya. Mereka ikut andil menghidupkan struktur sosial yang ada, memunculkan komunitas-komunitas sosial, dan memainkan peran aktif dalam bidang-bidang produksi seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Sayang, dalam proses sangat panjang selama ini, peran unsur-unsur dari kultur lain itu selalu diposisikan sebagai "pendatang", terutama sangat dirasakan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan kebudayaan yang dilakukan pemerintah daerah. Kita tidak pernah melihat ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan kultur-kultur di luar kultur Lampung, seperti kebijakan yang dirumuskan untuk berusaha menjaga kultur Lampung.

Cara pandang seperti ini tidak seharusnya dimiliki lagi masyarakat Lampung. Jika dilihat dari komposisi demografi, jumlah penduduk yang menganut kultur Lampung lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menganut kultur-kultur lain. Berdasarkan data Bappeda Lampung, penganut kultur Lampung cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk Lampung. Sisanya, 67% total penduduk menganut kultur Jawa, Sunda, Banten, Bali, Sumatera Selatan, Bugis, Flores, Batak, Irian, Ambon, dan lain sebagainya.

Sebab itu, jika perhatian pemerintah terhadap penganut kultur-kultur lain yang ternyata dominan dianut penduduk Lampung tetap saja dengan cara berpikir second culture, dampaknya akan sangat serius terutama bagi masa depan pembangunan daerah. Lampung hanya akan menjadi laboratorium persoalan bagi kultur-kultur lain, sehingga provinsi ini tidak pernah bisa memikirkan secara serius bagaimana melaksanakan pembangunan daerah.

Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 5 Agustus 2006

Media dalam Cermin Dinamika Global

Oleh Y. Wibowo
Editor pada Penerbit Matakata, Lampung.

MEDIA, baik cetak maupun elektronik, sebagai sesuatu yang embedded dalam arus globalisasi membawa implikasi besar bagi perubahan perilaku dan gaya hidup (life style) individu, kelompok dan atau masyarakat dunia. Mengaitkan media dengan budaya tidak bisa terlepas dari persoalan globalisasi dan integrasi pasar dunia karena perwajahan media akan sangat ditentukan pergeseran isu-isu globalisasi dan kepentingan kapital.

Dalam kontek Indonesia, perubahan perwajahan media dengan mudah kita ditelusuri. Pada era Orde Baru secara jelas kita melihat perwajahan dunia (khususnya) media massa sangat didominasi kekuatan negara. Pada era reformasi, ada angin segar bagi kebebasan media massa dalam menyampaikan berita dan informasi bagi publik.

Tetapi, perubahan yang terjadi dalam perwajahan dunia media massa dengan kebebasannya dalam analisis, dilihat sebagai bagian yang tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme global, yang bersumber pada kaidah-kaidah neoliberalisme, dengan memiliki muatan kepentingan pasar global (libralisasi ekonomi global) di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Di balik kebebasan dunia media massa dan banyaknya institusi media bermunculan, tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses-proses demokratisasi di Indonesia. Satu sisi, institusi media massa sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal terbebas dari kekangan rezim penguasa.

Sisi lain, tampak pada perkembangannya pers makin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses alami akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditas informasi.

Dalam masyarakat kapitalisme global atau disebut juga masyarakat konsumer, terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produsen serta kekuasaan media massa. Bagaimana mereka memanfaatkan dan menggunakan televisi sebagai media menyampaikan pesan-pesan atau propagandanya kekonsumen mereka di seluruh dunia demi kepentingan sendiri tanpa memedulikan apa dan bagaimana nanti dampaknya.

Menghadapai dominasi dan infiltrasi kekuatan pasar dalam kehidupan pers adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi kesadaran kritis; keberlangsungan institusi media sangat ditentukan pelaku ekonomi melalui iklan atau promosi lainnya. Persoalannya adalah bagaimana kepentingan pelaku pasar dalam industri media massa itu dibarengi dengan apa yang dikonseptualisasikan Habermas; ketersediaan public sphere sebagai ideal type (kawasan publik atau ruang publik) dalam kebijakan pengelolaan industri media massa. Dalam implementasi ke dalam tindakan adalah bagaimana tindakan rasional dengan maksud instrumental yang dibimbing technical rules dengan tujuan maximizing expected utilities dan tindakan rasional.

***

Seiring terbitnya Majalah Playboy, perdebatan berkaitan apakah benar media massa mampu memengaruhi perilaku dan seberapa besar pengaruhnya masih menjadi diskursus. Pada sisi prespektif yang mengatakan media massa memiliki pengaruh besar bagi terjadinya perubahan perilaku individu adalah landasan argumentasi yang melihat media massa sebagai kekuatan perubahan seperti dikemukakan Dennis McQuil dengan menunjukkan model reaksi individu terhadap efek media, dengan mengacu penjelasannya pada model stimulus-respons (S-R).

Tetapi, pendapat ini banyak dibantah karena meragukan respons terhadap stimulus individu akaibat pesan yang dikirim media atau sebab lain. Hal ini berdasarkan kenyataan individu bukanlah kotak kosong yang hanya memiliki satu pesan dari media.

Individu hidup dalam struktur penuh berbagai informasi. Bantahan terhadap argumentasi model S-R itu datang dari James Curren yang menempatkan komunikan pada posisi otonom dengan menekankan media massa bukan determinan dalam konstruksi makna.

Masyarakat memiliki kebebasan memilih dan menentukan sehingga pemirsa dapat mereduksi dominasi kekuasaan media massa. Namun, masyarakat tetap percaya bahwa respon individu tersebut dipengaruhi pesan media sebagai bagian instrumen konstruksi sosial masyarakat.

Dalam hal media massa sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution), dan sebagai lembaga kemasyarakatan media massa merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan demikian, media massa tidak hidup secara mandiri, tetapi memengaruhi dan dipengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.

Apabila kita memahami media massa sebagai bagian subsistem yang ada di masyarakat, proses interaksi dan saling memengaruhi antarsubsistem yang ada (politik, ekonomi, dan sosial-budaya) akan terjadi karena keberadaan dan posisi media massa bukan semata pada relung kosong atau hampa.

Sebab itu, dalam menjalankan fungsinya media massa harus memberikan keseimbangan pada tataran informasi, pendidikan, menghibur, dan memengaruhi. Korelasi idealisme media massa itu akan berkait dengan bagaimana keempat fungsi dijalankan.

Karena dalam implementasi kerjanya, media massa memiliki minimal tiga tanggung jawab mendasar, yakni 1). Tanggung jawab sosial (social responsibility), 2). Tanggung jawab nasional (national responsibility) dan, 3). Tanggung jawab individual (individual responsibility).

Berangkat dari media massa dengan kemunculannya sebagai sebuah keniscayaan sejarah, yang menjadi titik krusial adalah bagaimana perkembangan teknologi informasi dan institusi media sebagai bagian yang terlahir dalam rasionalitas instrumental hendaknya dapat beriringan dengan kemunculan ruang partisipasi, sehingga publik memiliki ruang publik sebagai upaya ikut mewarnai dinamika kehidupan media massa.

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 4 Mei 2006

'Landmark', antara Persepsi dan Identitas

Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

Pencitraan sebagai kota asri dengan Program Ayo Bersih-bersih (ABB) yang dicanangkan Wali Kota Bandar Lampung, Eddy Soetrisno, tampaknya tidak hanya sekadar menyingkirkan "sampah" kota. Pembangunan patung muli-meghanai di (orang menyebutnya) "Perempatan Lungsir" yang mendapat sokongan swasta pun kiranya patut mendapat catatan menarik. Sebab, umumnya keberadaan patung sebagai salah satu elemen (landmark) pembentuk ruang yang dapat juga bisa menjadi simbol tempat akan lebih membuat tampilan wajah kota kian menarik, selain membuat penghuni kota merasa memiliki arti dari sebuah bentuk bangunan.

Kebanyakan ilmuwan berpendapat dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari diri sendiri, tetapi kehidupan di dalamnya.

Ihwal pembangunan patung muli-meghanai sebagai salah satu landmark untuk Kota Bandar Lampung akan menjadi signifikan bagi pemerintah dalam upaya mencitrakan diri. Sebab itu, landmark dimestikan berdiri dengan monumentalitasnya yang khas dengan fungsinya yang jelas. Sementara itu, apa arti landmark agaknya masih perlu dilakukan upaya sosialisasi lebih intensif dan meluas di masyarakat.

***

Landmark adalah sebuah sebutan yang sesungguhnya tidak terlampau populer dalam dunia seni. Sebab, landmark yang artinya "tanda-tanda tempat" atau sebuah "sosok" yang secara sengaja atau tidak sengaja dijadikan titik tengara, tengaran (Jawa: tengeran) satu lingkungan, bisa mengacu bentuk apa saja. Yang seni atau sama sekali yang bukan seni.

Di desa saya, Karang Anyar, 10 kilometer selatan Kota Bandar Lampung, orang menengarai jalan menuju ke desa ditandai seonggok tugu tua yang berdiri tegak di tengah perempatan "jalan aspal" dan "jalan tanah" pasar desa. Sementara itu, batas antara Desa Karang Anyar dan Desa Jati Mulyo yang berbatasan dengan batas pinggiran Bandar Lampung, yaitu Way Kandis, ditengarai sebuah pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal yang rusak dan berlubang kira-kira sepanjang 500 meter.

Hal ini entah mengapa terjadi, setelah batas akhir dari Bandar Lampung dengan batas pintu gerbang kecil dan jalan aspal rusak dan berlubang itu kemudian menandai perjalanan sudah masuk Kabupaten Lampung Selatan, wilayah tempat saya tinggal. Maka, ketika pemuda dan pemudi Desa Karang Anyar ingin berkencan sambil mendendangkan lagu "Senja di Batas Kota", yang terpikir di kepala mereka adalah harus melintasi pintu gerbang kecil dan jalur jalan aspal rusak dan berlubang itu, untuk sesaat kemudian baru memasuki Desa Jati Mulyo dan sampai Desa Karang Anyar dengan seonggok tugu tua berdiri di perempatan jalan.

Mengacu pengertiannya secara arsitektural, landmark atau tengeran merupakan titik referensi seperti elemen node (simpul), tetapi orang tidak masuk karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi. Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai luar kota. Beberapa landmark juga hanya mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting bentuk kota karena membantu orang mengorientasikan diri dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sequence beberapa landmark, serta ada perbedaan skala masing-masing.

Dari aneka studi kasus, sebuah landmark memang bisa terjadi hanya karena sebuah kesepakatan laten dari publik. Sebuah landmark akan diakui sebagai "tanda tempat" apabila masyarakat memang mau beramai-ramai mengambil "manfaat lingkungan" dari yang ia persepsikan. Di Bukittinggi ada Jam Gadang. Saat itu, ketika Belanda membuat jam tersebut, tidak sedikit pun terbersit konsep bahwa Jam Gadang akan jadi tengeran. Namun, perkembangan masyarakat pelan-pelan mengambil Jam Gadang sebagai tanda-tanda lingkungan.

Begitu pula dengan Big Ben di London. Jam raksasa nan artistik ini semula lebih difungsikan untuk tanda waktu bagi penduduk Kota London yang diharapkan akan terus religius sebagai penganut Presbiterian, Metodis, Katolik Roma, atau Anglikan, agama resmi negara itu.

Karena jam akan berdentang keras dengan gema ke sisi-sisi kota pada setiap jamnya, saat itu masyarakat mengingat hidup lewat doa. Namun, Big Ben kini terposisi sebagai tengeran tempat. Seperti halnya kemegahan dan keantikan Katedral Durham yang sekarang terpatok sebagai landmark sebuah daerah di Inggris Utara.

Contoh lain yang aktual dan jelas adalah gedung WTC (World Trade Center) New York, yang beberapa tahun lalu lebur menjadi abu akibat kebiadaban teroris. Tidak seperti gedung Empire State Building yang disiapkan menjadi monumen bangunan dan landmark pusat Kota New York, WTC didirikan sekedar simbol kedigdayaan ekonomi Amerika.

Namun pada perkembangan mutakhir, karena kejangkungan dan kesibukan orang di gedung itu, WTC terangkat jadi sebuah tengeran lingkungan. Sebuah landmark ternyata dapat muncul dengan sendirinya sekaligus dapat lenyap dengan sendirinya meskipun semula disiapkan sebagai landmark.

Di Jalan Jenderal Sudirman ada yang disebut Landmark Building. Nama bangunan megah ini menyimpan maksud agar posisi dia jadi tengeran tempat. Namun, orang yang lewat di sana justru lebih banyak menyebut "sedang berada di kawasan BCA Sudirman".

Berbagai kasus itu lalu menyulut lahirnya fenomena yang mengisyaratkan fungsinya landmark yang disentuh tangan-tangan seniman. Dan sang seniman, si penangkap yang paling tanggap adalah pematung, arsitek, pembuat art work.

Merekalah yang bergerak mewujudkan konsep seni lingkungan sejak 1960-an. Hingga dapat mewujudkan landmark tidak hanya harus muncul dengan sendirinya. Namun, juga dibuat dengan konsep yang sengaja, jelas, dan pasti. Di sini, pembangunan konsep "tengeran tempat" dan seni dipertemukan, dan lantaran pengertian "tengeran tempat" berkaitan langsung dengan masyarakat atau komunitas yang berada di sebuah tempat, patung atau art work yang dibangun juga mesti sesuai dengan lingkungannya.

Atas hal ini, Gregorius Sidharta dapat dinilai berhasil ketika menciptakan Monumen Tonggak Samudra di kawasan Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta. Karya Sidharta menghenyakkan dan segera melahirkan persepsi khusus di kawasan tersebut.

Seperti halnya patung Alexander Calder yang merah membahana dengan tinggi 43 kaki di pelataran Grand Rapids, Amerika Serikat. Lagi-lagi, sebuah karya artistik yang jadi penanda atau bahkan tempat rendezvous.

Repons yang sama tampak atas patung koboi dari fiber penuh warna karya Louis Jiminez. Kini, setiap orang yang janji bertemu di depan National Museum of American Art, Washington, selalu memilih patung koboi Jimenes sebagai titik jumpa.

***

Karya-karya artistik dalam skala kota memang banyak yang terfungsikan sebagai tengeran tempat walau persepsi masyarakat terhadap wujud karya itu dapat saja meleset. Orang Jakarta menengarai persimpangan Jalan Senopati, Jakarta Selatan, dengan patung Pizza Man (pelayan restoran piza yang kepanasan).

Padahal patung lelaki membawa api karya Moenir Pamoentjak itu berjudul patung Pemuda. Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, ditengarai patung Balapan Karung. Padahal patung itu aslinya berjudul Gerak Pembangunan.

Atau yang cukup unik seperti di Bandar Lampung, misalnya, tugu Adipura, yang kemudian lebih saya kenal karena kawan-kawan akrab menyebutnya sebagai "Bundaran Gajah" atau "patung Gajah". Atas fenomena yang berlangsung dan terus berulang tersebut, pembangunan sebuah landmark mestinya berkait dengan berbagai aspek.

Aspek pertama adalah yang menyangkut konsep dulce et utile yang artinya "menyenangkan dan berguna". Kedua menyangkut ihwal peletakan sosok art work landmark dalam lingkungan. Hingga art work itu diterima sebagai bagian dari kesenangan hidup dalam lingkungan, diterima sebagai penegas karakter sebuah lingkungan, dan sebagai titik orientasi satu lingkungan.

Akhirnya, bagaimana landmark dapat memersepsikan diri dan sebuah kota menjadi elok, tentu kehadiran landmark mesti benar-benar diterima sebagai tengeran. Adakah ini bisa mengalahkan eksistensi seonggok tugu tua di desa saya? Dalam rentang perjalanan waktu ke depan, mari kita tunggu bersama-sama.

Dimuat di Lampung Post, Rabu, 12 April 2006

Wajah Kota dan Menipisnya Kontak Budaya

Oleh Y. Wibowo
Arsitek-penyair, berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

KOTA adalah sesuatu yang lebih dari sekadar yang dapat kita pandang melalui lanskapnya, kerumunan gedung-gedung pencakar langit, pantulan silau kaca-kaca plaza, dan kerlap-kerlip ribuan lampu kendaraan yang mengalir di bawahnya. Semua itu dapat mengecoh.

Ibarat bedak dan lipstik yang menyelubungi seraut wajah, kota juga adalah sebuah ambiguitas kehidupan atau labirin yang penuh sekat, buntu, tapi di lain saat tidak berujung.

Tetapi, mengapa manusia pada umumnya lebih senang tinggal di kota daripada di desa? Mengapa desa berkembang menjadi kota, dan tidak sebaliknya kota menjadi desa?

Sebab, kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup yang lebih berbudaya dan menyenangkan, dengan konsumsi energi dan sumber daya yang lebih rendah. Kota juga representasi kehidupan ketika kerja lebih terorganisasi dan terjadwal, kerja dan pengembangan diri lebih terbuka dan bervariasi. Kota memang menyodorkan banyak masalah, tetapi juga menawarkan lebih banyak ide dan solusi. Ia adalah tempat menyemai pengetahuan, mengeksploitasi penemuan ketika inovator dapat belajar langsung dari pesaingnya.

Sejarah kota, muasalnya dimulai dengan pasar, alun-alun, balai kota. Tempat persinggungan berbagai kegiatan kemasyarakatan yang terpusat, beriringan dan terintegrasi.

Dalam konteks ekonomi, Olson ("Urban Metabolism and Morphogenesis", Urban Geography, 1982) menulis, "Bahkan sebelum era keemasan kapitalisme, hampir semua kota di dunia tumbuh karena akumulasi kapital. Kota berfungsi bagaikan sel, pelabuhan, distrik perbankan, pabrik, dan kawasan pinggiran adalah organ atau tenunan khusus; dan kapital--entah dalam bentuk uang atau aset terbangun--adalah energi yang mengalir melalui sistem kota".

Ada sisi lain yang cukup akut dari perkotaan. Ia juga merangsang pertumbuhan permukiman kumuh dan permukiman liar yang dibangun kaum migran miskin yang bekerja sebagai buruh-buruh perusahaan pabrik, dan seiring dengannya tumbuh pula berbagai jasa sektor informal yang ditandai munculnya warung, kereta dorong, dan tenda-tenda reyot yang berceceran di pinggir jalan dan ruang publik. Ruang publik lantas menjadi medan pertempuran ruang ekonomi (the battle of economic space) yang terkadang berlangsung sampai berdarah-darah.

Dengan demikian, proses akumulasi kapital sebenarnya menciptakan dunia yang dualistik! Bagaikan cerita A Tale of Two Cities-nya Charles Dickens, implikasi akumulasi kapital macam ini dengan segera menciptakan lanskap kota yang sangat mencolok menyajikan kontradiksi antara ekonomi formal dan ekonomi informal; kawasan kaya dan kawasan miskin; mal modern dan pasar tradisional kumuh; bahkan dapat pula kita jumpai segregasi etik yang mengekspresikan urban apartheid.

Kota yang segregated, dualistik, dan kontradiktif pada dasarnya selalu menyimpan keresahan, ketegangan, ketidakpercayaan, dan ketidakamanan. Dan kecenderungan yang berkali-kali terjadi, masyarakat kecil biasanya harus menerima dengan tak berdaya dalam medan pertarungan kapital.

Oleh sebab itulah, di negara maju kemudian muncul pelbagai peraturan perkotaan yang tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi melainkan juga mewadahi aspirasi masyarakat, melalui sistem advocacy dan pelibatan/partisipasi penduduk. Sementara itu, pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acap dilihat sebagai konsumen yang pasif. Memang masyarakat diberi tempat untuk aktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja, dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang ikut proses penentuan kebijakan dan perencanaannya.

Padahal, sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat dan lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan.

Dari hasil-hasil kajian perkotaan, diperoleh temuan bahwa kelapukan dan kehancuran kota tidak disebabkan semata ulah masyarakat kotanya, melainkan lebih karena sistem ekonomi kapitalistik yang ganas. Selain itu terdapat indikasi lapisan masyarakat marginal yang berada di luar pagar atau ruang pengambil keputusan, cenderung menjadi beringas dan gampang tersulut emosinya.

"Participation provides a way of being creative for urban people whose work may be totally uncreative," kata Wilmott. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota di Indonesia masih sering diabaikan, padahal penting sekali artinya menumbuhkan harga diri, percaya diri, dan jati diri.

Apalagi bagi kaum papa yang termasuk kategori the silent majority, keterlibatan mereka boleh dikata tidak ada. Antara lain karena anggapan tingkat pendidikannya yang rendah sehingga tidak dapat diajak berdwicakap.

Lagi pula waktunya banyak dihabiskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Padahal sebetulnya masyarakat (itu) memiliki kearifan tersendiri yang sering di luar dugaan kalangan yang berpendidikan.

Dari pengamatan selama ini, dapat ditemu-kenali beberapa kelemahan dalam proses perencanaan, implementasi, dan pengelolaan pembangunan kota, antara lain pertama, perencanaan yang terlalu berorientasi pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidak-pastian (uncertainties).

Di sisi lain terdapat jenis-jenis perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang berwawasan luas. Seyogianya pendekatan yang diambil mencakup keduanya, ibarat melihat keseluruhan hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya atau sebaliknya melihat keunikan setiap jenis pohon akan tetapi ditilik dalam konteks hutannya.

Kedua, terlihat kecenderungan kuat bahwa perencanaan tata ruang terlalu berat ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual (biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan).

Ketiga, hal yang cukup merisaukan adalah adanya kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota.

Agar perencanaan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat sebagai management of changes atau management of conflicts, Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.

Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model participatory planning dan over-the board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuen.

Sekadar contoh, kebanyakan perencana kota mengganggap jalan sekadar sebagai prasarana lalu lalang dan ruang transisi (transitional space) saja. Jika direncanakan dengan sebatas anggapan tersebut, tertutup peluang memanfaatkan jalan sebagai ruang aktivitas (activity space).

Padahal, di kota-kota sedang seperti kita di Lampung, jalan bukanlah semata-mata menampung arus lalu lintas melainkan juga merupakan ruang terbuka untuk kontak sosial, wadah kegiatan, rekreasi dan bahkan untuk aktivitas perdagangan di udara terbuka.

Kehadiran pedagang kaki lima (pedagang kelana) yang mobil, memberikan citra tersendiri pada wajah kota. Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusiawi--hal yang cenderung hilang atau menipis dalam masyarakat kota.

Karena munculnya pada saat-saat tertentu (biasanya malam hari), lantas diberi predikat instant city. Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan para profesional khususnya di bidang lingkungan binaan seyogianya lebih ditingkatkan melalui forum-forum pertemuan, diskusi, ceramah, publikasi, baik secara formal maupun informal.

Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 18 Februari 2006

Reproduksi Kekuasaan dan Masyarakat yang Acuh tak Acuh

Oleh Y. Wibowo
Penyair, berdialektik pada Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

ADA kebingungan dan kegelisahan yang nyaris berujung pada frustrasi akan rasa kepercayaan masyarakat dalam menyikapi krisis kepemimpinan di Lampung. "Kekacauan" proses yang berlarut-larut itu menghadapkan kita pada kenyataan yang sumir, dimulai dengan pemilihan gubernur yang kontroversial hingga puncaknya, perseteruan Gubernur dan DPRD Lampung yang tidak mengakui Sjachroedin Z.P. sebagai gubernur (SK No. 15/2005 tentang Pernyataan Pendapat DPRD Lampung terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 437/TUN/2004).

Atas fenomena semacam "gajah bertarung, gading retak dan berserak di mana-mana", saya merasa berada dalam situasi yang kemudian bisa terjerembap pada anasir hukum tentang benar-salah atau merujuk pada segregasi etik bersikap moralisnya para begawan sosial-politik. Untuk itu saya lebih memilih berada pada posisi terlelap dalam buaian postulat Joan Baudrillard, "Kekuasaan dengan sendirinya mereproduksi diri melalui berbagai hubungan."

***

Para elite politik kita di Negarabatin tampak masih kukuh pada keyakinan masing-masing dan terlihat ogah-ogahan dalam berinisiatif mengakhiri konflik kepemimpinan yang berlangsung. Konflik kepemimpinan itu pada hematnya bermuara pada legitimasi kepemimpinan yang demokratis. Sementara pemerintahan di Jakarta dengan wataknya yang ambigu terlihat mengambangkan keputusan secara diplomatis.

Tentu, mereka semua masih saja bertikai dan tidak bertemu melakukan kesepakatan-kesepakatan yang jelas bagaimana membangun jalan demokrasi. Hal ini terjadi karena memang elite politik kita berangkat dari kekuatan kelompok tertentu atau dari partai politik yang berbeda-beda. Ini sebenarnya ideal demokrasi dalam sebuah kepemimpinan multipartai.

Demokrasi memang dipenuhi jalan terjal yang berliku, bukan saja ketidaksediaan para elite mewujudkan demokrasi, tapi dalam situasi demokrasi guna mewujudkan kepemimpinan yang demokratis, pro-kontra bisa menciptakan sistem yang kontraproduktif. Hal ini diilustrasikan cukup apik Jack Snyder, penulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, 2000, yang menyangsikan jika proses demokrasi dapat membawa arah perubahan masyarakat damai dan sejahtera.

Prinsipnya, sejarah menunjukkan demokratisasi, tepatnya masa transisi ke arah demokrasi, sering menimbulkan perang, SARA, bahkan disintegrasi negara-bangsa, lalu demokrasi dan perdamaian dapat terpelihara jika antar-kepemimpinan yang memiliki watak demokrasinya sudah matang.

Hal ini ditilik secara populer nasionalisme mencakup banyak gejala, seperti kerusuhan etnis, patriotisme, perjuangan damai kelompok budaya guna mencapai hak-hak khusus. Dalam perubahan pengertian demokrasi juga mesti jelas, antara "demokrasi yang matang" (mature democracies) dan "yang sedang demokratisasi" (democratizing states). Dalam kepemimpinan dan pemerintahan yang matang, termasuk kebijakan politik diputuskan pejabat yang diangkat berdasarkan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Dan kesemuanya harus didahului dengan kebebasan, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul. Prinsip dasar ini harus dihargai bersama antarberbagai kelompok kepentingan.

Terlebih jika kita merujuk pada pemahaman dan makna demokrasi yang cenderung kita angggap klasik dan klise tentang makna dasar demokrasi, yaitu "demos" = rakyat, "kratos/kratein" = berkuasa. Artinya "rakyat berkuasa" atau government of rule by the people, and for the people. Itulah inti demokrasi yang dalam prakteknya ada sejak zaman Yunani kuno, yakni ketika Kleistenes mereformasi sistem pemerintahan tahun 508 SM.

Jika dilihat dari sejarahnya, sejak dulu aktualisasi demokrasi itu murni berupa metode (cara), alat, dan proses (bukan tujuan) menciptakan perdamaian. Sebagai cara, alat, atau proses dalam aktualisasinya demokrasi menjadi kasatmata, bisa diukur, dan menyangkut kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana dengan demokrasi kita di Lampung? Bung Hatta, Sang Proklamator kita pernah menyebut krisis demokrasi atau demokrasi dalam keadaan krisis sebagai "Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarkhi, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besar dari sejarah dunia! Demokrasi dapat berjalan baik, apabila rasa tanggung jawab dan toleransi ada pada pemimpin-pemimpin politik."

Ketidaksediaan para elite politik kita untuk berkompromi politik, jelas menandakan frustrasi elite setelah berkali-kali mereka bertatap muka, tetapi hasilnya tidak ada. Alih-alih pertikaian di antara mereka terus saja berlangsung, dan kondisinya sudah sedemikian rupa parahnya.

Melihat perseteruan elite politik itu, ada dua sisi yang bisa ditengarai sebagai "jalan buntu". Pertama, ketika pemerintahan berlangsung, demokrasi memerlukan kesepakatan para elite untuk memilih dan menentukan arah demokrasi yang akan dibangun. Hal ini selain sebagai pertanggungjawaban jabatan politis, juga bentuk amanah konstituen/masyarakat yang memercayakan kepemimpinannya. Dalam konteks ini, menilik dari kronologis pemilihan ulang gubernur (M. Alzier Dianis Thabranie) terpilih, kemudian ada desakan menyelenggarakan pemilihan gubernur ulang, jelas terjadi pengingkaran kesepakatan politik yang kemudian menjadi benang kusut babak pertama dalam kepemimpinan (elite politik) yang demokratis.

Kedua, adanya egoisme politik yang tengah berkecamuk di dada para elite kini. Hal ini bersumber pada agenda kepentingan masing-masing kekuatan politik, dampak proses benturan berbagai kepentingan ini bisa berakibat fatal untuk saling tuding dan menyalahkan; siapa yang harus bertanggung jawab atas dosa-dosa politik kini. Kesemua itu wujud dari tidak sadarnya mereka terhadap realitas politik di bawah, yang sebenarnya disulut pertikaian mereka sendiri. Maka jangan lagi disalahkan jika egoisme politik terus merambat pada rasa kepercayaan masyarakat yang tidak lagi memercayai para elitenya. Dengan kata lain, benang kusut babak kedua, masyarakat kehilangan pemimpin yang patut diteladani untuk kemudian masyarakat bersikap apatis.

Situasi macam ini jelas memengaruhi besar masyarakat. Siapakah pemimpin yang dapat dipercaya? Padahal, masyarakat paternalistik yang masih kuat melekat pada bangsa kita senantiasa memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal. Legitimasi kepemimpinan yang demokratis turun akibat ketidakmampuan mereka menyatukan agenda yang visioner. Pada gilirannya, kebebasan politik yang dimliki masyarakat akan menimbulkan kritik terbuka terhadap pemimpin, sehingga membangun opini jelek kepada mereka sebagai pemimpin yang gagal.

Di sinilah pentingnya mencari pemimpinan yang mendapat legitimasi demokratis. Dengan kondisi masyarakat yang apatis, kesepakatan-kesepakatan elite politik sebagai bentuk konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) mestinya dilaksanakan taktis. Dus, upaya "penyegaran kepemimpinan" sebagai solusi atas ambruknya legitimasi pemimpin yang demokratis terlihat sebagai kebutuhan mendasar.

Dan, jika kepemimpinan adalah sosok karteker yang ditunjuk Mendagri atas nama Presiden, yang harus diingat adalah legitimasi masyarakat Lampung atas pemimpinnya. Meskipun pemerintahan memang harus diamankan dari pengaruh-pengaruh dinamika politik dalam sistem demokrasi (Syarief Makhya, Lampung Post, 16 Januari 2006).

Bisa jadi (dalam konteks ini) demokrasi akan banyak dikritik. Sayang, jika kritik yang umumnya terlontar bukannya menjadikan demokrasi makin baik, malah menjadi absurd. Sebab, demokrasi dan kepemimpinan adalah persoalan publik yang mesti transparan dan bukan persoalan privat yang penuh teka-teki. Dan pertanggungjawaban kepemimpinan yang demokratis ada pada kehidupan bersama: Dari, oleh, dan untuk Rakyat!

Secara realistis, kepemimpinan yang demokratis bukan berdasar "garis tangan" atau "wahyu keprabon", tetapi dipilih dan ditentukan rakyat. Sebab itu, para elite politik harus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan politik tentang bagaimana mewujudkan pemimpin yang mendapat legitimasi demokrasi. Kesepakatan-kesepakatan itu bisa berasal konsolidasi demokrasi atas pengalaman sejarah, komposisi sosial-etnik, struktur ekonomi, dan konteks nasional. Semuanya ini untuk memberikan dan menentukan sendiri warna dan corak yang khas bagi demokrasi rakyat Lampung.

Dimuat di Lampung Post, Rabu, 25 Januari 2006